Kearifan Budaya Sunda; Sebuah Perenungan



Oleh DHIPA GALUH PURBA

…Jangankan manusia, apah (air), teja (cahaya), bayu (angin), serta akasa (langit) merasa nyaman dan tenteram berada di bawah naungan pemerintahan Sang Maha Prabu Niskala wastu Kencana Prabuwesi Buana Tunggal…

Demikian sebuah cuplikan kalimat dalam cerita Niskala Wastu Kancana Unggul dalam Perang Lama Jaya di Buana. Sebuah karya tulis yang disadur bebas ke dalam bahasa Indonesia, dari sebuah roman sejarah berjudul Tanjeur Na Juritan Jaya di Buana, karangan Yosep Iskandar.

Ini adalah sekelumit gambaran tentang kepribadian seorang Raja Sunda. Kendati peristiwa tragis di Bubat tahun 1357  begitu menyakitkan, namun Wastu Kencana tidak memiliki itikad untuk menyerang balas Majapahit.

Wastu Kencana tidak mengajarkan untuk menjadi seorang pendendam. Ia malah begitu menjunjung nilai-nilai kemanusian. Kedamaian, ketentraman, merupakan bagian dari cita-cita luhurnya. Seperti juga yang dapat dirasakan dalam isi prasasti di Kabuyutan Sanghiyang Linggahiyang.

*

Budaya Sunda adalah budaya adi luhung. Kata orang Sunda yang banga dengan para leluhurnya. Entahlah bagi orang (yang bukan Sunda), atau orang Sunda yang tidak bangga dengan kesundaannya. Budaya yang dianut oleh suatu etnik, merupakan jati diri etnik tersebut.

Tentang adanya akulturasi dengan budaya lain, tentu saja merupakan hal yang sangat wajar. Sebab kebudayaan itu akan berkembang, sesuai dengan tuntutan zaman. Seperti juga yang diungkapkan oleh Iqbal dalam bukunya yang berjudul The Reconstruction of religius Thoult in Islam, bahwa kebudayaan itu bergerak seiring dengan beban masa lalu yang disandangnya, dan dalam beberapa perubahan social, kekuatan konservatif tidak bias dihilangkan begitu saja, walaupun telah berubah nilai fungsinya. Dan yang pasti, tidak ada seorang pun yang bias menolak semua masa lalu yang telah membentuk identitas dirinya.

T.S. Ellot, dalam bukunya yang berjudul "Notes Towards The Definittion of Culture", mengungkapkan bahwa kebudayaan seseorang menunjukan agamanya. Hal inilah yang nampaknya  menjadi sebuah dilema yang bagi sebagian orang Sunda.

Ada semacam penafsiran atau pandangan, jika memang kebudayaan seseorang menunjukan agamanya, berarti orang yang berkebudayaan Sunda itu adalah penganut agama Sunda. Padahal tidak seperti itu adanya.

Justru di sanalah letak keluhungan budaya Sunda itu. Seseorang akan tetap menjadi orang Sunda, meskipun agamanya bukan Sunda. Tentang kebudayaan Sunda, adakah yang bertabrakan dengan agama? Khususnya agama Islam. Bahkan orang kanekes Baduy pernah berkata, "Aing mah da geus Islam, samemeh aya agama Islam ka dieu oge…" (Saya sudah Islam, sebelum agama Islam menyebar ke sini). Tidak heran, jika ada orang Sunda yang tidak beragama Islam, terkadang suka aneh juga.

Kebudayaan Sunda mengajarkan ilmu padi yang merunduk karena penuh dan berisi, dalam sebuah kalimat simbolik Elmu Pare. Upacara ritual ronggeng gunung di Ciamis atau tarawangsa di Sumedang, merupakan symbol penghormatan terhadap Sang maha Pencipta.

Bandingkan pula dengan upacara perayaan Imlek Tiongkok, yang menyambut datangnya musim semi, setelah melalui masa-masa musim salju.

Semuanya merupakan sebuah acara 'syukuran' kepada Yang Maha Pencipta. Sebagai bukti, bahwa sejak dulu para leluhur sudah meyakini keberadaan Yang Maha Kuasa. Leluhur Sunda, bukan aliran animisme.

Jelas sekali, mereka mengenal Tuhan. Hanya saja, saat itu belum berkembang agama Islam secara pesat. Dan masuknya ajaran Islam, merupakan penyempurnaan kepercayaan terhadap Yang Maha Kuasa, Alloh Swt.

Kendati sampai saat ini masih ada pagelaran Ronggeng Gunung, Pesta Dadung, atau Tarawangsa, bentuknya lebih merujuk pada aspek Performance atau wisata. Contohnya pada upacara Seren Taun Cigugur Kuningan, berbagai pertunjukan digelar untuk merayakan acara tersebut.

Dengan masuknya agama Islam, apakah kebudayaan Sunda mesti dilestarikan? Tentu saja jawabannya, ya! Ketika masih hidup di perkampungan, saya suka tidak terbiasa makan nasi yang  dimasak menggunakan listrik. Sangu pulen meunang ngakeul, dengan garam pun terasa sangat nikmat. Cukup satu piring.

Tapi setelah masuk ke budaya perkotaan, yang mengajarkan segala macam serba praktis, rasanya nasi kurang nikmat. Jangankan hanya dengan garam. Berasnya mungkin sama. Nasinya juga sama. Namun cara mengolahnya yang berbeda. Atau mungkin juga 'penghargaan' terhadap nasinya.

Saya berpandangan, bahwa budaya Sunda selaras dengan agama Islam. Yang dilarang oleh Islam, pasti dipantrang juga oleh Sunda. Namun kebudayaan bukanlah agama. Kebudayaan merupakan ekspresi seoang angota masyarakat yang terlahir di wilayahnya.

Terlalu banyak, jika mengemukakan contoh kebudayaan Sunda, yang begitu selaras dengan agama Islam. Yang pasti, saat ini kebudayaan Sunda semakin terseret oleh arus budaya luar yang kurang mendidik.

Tentang adanya percampuran dengan budaya lain, tentu saja tidak bisa ditolak. Sebab bagaimana pun, suatu kebudayaan itu, tak akan pernah lepas dari akulturasi. Hanya saja, harus dikembalikan lagi terhadap bagaimana cara memilah-milahnya.

Dalam keseharian, saya pun tidak berpakaian adat Sunda. Namun saya tetap orang Sunda. Bahasa Sunda saya tidak terlalu pasih, namun saya tetap orang Sunda. Ajip Rosidi, yang berpuluh tahun hidup di Jepang, sehari-harinya berbahasa Jepang, tetap saja tak akan dikatakan orang Jepang.

Pada akhirnya akan sampai terhadap sebuah pertanyaan untuk direnungkan, di sisi mana akan melihat kesundaan seseorang itu? Sementara yang kasat mata (Pakaian, bahasa, dan sebangsanya) kini semakin tidak nampak.***

Bandung, 2002

















0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post