Ketua
Badan Perfilman Indonesia
SENSOR film
diberlakukan di berbagai negara untuk menyaring konten yang akan dilepas kepada
khalayak penonton yang beragam.
Konten inilah yang perlu dijaga agar tidak
menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Lembaga Sensor Film (LSF) meneliti, menilai, dan kemudian
mengklasifikasikan usia penontonnya. Tentu beragam asumsi bisa muncul berkenaan
dengan hasil penyensoran.
Dengan pertumbuhan perfilman dan kemajuan
teknologi, penyensoran perlu melakukan antisipasi progresif agar konten film
bertumbuh sehat, diminati penonton, dan meminimalisir kegaduhan.
Inilah
tantangan bagi LSF yang cukup berat, karena pada tataran prakteknya akan sulit
untuk memuaskan seluruh pihak.
Pada jaman pita
seluloid, LSF benar-benar memegang gunting sehingga pada saat penyensoran film
bisa langsung memotong.
Namun pada kenyataannya tidak berarti tuntas dengan
gunting. Sebab, para kreator “nakal” mengakali LSF dengan cara membikin adegan
ciuman, misalnya, yang sengaja dibuat sepanjang mungkin, agar kalau nanti
dipotong pun masih ada sisanya.
Tapi di jaman sekarang, pada era keterbukaan
ini semakin banyak kreator yang paham akan tanggungjawabnya dalam berkarya.
Dalam melakukan penyensoran
diperlukan anggota LSF yang memahami atau berlapang dada untuk mau memahami masalah
sinematografi.
Maka tidak akan seenaknya melakukan sensor dengan cara memotong
sembarangan, tanpa menggunakan rasa. Perlu sentuhan perasaan, agar penonton
bisa menikmati keutuhan cerita yang disuguhkan.
Film ditonton bukan sekedar
seru-seruan saja, melainkan adanya impact positif yang terkandung di dalamnya.
Kaitannya dengan impact dari suatu film, wajar jika ada
film-film yang tidak lolos sensor. Untuk penolakan film yang di dalamnya banyak
mengumbar seks, kekerasan, dan darah, memang pantas tidak diloloskan.
Film yang
kesimpulannya menistakan agama, provokasi SARA sudah jelas dilarang dalam Pasal
6 UU Perfilman 2009.
Lain halnya dengan ditolaknya sebuah film berdasarkan
alasan pertimbangan politik, seperti filmyang mengungkap suatu realitas dalam
kehidupan. Sebab dalam industri perfilman ada banyak fakta menarik untuk
diangkat, yang selama ini belum berani diungkapkan.
Sebagai produk dari
Undang-undang No.33 Tahun 2009 Tentang Perfilman, tentunya LSF dibuat untuk
menjadikan film Indonesia lebih maju.
LSF sudah melakukan berbagai upaya
positif yang dapat mendorong produktivitas industri perfilman dan perlindungan masyarakat
penonton, seperti menggalakan budaya sensor mandiri.
Kita harus lebih
menyadari bahwa industri film nasional di tanah air ini merupakan tanggung jawab kita bersama.
Maka
sudah seharusnya LSF membuka ruang dialog lebih lebar lagi, terutama kepada
para kreator film nasional. Industri film harus kita elaborasi bersama-sama
agar lebih maju dan menghasilkan film-film bermutu.
Kasihan penonton yang sudah
meluangkan waktu dan menyisihkan uangnya untuk membeli tiket, jika kemudian disuguhi
oleh film yang tidak bermutu.
Satu judul film yang buruk, bisa saja menghukum
film-film lain yang sebenarnya berkualitas. Tingkat kepuasan masyarakat dalam
menonton film harus dijaga senantiasa.
Akhir kata, semoga buku
“Sensor Kontemporer” yang ditulis oleh M Sudama Dipawikarta (Dhipa Galuh Purba),
salah satu anggota LSF ini dapat menjadi pencerahan bagi para pemangku
kepentingan perfilman, terutama dalam hal cara memandang suatu film,
memperlakukan film yang sudah lolos sensor, serta memahami sensor mandiri bagi
pembuat film dan masyarakat penonton.***
Jakarta,
5 Desember 2019
==================================================================
Judul : Sensor Kontemporer; Pandangan pada
Perkembangan Sensor Film di Indonesia
Penulis :
M. Sudama Dipawikarta
Tahun
: 2019
ISBN :
978-623-221-320-3
Ukuran :
21 x 14,5 cm
Tebal :
160 halaman
Jenis Kertas Isi Bookpaper 110 Gram
Jenis Kertas Cover Art Carton 210 Gram
Isi 2 Warna
Cover 4 Warna
Jenis cover Soft Cover
Jilid: Block Lem
INFORMASI DAN PEMESANAN: 0858 8818 1776
Komentar