Oleh DHIPA GALUH PURBA
MAKA selamatlah kata “Pesta” jika
diikuti dengan kata “Buku”. Tentu saja selamat
yang dimaksud, bukan semacam terhindar dari kecelakaan atau terlepas dari ancaman
api neraka. Selamat di sini lebih berhubungan dengan kesan kata pesta, yang selama
ini dianggap identik dengan kegiatan semacam hura-hura, pamer kemewahan, dan
segala kesan negatif lainnya. Berbeda dengan pesta lainnya, Pesta Buku adalah sarana
yang sangat efektif dan bermanfaat bagi masyarakat. Betapa tidak, berbicara seputar
buku artinya berbicara belantara keilmuan. Sementara pahala manusia yang tidak
akan berhenti mengalir, salah satunya adalah sumbangan ilmu yang bermanfaat. Jika
demikian, maka Pesta Buku merupakan jenis pesta yang tidak akan berakhir. Kendati
demikian, hal tersebut sangat berkaitan dengan buku apa dan bagaimana yang dipestakan.
Buku sangat layak
untuk dipestakan. Kita bisa menyaksikan—minimal membaca atau mendengar berita—betapa meriahnya
ketika pada tahun yang lalu digelar “Pesta Buku Antarbangsa” di Kuala Lumpur . Pesta Buku
tersebut diikuti oleh beberapa negara, seperti New Zealand, Mesir, Amerika,
China, Thailand, Singapura, Brunei, Indonesia, dsb. Masih pada tahun 2005, di Indonesia
pun digelar “Pesta Buku Jakarta 2005” yang berlangsung di Istora Gelora Bung
Karno Senayan, Jakarta .
Kiranya
manusia di belahan bumi sepakat bahwa buku merupakan lautan ilmu, guru kedua,
jendela dunia, dan berbagai ungkapan positif lainnya. Tampaknya murid Sekolah
Dasar pun sudah mengetahui hal itu—mengetahui tidak berarti menyadari. Jika sudah
menyadari akan pentingnya buku, setidaknya ada dorongan untuk membaca
buku—membaca saja tidak menjadi jaminan untuk memahami. Kalau begitu, bagaimana
jadinya bagi yang tidak membaca buku sama sekali? Seandainya boleh mengubah sedikit
saja ungkapan Joseph Brodsky, yang mengatakan bahwa kejahatan yang lebih buruk
daripada membakar buku adalah—salah satunya—tidak membaca buku. Saya akan
menggantinya dengan “kebodohan” bukan “kejahatan”, kecuali jika sudah ada
undang-undang bagi yang tidak membaca buku, perlu ditangkap dan dimasukkan penjara.
Sejak zaman dulu,
berbagai pesta telah diagungkan dalam buku. Tentu saja sangat lumrah jika kali
ini buku yang diagungkan dalam sebuah pesta. Berjuta kata yang terkandung dalam
berjuta lembar buku merupakan kandaga ilmu yang tidak ternilai harganya. Tidak
berlebihan jika buku meupakan media yang sanggup mengubah wajah dunia. Semuanya
bisa berawal dari buku. Seperti juga yang pernah diungkapkan oleh Barbara
Tuchman, bahwa Buku adalah pengusung peradaban. Tanpa kehadiran sosok yang
bernama buku, maka sejarah akan menjadi sunyi, sastra dirundung bisu, ilmu
pengetahuan terjangkit lumpuh, begitu kata
Tuchman.
Di
Indonesia, potensi untuk menerbitkan buku sangat besar. Mari kita memandang luasnya
alam Indonesia
dengan segala kesuburannya. Pohon rindang nan hijau mewarnai belantara hutan. Setidaknya,
mustahil kehabisan bahan dasar untuk membuat kertas. Sayang, kita telah kehilangan
banyak pepohonan yang membuat hutan menjadi rata. Dan pohon-pohon yang ditebang
membabi buta, sangat tidak sebanding dengan
jumlah buku yang terbit saban tahun. Bukan buku, yang mengakibatkan tanah kita
gundul dan merebaknya musibah banjir. Jadi, buku tidak berpesta di atas
penderitaan manusia.***
Ranggon Panyileukan, 13 Dzulhijjah 1426 H
Komentar