Yat. R, Pengarang Dongéng Yang Hampir Terlupakan




Catatan DHIPA GALUH PURBA

SEKITAR tahun 1970 sampai dengan akhir 1990-an, dongéng berbahasa Sunda di radio menjadi primadona hiburan masyarakat. Menyimak dongéng Sunda di radio merupakan jadwal rutin yang enggan untuk dilewatkan, seperti halnya masyarakat dewasa ini  menantikan serial sinetron di televisi. 

Tak pelak lagi, demam dongeng Sunda telah melahirkan nama-nama pendongeng sohor semisal Rachmat Dipradja, Aki Balangantrang, Wa Képoh, Mang Jaya, Mang Barna, Ki Mad Ohle, dan sebagainya. Di balik kesuksesan para juru dongeng itu, terdapat tangan-tangan kreatif para penulis yang kini hampir terlupakan. Tanpa bermaksud mengecilkan peran juru dongeng, para penulis naskah dongeng memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan kualitas dongeng yang digandrungi masyarakat.

Disadari atau tidak disadari, dengan adanya dongeng Sunda di radio, turut mendongkrak minat baca masyarakat. Seperti yang ditulis Atep Kurnia dalam Majalah Seni Budaya (No. 182, Désémber 2006), dongéng-dongéng Sunda di radio sangat erat kaitannya dengan penerbitan buku-buku roman pop Sunda sekitar tahun 1960-1970-an. 

Masyarakat bukan saja memburu buku-buku yang dibacakan oleh para juru dongeng sohor, melainkan buku-buku lainnya banyak digemari. Atep menuliskan bahwa jumlah buku-buku tersebut mencapai ratusan judul. 

Contohnya Waliwis Bodas (Tjaringin, 1969) karya S. Sukandar; Si Buraong (Wargina, 1971) karya K. Soekarna; Andjar (Pusaka Sunda, 1967) karya A. Roestandi. Pusaka nu Ménta Wadal (Romanato, 1970) karya A. Tolib; Rusiah Euis Marlinah (Wargina, 1969) karya Tatang KS. Ironisnya yang mengoleksi buku-buku tersebut adalah perpustakaan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), yang mengoleksi roman Sunda sedikitnya 270-an judul. Buku-buku dan naskah dongeng Sunda, luput dari pengamatan para kritikus sastra Sunda.

Dari sekian banyak dongeng Sunda di radio, cerita yang sangat fenonemal adalah  Sirod Djelema Gaib (Saputra, 1969) karya K. Soekarna, Si Buntung Djago Tutugan (Tjaringin, 1969) karya S. Sukandar atas karyanya,  dan Si Rawing karya Yat. R. Dongéng Sunda Si Rawing yang dipedar oleh Si Raja Dongéng Wa Képoh (Drs. Ahmad Sutisna) tak pelak lagi membuat masyarakat lebih tergila-gila mendengarkan dongeng Sunda. 

Kegandrungan masyarakat terhadap Si Rawing, menyedot perhatian produser film dari Jakarta, yang kemudian dongeng Si Rawing diangkat ke film layar lebar, diproduksi oleh PT. Kanta Indah Film. Adapun pemeran tokoh Si Rawing adalah aktor laga ternama Barry Prima.

Yat. R, nama yang khas dan tentu disebutkan oleh juru dongéng sebelum juru dongeng memulai ngadongéng. Nama lengkapnya adalah Yayat Ruhiyat, lahir di Bandung, 8 Séptémber 1954.  Yat R, anak sulung dari tujuh bersaudara. 

Sejak kecil, cita-citanya ingin menjadi ahli tékhnik. Pada mulanya memang tidak ada sedikit pun tersirat niat untuk menjadi penulis cerita. Ketika menyelesaikan SR (Sekolah Rakyat) pun, Yat melanjutkan ke STN (Sekolah Tekhnik Negeri), dan selanjutnya ke STM (Sekolah Tékhnik Menengah) Grafika.

Namun di tengah perjalanan mencapai cita-citanya, tiba-tiba Yat tertarik untuk terjun ke dunia broad casting. Sekitar tahun 1976, Yat memulai kariernya sebagai penyiar radio Paksi, lalu berpindah ke  Radio Polvo, dan Radio Mutiara. 

Yat mengasuh acara dongeng sebagai juru dongeng. Ceritanya dikarang sendiri, tanpa ditulis terlebih dahulu. Kata orang Sunda, istilahnya ditambul. Yat ngadongéng  sekitar 15 judul, tanpa menggunakan naskah. Di antaranya dongéng  Banjir Getih di Cimandi, Karaman Banjar Patroman, Si Koncléng, dan lain-lain. Kemampuan Yat dalam mengolah cerita bukan tanpa sebab. Sejak kecil, Yat sangat gemar membaca buku cerita, baik komik maupun novel.

Lama kelamaan, Yat menjadi sadar akan pentingnya mendokumentasikan cerita, dengan cara menulis. Selanjutnya, Yat mulai menulis naskah dongéng, dan memutuskan berhenti menjadi juru dongeng. Yat menyadari bahwa dirinya lebih cocok menulis cerita dongeng daripada menjadi juru dongeng. Naskah Yat mulai bergema di radio-radio melalui pendongeng sohor waktu itu, misalnya Aki Balangantrang. Karangan Yat yang didongengkan oleh Aki Balangantrang berjudul Harta Karun di Basisir Kidul, tahun 1979.

Puluhan judul dongéng terlahir dari buah pikiran Yat, baik yang ditulis maupun tidak sempat didokumentasikan. Di antaranya Naratas Jalan Panjang (1980), Macan Kumbang Sakembaran (1981), Rebutan Mustika (1982), Tumbal Asmara (1983), Gandrung Kapahung (1984), Talaga Langkara (1985), Karaman Banjar Patroman (1986), Si Koncléng (1991), Si Bopéng (1992), Nang Ulung (1992), Jago Pangrango (1993), Macan Manglayang (1994), Jago pamungkas (1995), Naga Runting (1996), Jabang Karang (1997), Ujang Bulé (1998), Nyi Béntang (1991), Parawan Rawayan (2001), Sanca Bodas (2002), dan lain-lain.***

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post