Oleh DHIPA GALUH
PURBA
TIGA orang terdampar di pantai kosong. Mereka kelaparan. Sementara itu
makanan yang tersedia hanyalah sebungkus roti, satu kaleng kornet, dan sebuah
korek gas murah.
Dua orang berebut roti dan kornet, tanpa menghiraukan korek
gas. Sedangkan yang seorang memilih memungut korek gas, sambil berusaha menahan
lapar.
Dua orang yang berebut makanan akhirnya berdamai, seorang mengambil roti
dan seorang lagi mengambil kornet. Mereka langsung memakannya, dan hilanglah
rasa lapar itu. Lalu mereka berpencar ke tiga arah mencari kehidupan
masing-masing.
Dua orang yang kenyang sangat bersemangat dan merasa yakin bahwa
mereka akan bertahan hidup, karena perutnya sudah kenyang.
Baru beberapa hari, dua orang itu meninggal dunia
karena kelaparan. Sementara yang memilih korek gas bisa mempertahankan
hidupnya. Dia berhasil menangkap hewan, untuk kemudian dibakar, dan dimakan.
Dia juga bisa membuat api unggun dan membuat sandi-sandi dengan api, untuk
meminta pertolongan.
Dari cerita diatas, jelas
bahwa ketiga orang itu semuanya mempunyai ide disaat mereka terdampar dan
kelaparan. Setiap orang memiliki ide. Namun yang membedakan adalah kualitas
dari ide tersebut.
Ada ide cemerlang, ide kurang cemerlang, dan tidak cemerlang.
Orang yang memilih korek gas termasuk orang yang memiliki ide cemerlang. Dia
bisa berpikir panjang, meski untuk sementara waktu tidak kebagian makanan.
Sementara
yang dua orang, kerangka pikirannya hanya sampai pada pemenuhan kebutuhan
sesaat untuk mengenyangkan perutnya.
Demikian pula ketika ide
dikaitkan dengan penulisan. Setiap orang pada dasarnya memiliki ide untuk
berbuat, termasuk menulis.
Hanya saja, ada yang melanjutkan untuk mengolah ide
tersebut, ada yang secara langsung menuangkannya secara sembarangan, dan ada
yang membiarkannya terbang begitu saja.
Persoalannya adalah
ketidaksabaran. Bagi yang membiarkan idenya lenyap begitu saja, dia beralasan kesulitan
menuangkan ide ke dalam bentuk tulisan, sehingga memilih untuk tidak menulis
sama sekali.
Tidak mau bersabar untuk melawati tahap demi tahap kepenulisan. Apalagi
kalau belum apa-apa sudah memikirkan penghasilan yang akan didapat.
”Memangnya
dengan duduk berlama-lama di depan komputer, mengetik huruf demi huruf,
mengolah kata, menuangkan gagasan, akan membuat kaya raya? Si Anu juga tidak
pernah menulis, tapi dia menjadi orang kaya kaya...”
Nah, jika ada orang yang berpikiran seperti ini,
tentunya kurang cocok menjadi penulis. Lebih baik menjadi pengusaha saja.
Sebab,
memilih jalan untuk menjadi seorang penulis, tujuan utamanya bukan mencari
kekayaan, melainkan untuk menghasilkan karya tulis yang bermutu. Masalah nanti
dampak dari karyanya menjadikan penulis tersebut menjadi kaya raya, itu
persoalan lain.
Tanyalah kepada JK
Rowling, apakah ketika pertama kali dia menuangkan ide Harry Potter ke dalam
tulisan, dibarengi tujuan untuk menjadi orang kaya raya dari karyanya?
Menulis,
bagi Rowling merupakan suatu kebutuhan. Dia menulis hampir setiap hari. Kadang menulis
selama sepuluh atau sebelas jam.
Mari kita berpikir realistis, apakah orang
yang melakukan sesuatu sebagai kebutuhan hidupnya, berharap menjadi kaya raya atas
apa yang dikerjakannya?
Ibarat makan dan minum yang menjadi kebutuhan
sehari-hari. Apakah kita
berharap bisa kaya-raya dari rutinitas makan dan minum? Tidak. Bahkan kita rela
mengeluarkan uang berapapun untuk memenuhi kebutuhan kita.
Jadi, hal yang tepat untuk
memasuki dunia kepenulisan adalah menjadikan menulis sebagai suatu kebutuhan. Atau
dalam bahasa lain, menjadikan kegiatan menulis sebagai sebuah hobi.
Orang yang mengerjakan
sesuatu yang sudah menjadi hobinya, pasti akan lebih bersemangat dan mencintai apa
yang dilakukannya.
Jika untuk menyalurkan hobi bermain futsal, rela
mengeluarkan uang untuk menyewa lapang dan lain sebagainya, apalagi hobi
menulis yang hampir tidak perlu mengeluarkan uang.
Orang yang hobi bermain
futsal, umumnya menyukai pertandingan sepak bola. Menonton sepak bola merupakan
kesenangan yang tiada terhingga.
Terlebih lagi jika pemain bintang pujaan turun
ke lapangan hijau, hampir dipastikan dia tidak akan melewatkannya untuk
menonton.
Bermula dari menyaksikan tontonan yang menyenangkan. Bahkan untuk
dampak positif bermain futsal, mungkin tidak terlalu dipikirkan.
Asyik saja
bermain, dan dibalik itu tentu saja setiap aktivitas olahraga sangat bagus
untuk kesehatan. Tapi jika diniatkannya hanya sekedar untuk menjaga kesehatan,
belum tentu gedung futsal selalu dipadati para peminat.
Begitu juga dengan menulis.
Mustahil akan mendapat dorongan untuk menulis, jika tidak pernah membaca apapun
yang membuatnya tertarik atau tergugah.
Membaca dan menulis bagaikan dua sisi
mata uang. Seorang penulis yang baik, biasanya adalah pembaca yang baik.
Sebaliknya,
jika dia seorang pembaca yang baik, biasanya tidak akan terlalu sulit menjadi
penulis yang baik. Dan sekali lagi, bagaimana mungkin akan timbul dorongan
untuk menulis naskah film, jika tidak pernah tertarik pada film, apalagi tidak
pernah menonton.
Dari membacalah bermula suatu ketertarikan. Dari
menontonlah bermula suatu dorongan. Jika sudah memiliki hobi membaca atau
menonton, biasanya timbul ketertarikan untuk menulis.
Khusus bagi yang menonton
film, selain ada yang tertarik menjadi penulis, tentu saja banyak pula yang tertarik menjadi aktor, sutradara,
atau perangkat produksi lainnya.
Bisakah film diproduksi tanpa naskah skenario?
Bisa saja, kalau asal jadi. Umumnya film-film terlaris di dunia selalu bermula
dari skenario yang matang. Bahkan film yang diangkat dari novel, biasanya
menuai sukses di pasaran, dan berhasil meraih berbagai penghargaan.
Para produser di Indonesia
semakin meyakini, bahwa film yang bagus akan selalu diawali dengan cerita yang
menawan.
Diangkatlah novel-novel best
seller ke layar lebar. Novel “Laskar
Pelangi” karya Andera Hirata atau “Ketika
Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El Shirazy, merupakan contoh
kesuksesan film layar lebar yang diangkat dari novel.
Sebuah film yang diangkat
dari olahan kata di atas kertas, yang awalnya diketik oleh sang penulis, huruf demi huruf hingga menjelma menjadi
sebuah cerita yang begitu luar biasa.
Pekerjaan yang hasilnya baru dituai
beberapa lama kemudian, setelah berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Saya
sungguh tidak berani mengatakan bahwa menulis tidak akan membuat orang menjadi
kaya-raya dari hasil karyanya.
Menulis Sebuah Kebutuhan,
Mari Kita Buktikan!
SEJAK puluhan tahun yang lalu, dalam kegiatan pelatihan penulisan,
instruktur selalu mengatakan bahwa jadikan menulis sebagai suatu kebutuhan.
Bisakah?
Bisa. Sangat bisa. Kendati demikian, dulu memang cukup kesulitan
memperlihatkan faktanya. Tapi di zaman sekarang, faktanya ada di depan mata. Kemajuan
teknologi informasi telah menunjukkan kepada kita, bahwa sebenarnya menulis itu
sangat bisa menjadi sebuah kebutuhan.
Setelah akses internet
merambah kemana-mana, diikuti mewabahnya jejaring sosial semacam facebook atau twitter, terkuaklah fakta bahwa sesungguhnya menulis itu memang
merupakan kebutuhan.
Perhatikan, berapa juta orang pemilik akun facebook atau twitter yang setiap detiknya memposting status. Mereka rela
mengorbankan waktunya untuk menuliskan sesuatu yang ada dalam pikirannya, mengomentari
status orang lain, dan atau membalas komentar orang lain.
Siapa yang biasa membantah fakta tersebut? Apakah
masih tidak percaya ketika di zaman sekarang banyak orang yang begitu gelisah
karena belum meng-update status facebook, twitter, atau BBM?
Itu adalah bukti nyata bahwa menulis telah menjadi
kebutuhan. Wah, terlalu jauh kalau berpikir dengan menulis status bisa
mendapatkan honorarium.
Para pemilik akun facebook
sudah cukup mendapatkan kepuasan batin yang tiada terhingga ketika dia sudah
melepas apa yang dipikirkannya melalui kata demi kata dalam statusnya.
Bukan saja kebutuhan,
tetapi sudah sampai pada tingkat keranjingan. Lebih parahnya lagi kekalapan
dalam menulis status di jejaring sosial.
Orang begitu mudah saling menghujat
satu sama lainnya, sehingga banyak yang berakhir di meja hijau.
Sudah begitu
banyak yang tersandung kasus pencemaran nama baik, yang tentunya harus
berurusan dengan pihak berwajib: gara-gara tulisan orang yang bukan penulis. Perhatikan
jutaan status yang sama-sekali tanpa makna bertebaran, saling mengomentari,
membuang-buang waktu percuma.
Maka, pada tahun 2014 ini,
jika masih ada intstruktur penulisan kreatif yang mengajarkan bagaimana caranya
memulai menulis, sepertinya kurang tepat.
Apalagi jika diembel-embeli dengan pesan: tulislah dan ungkapkan segala apa
yang ada dalam pikiranmu!
Suatu ajaran yang keliru di zaman sekarang. Sebab,
anak SD pun sudah terbiasa mengungkapkan apa yang dipikirkannya. Saat merasakan
lapar, dia menulis status: ”kepingin baso”. Saat dimarahi ibunya, dia menulis
status: ”Ibu jahaat...” dan lain-lain.
Celakanya orang dewasa pun
banyak yang menjadi kekanak-kanakan. Bahkan tidak sedikit aib rumah tangga masuk
ke status facebook.
Kekecewaan karena
uang resiko yang tidak mencukupi, kecemburuan, dan sebangsanya, kian mudah
ditemukan dalam status facebook. Dengan
kondisi seperti sekarang ini, masih tepatkah mengajarkan: ”ungkapkan apa yang
kamu pikirkan” .
Mengubah Kebiasaan Menulis
INI langkah awal yang lebih tepat bagi calon seorang penulis. Mengubah
kebiasaan dalam menuliskan sesuatu.
Tidak semua yang dipikirkan baik untuk
ditulis. Dan yang lebih penting lagi, tidak setiap ide harus selalu langsung
dipublish. Perlu kesabaran. Seperti
yang ditulis di bagian awal, persoalan seorang penulis itu adalah kurang sabar.
Jadi, mulailah dengan kesabaran.
Langkah pertama adalah bersabar
untuk tidak menulis sesuatu yang tidak berguna. Itu hanya menghabiskan energi
dan tidak akan mendapat manfaat apapun.
Awalilah menuliskan sesuatu yang bermanfaat,
dengan bersabar mengetik huruf demi
huruf. Kendali diri menjadi sanbgat penting di zaman ini.
Kalaupun terpaksa
harus menuliskan segala macam kegelisahan dan unek-unek, bersabarlah untuk
tidak menulis di dinding jejaring sosial. Betul, segala hal boleh kita tuliskan, tetapi
tidak semua tulisan kita etis untuk dipublikasikan.
Perlu ada perenungan yang mendalam. Seperti juga pada saat kita membaca, yang
sangat membutuhkan kesabaran.
Mencari Ide
ADAKAH orang yang berprofesi sehari-hari mencari ide? Berangkat dari rumah
jam delapan pagi, pulang jam empat sore, khusus ngelayap mencari ide. Seorang
penulis sakalipun tidak akan begitu. Betul bahwa ide itu bisa dicari, tetapi
tidak perlu dengan cara seperti itu.
Membaca adalah salahsatu
cara untuk mendapatkan ide. Dengan membaca, kita akan sadar bahwa ternyata
banyak sekali hal-hal yang belum kita ketahui.
Dengan membaca, kita juga akan
menemukan sesuatu, dan dengan tanpa diniatkan pun ide biasanya akan datang
dengan sendirinya. Banyak para penulis yang terinspirasi untuk menulis setelah
membaca buku karya orang lain.
Menonton pun bisa menjadi
suatu jalan datangnya ide. Sebab,
dengan menonton film, kita akan mendapat pengetahuan baru. Minimal dunia baru
yang ada dalam film tersebut. Banyak juga para penulis yang terinspirasi
setelah menonton film.
Namun
yang lebih penting adalah kepedulian. Adakah rasa kepedulian kita kepada alam
sekitar, hewan, dan sesama manusia? Itulah kunci hadirnya suatu ide.
Orang yang
tidak memiliki rasa kepedulian, akan sulit mendapatkan ide apapun. Thomas Alfa
Edison menciptakan bola lampu, karena dia peduli akan pentingnya penerangan
bagi manusia.
Andrea Hirata menulis
“Laskar Pelangi” dengan begitu luar biasa, karena peduli terhadap lingkungan
sekitarnya, kawan-kawan bermain, dan orang tuanya. Hanum Rais menulis novel “99
Cahaya di Langit Erova”, dan mengangkatnya ke film layar lebar, pasti
permulaanya terdorong rasa peduli akan pentingnya toleransi beragama.
Kepedulian
itulah yang perlu dipupuk dan dilatih dalam diri seorang calon penulis. Lalu
bagaimana cara melatihnya? Hiduplah dengan lebih berwarna.
Jika ada yang setiap
hari berangkat ke kampus menggunakan mobil pribadi atau motor, cobalah
diselingi dengan naik angkot, bis kota ,
atau jalan kaki.
Bagaimana mungkin merasakan pengapnya berdesakan di dalam bis kota , jika kita tidak
pernah merasakannya.
Bisakah kita bersabar untuk tidak membunyikan klakson yang
berlebihan, pada saat ada angkot berhenti mendadak atau pada saat ada seorang
nenek yang menyebrang jalan sembarangan.
Jiwa kita tidak akan tergugah jika
kita tidak pernah merasakan naik angkot atau tidak pernah merasakan betapa
sulitnya mau menyeberang jalan di Bypas.
Jika setiap
hari kita hanya naik motor dan menggunakan jalan yang sama, maka pengalaman yang didapatkan pun hanya
seputar itu saja.
Kalau pun tuntutannya setiap hari harus naik motor, cobalah
memasuki jalan yang belum pernah dilalui.
Masukilah gang-gang sempit di pinggir
kali. Tengoklah kehidupan mereka dan bandingkan dengan kita. Ataukah ungkapan
“saudara sebangsa setanah air” hanya sekadar pemanis yang pahit.
Kepekaan
sosial dan kesalehan sosial sangat penting ditanamkan dalam diri seorang
penulis. Dengan begitu, tanpa perlu
dicari, ide itu sudah ada dalam setiap nafas kita.
Apakah kita masih tega
membuang sampah ke sungai setelah di televisi kita menyaksikan rumah-rumah di
Dayeuhkolot terendam air setinggi genting? Apakah menulis sesuatu yang bisa
mencerahkan tentang uapaya penanganan banjir, macet, kemiskinan, sudah tidak
aktual lagi?
Para ahli selalu
menyarankan: menulislah sesuatu yang aktual. Sayangnya masyarakat sekarang
tidak banyak menyadari hal aktual itu apa. Apalagi pemerintahnya.
Aktual dan faktual,
jangan hanya menjadi hafalan, melainkan perlu ada upaya menyinkronkan dengan
keadaan. Itulah salahsatu peran penulis untuk melahirkan karya yang bisa menggugah
kesadaran manusia.
Berkaryalah dengan lebih bermakna. Sebab, orang yang menulis
dengan ikhlas untuk kebaikan, akan selalu mendapatkan keuntungan. Yakni, apa
yang dikerjakannya sudah merupakan bagian dari ibadah.
Terlebih
lagi ide untuk membuat film dokumenter, yang memiliki fungsi sebagai Penanganan
kreatif atas realitas, penanganan masalah sosial, menggugah sebuah
kesadaran, seni sosial, propaganda, bahkan bisa juga berfungsi sebagai advokasi
terhadap kepentingan tertentu.
Dokumenter
berasal dari bahasa Inggris: documentary,
yang merupakan turunan dari bahasa Perancis: documentaire, yang mulanya hanya dimaknai sebagai film yang
mengisahkan perjalanan di suatu negeri tertentu.
Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, dokumenter artinya bersifat dokumen. Maka, jelas bahwa film
dokumenter itu harus berangkat dari kejadian nyata.
Atau bisa saja mengisahkan
kejadian yang akan datang, semacam ramalan zaman, tetapi tetap berpegang pada
realitas yang terjadi saat ini, atau dengan kata lain menapak pada fakta
(faktual) dan senantiasa aktual.
Adapun yang dimaksud aktual adalah suatu
peristiwa yang telah terjadi, sedang terjadi, atau akan terjadi, yang dianggap
penting oleh banyak orang. Joshua Oppenheimer, mengangkat kembali kisah
pembantaian komuni dalam sebuah film dokumenter ”The Act of Killing”, karena
Joshua memandang persoalan tersebut masih penting untuk diangkat kembali, meski
sudah terjadi puluhan tahun yang lalu.
Terlepas dari tema yang diangkat dalam
film tersebut, film ”The Act of Killing” telah memberi kebanggaan tersendiri
bagi para insan perfilman Indonesia, karena film tersebut menjadi satu-satunya pesaing
kuat ”Twenty Feet From The Stardom” dalam perebutan Piala Oscar 2014.
Maka,
film dokumenter itu tidak lagi sekedar sebuah cerita perjalanan ke negeri
tertentu. Tidak pula sekedar sebuah dokumentasi. Sebab, video dokumentasi
pernikahan tidak bisa dikatagorikan dokumenter, meski pada suatu saat nanti
bisa saja dieksplorasi menjadi sebuah film dokumenter.
Dalam arti, bahwa
produksi film dokumenter memerlukan penanganan kreatif pada sebuah realita. Upacara
adat dalam pesta pernikahan yang saat ini dianggap hal biasa, tidak menutup
kemungkinan beberapa tahun yang akan datang bisa menjadi sebuah tayangan luar
biasa, dengan adanya pemakmaan baru, atau sudut pandang tertentu. Berkenaan
dengan film, dokumentasi dan dokumenter itu berbeda.
Tetapi dokumentasi bisa
saja suatu saat menjadi sebuah film dokumenter, jika mendapat penanganan
kreatif.
Selain
mengangkat kembali peristiwa sejarah seperti ”The Act of Killing”, film dokumenter bisa mengangkat berbagai tema
lainnya, seperti yang berkenaan dengan ilmu pengetahuan, pengembangan dari
sebuah investigasi dan atau reportase, biografi seseorang, dan lain-lain.
Yang
pasti, begitu banyak hal di sekeliling kita yang layak diangkat menjadi sebuah
film dokumenter.
Kunci
atau kekuatan film dokumenter akan selalu terletak pada tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap peristiwa yang diangkat.
Maka dari itulah penting untuk
memperhatikan rumus fakta 5W+1 H dalam sebuah film dokumenter, termasuk suasana dan nuansa dalam film tersebut.
Jangan
lupa juga, karya apapun selalu mengandung etika dan estetika. Dan bersabarlah
untuk menanti suatu momentum yang tepat. Baik karya tulis atau film, momentum
itu cukup menentukan diterima atau tidaknya karya tersebut di tengah
masyarakat.***
Disampaikan dalam Seminar Penulisan
dan Pembuatan Film Dokumenter, di Aula Pasantren Persis 60 Katapang, Bandung, Ahad,
27 April 2014.
Komentar