Sahabat Buku




Oleh DHIPA GALUH PURBA

MENJALIN sebuah persahabatan, tentu memerlukan suatu pengorbanan yang tulus. Baik persahabatan dengan sesama manusia, hewan, tumbuhan, atau dengan alam sekitarnya. Meskipun namanya tetap ‘persahabatan’, tetapi ada beberapa perberbedaan  dalam tata cara memperlakukannya. Tentunya sesuai dengan porsinya masing-masing. Namun yang pasti, menjalin persahabatan dengan apapun akan melahirkan nilai dan makna tersendiri dalam kehidupan.

Tidak terkecuali jika kita memilih untuk bersahabat dengan buku. Pengorbanan itu harus selalu ada. Ia harus mengorbankan sebagian materi, untuk mendapatkan buku. Sementara itu, timbal baliknya buku akan memperkaya sahabatnya dengan khazanah ilmu pengetahuan, tergantung jenis pengetahuan yang terkandung dalam buku tersebut.

            Orang yang gemar membaca dan selalu haus ilmu pengetahuan, dapat dipastikan bersahabat dengan banyak buku. Ia tidak akan merasa rugi untuk menyisihkan materinya, demi mendapatkan sahabat baru. Semakin banyak sahabatnya, semakin bertambah wawasan ilmu pengetahuannya. Sedangkan untuk menentukan kulaitas seseorang, ada satu sisi yang bisa ditentukan oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya.

            Sahabat yang sangat dicintai, tidak mungkin dipinjamkan apalagi diberikan kepada orang lain.  Oleh karena itu, sangat wajar jika ada seseorang yang enggan untuk meminjamkan buku, apalagi memberikannya. Ia begitu khawatir akan keselamatan sahabatnya, kalau sampai jatuh ke tangan orang lain. Ia pasti akan kecewa bahkan sakit hati, kalau sahabatnya tidak kembali lagi. Maka dari itu, dalam hal ini, jangan berprasangka buruk kepada orang yang tidak mau meminjamkan buku. Lebih baik kita berkorban, untuk mencari sahabat sendiri, daripada merebut sahabat orang lain.

            Bagi yang belum mengerti makna persahabatan dengan buku, pasti menganggap berlebihan terhadap para sahabat buku. Ia akan menganggap persoalan sepele ketika suatu saat meminjam buku dan tidak mengembalikannya. Jika persoalan itu dibesar-besarkan, ia akan segera mengatakan “Pilakadar buku…” tanpa mau memahami perasaan orang yang kehilangan sahabatnya. Tidak heran jika orang semisal Drew Barrymore, seorang artis dunia yang cukup ternama, lebih rela memberikan barang yang lebih mahal, daripada harus memberikan buku. Meskipun Drew Barrymore enggan memberikan buku yang telah menjadi sahabatnya, tetapi bukan berarti Drew Barrymore tidak dermawan. Persahabatan yang telah terjalin dengan erat, tidak bisa diukur oleh materi, tidak terkecuali persahabatan dengan buku.

            Ajip Rosidi, seorang budayawan dan ilmuwan yang memiliki ribuan sahabat bernama buku. Dalam suatu perbincangan live di radio Kencana Bandung (30/5/03), beliau mengatakan bahwa siapapun boleh membaca buku-bukunya, tetapi tidak dipinjamkan. Silahkan membaca buku sepuas-puasnya di ruang perpustakaan pribadi, bakal disuguhan deuih. Demikian kata Ajip, yang tampaknya cukup mewakili untuk menepis prasangka buruk bagi orang yang tidak mau meminjamkan buku. Ajip lebih senang membelikan buku, untuk kemudian memberikannya. Kalau buku yang sudah menjadi sahabatnya, kita mesti berpikir ribuan kali untuk meminjam apalagi memintanya.

            Dari waktu ke waktu, kebiasan masyarakat untuk membaca (reading habit) tampaknya mulai semakin meningkat. Sayang sekali, persoalan yang terjadi masih berkisar pada rendahnya minat uktuk membeli buku. Benarkah masyarakat tidak mampu membeli buku? Ada yang memang benar-benar tidak mampu. Namun di kalangan orang yang tergolong mampu juga, minat untuk membeli buku tetap saja sangat rendah. Setidaknya gejala seperti itulah jika kita mengamati hasil jejak pendapat Kompas pada bulan Januari 2005.   Sekitar 88 persen responden mengakui bahwa dirinya tidak menganggarkan dana khusus untuk membeli buku. Hanya 12 persen responden, yang benar-benar memandang buku sebagai kebutuhan yang serius.


Meminjam Buku

ORANG yang punya banyak sahabat buku juga, ada saatnya harus meminjam buku. Tentu saja alasannya sangat masuk akal. Misalnya dikarenakan buku yang dibutuhkan itu sudah berusia lanjut, dan tidak beredar lagi di pasaran. Maka dari itu, meminjam ke perpustakaan atau rumah baca adalah jalan keluarnya. Orang yang memahami nilai buku, akan meminjam buku dengan cara yang baik, dan pasti mengembalikannya. Maka dari itu, pemerintah atau swasta berusaha memenuhi kebutuhan buku bagi masyarakat, dengan cara mendirikan perpustakaan. Masalahnya tinggal bagaimana mengelola perpustakaan tersebut, supaya benar-benar memenuhi kebutuhan masyarakat pembaca. Meminjam buku ke perpustakaan pun memerlukan pengorbanan. Sekurang-kurangnya kita akan mengeluarkan materi, untuk ongkos perjalanan dari rumah menuju perpustakaan.

Di antara perpustakaan yang tersebar di beberapa daerah, ada juga personal di tengah lingkungan masyarakat, yang berusaha menyediakan kebutuhan buku. Misalnya Ua Sasmita (l. Tasikmalaya, 15-5-1951), yang memutuskan untuk membuka “Rumah Baca Buku Sunda Jeung Sajabana” di tempat tinggalnya, Komplek Perumahan Margawangi, Jl. Margawangi VII No.5, Bandung.

Ketika diundang untuk berdialog live di Radio Antasalam Bandung (10/06/05), Ua Sasmita—lebih akrab dipanggil Ua Sas—mengatakan  hanya satu sarat untuk meminjam buku di Rumah Baca, yakni harus dikembalikan. Ua Sas yang dikenal sebagai kuncen (moderator) Kusnet (Komunitas Urang Sunda di Internet), tidak berniat bisnis dalam mengelola rumah baca tersebut. Tujuannya adalah untuk membangkitkan gairah membaca di lingkungan masyarakat. Rumah Baca Ua Sas bersedia meminjaman buku untuk orang yang benar-benar tidak mampu membeli buku, sedangkan minat bacanya tinggi. Namun yang lebih menarik, di Rumah Baca Ua Sas terdapat buku-buku yang usinya tergolong tua, seperti buku-buku wawatjan, pantun, sampai kamus Sunda-Inggris (Jonathan Rigg,  Dictionary Sunda Language”,  1862). Ua Sas  memiliki lebih dari 600 judul buku berbahasa Sunda, 200 judul buku bahasa Indonesia tentang Sunda, dan 300 judul buku pengetahuan  di bidang sastra, agama, dan humaniora.

            Ua Sas bukan satu-satunya orang yang membuka rumah buku, dan bersedoa meminjamkan bukunya secara gratis. Tentu, masih banyak sahabat buku lainnya yang seperti Ua Sas. Yang pasti, orang seperti Ua Sas sangat senang apabila ada orang yang meminjam buku kepadanya. Ua Sas akan lebih senang lagi, kalau buku tersebut dikembalikan tepat pada waktunya. Ma dari itu, tidak ada alasan untuk tidak membaca buku.

            Tulisan ini saya tutup dengan sebuah harapan, khususnya kepada para musisi atau pencipta lagu, lebih khusunya lagi kepada Kang Iwan Fals. Tolong, buatlah sebuah lagu yang berjudul: “Buku ini aku beli”.***

Ranggon Panyileukan, 20 Jumadil Awal 1426 Hijriyah.


0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post