Teater Lorong Subang, ketika mementaskan naskah drama BADOG |
Catatan DHIPA GALUH PURBA
MEMBACA tema diskusi ini, pikiran saya langsung tertuju kepada pemerintah, khususnya pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai kreator Peraturan Daerah (Perda) Kebudayaan. Diantaranya adalah Perda No.5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah; Perda No. 5 Tahun 2003, tentang pemeliharaan kesenian; dan Perda No. 7 Tahun 2003, Tentang Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai Tradisional, dan Museum.
Namun saya tidak akan membahas isi perda-perda tersebut. Sebab, semalam saya telah berusaha mencari buku perda, menggeledah seisi rumah, dan hasilnya nihil. Memang, saya sangat benci melihat buku yang memuat perda itu, sehingga saya tidak menyimpannya dengan tertib.
Saya membencinya karena sejak peraturan itu disosialisasikan, sejak itu pula sudah dilanggar oleh pembuatnya. Perda itu dibukukan dengan eksklusif, yang tentu menghabiskan dana sangat besar. Sayang sekali, buku perda itu hanya mementingkan penampilan atau bungkus luarnya saja, tanpa mempedulikan isinya.
Buku yang memuat perarturan itu sungguh sangat tidak teratur. Kesalahan cetak mewarnai buku tersebut, sehingga boleh dikatakan hampir 11-12 dengan buku “Ranggeuyan Kadeudeuh”. Sangat ironis; sebuah rangkaian peraturan yang mengatur pemeliharaan bahasa dan sastra, tetapi penggunaan bahasa dalam peraturan itu pun sudah begitu jauh dari teratur.
Buku perda itu dibagikan kepada para wartawan pada tanggal 15 November 2003. Kabarnya, pembagian buku perda tersebut dibarengi dengan amplop Rp 100.000,-, dan mereka berjanji akan segera merevisi buku tersebut. Pada saat itu saya memang tidak hadir, karena tidak diundang.
Tetapi saya mendapatkan buku tersebut dari seorang kawan, dan setelah saya lihat isinya, langsung saya campakan. Saya juga kecewa, karena sepanjang pengamatan saya, tidak ada media yang mengangkat hal itu. Bisa jadi karena pihak pemprop telah berjanji akan merevisinya, atau tidak mustahil karena Rp 100.000. Yang pasti, sampai hari ini saya belum pernah melihat edisi revisinya yang termuat dalam buku seginding itu.
Jadi, ketika tadi malam saya mencari-cari buku perda tersebut, saya tidak berhasil menemukannya. Dan ini akan dijadikan sebagai bahan pendidikan bagi saya, bahwa terkadang sesuatu yang saya benci suatu saat akan saya cari.
Yang dibenci, bukan harus dicaci, melainkan diperbaiki. Tetapi, meski buku perda itu tidak saya temukan, saya yakin semua orang sudah mengetahui isinya, paling tidak sekilas pernah mendengarnya. Atau perhatikan saja judulnya: pemeliharaan bahasa, sastra dan aksara daerah; pemeliharaan kesenian; dan Pengelolaan Kepurbakalaan, Kesejarahan, Nilai Tradisional, dan Museum.
Semuanya berhubungan dengan drama sunda. Dalam drama Sunda tentu saja realisasi atas upaya dan usaha untuk memelihara bahasa dan sastra daerah, dalam hal ini adalah bahasa Sunda. Drama Sunda jelas merupakan kesenian. Bahkan pertunjukan drama bisa mencakup berbagai unsur kesenian, seperti seni peran, seni tari, seni rupa, dan seni musik. Drama Sunda juga bisa mencakup kesejarahan dan tentu nilai tradisional.
Namun, carut-marutnya penyusunan buku perda kebudayaan seolah-olah menjadi foreshadowing pada realisasi langkah kerja selanjutnya. Biasanya perda itu seiring dengan anggaran. Namun, saya heran, setiap FDBS digelar, selalu mendengar persoalan kekurangan biaya karena minimnya dukungan dari pemerintah.
Teater Sunda Kiwari (TSK), penyelenggara FDBS, seringkali harus meninggalkan jejak tunggakan dalam menyukseskan kegiatan ini. Sudah tentu, para personil TSK yang berjibaku siang-malam harus rela bekerja tanpa honorarium. Ini adalah wujud dari kecintaan terhadap budaya Sunda, dan merupakan langkah kerja nyata dalam memelihara, melestarikan, dan mengembangkan seni budaya bangsa, khususnya Sunda.
Tanpa bantuan pemerintah, FDBS jalan terus. Namun, sungguh tidak tahu malu kalau pemerintah tidak bisa menghargai kegiatan semacam ini. Contohnya, ketika tengah berlangsung FDBS X 2008, Disbudpar Jabar ketimbang membantu mencarikan solusi persoalan biaya operasional, malah melecehkan kegiatan FDBS. Saat itu, Kadisbudpar Jabar masih dipegang oleh Drs. H. Idjudin Budhiana, M.Si.,. Ia menyatakan bahwa “Kurangnya afresiasi masyarakat terhadap teater Sunda, karena kemasan pergelarannya kurang menarik.
Selain itu, tema atau judul pergelaran pun tidak mengangkat hal-hal yang aktual dan faktual, serta tidak kreatif.” Ironisnya, selama berlangsung Festival Drama Basa Sunda (FDBS) X di Gedung Kesenian Rumentang Siang, H.Ijudin Budhiana belum pernah menyaksikan kreativitas para peserta FDBS X. Sayang sekali, Pak Idjudin pada akhirnya malah memilih tinggal di balik jeruji besi daripada mengurusi kebudayaan Sunda dengan ikhlas dan amanah.
Persoalan kurangnya dukungan pemerintah bukan hanya dialami oleh penyelenggara FDBS, tetapi dialami pula oleh para pesertanya. Banyak pimpinan grup teater dari luar kota yang mengeluhkan kurangnya perhatian pemerintah setempat. Contohnya yang sering kali disampaikan oleh ketua Teater Bolon Tasikmalaya.
Bahkan pada penutupan FDBS X, ketua Teater Bolon membacakan surat dari pemerintah setempat yang ditujukan kepada pengelola Gedung Kesenian Rumentangsiang. Isinya, menitipkan anak-anak bolon untuk numpang menginap di Rumentangsiang. Begitu teganya melepas rombongan anak-anak kecil dengan hanya dibekali sepucuk surat “numpang tidur di tikar”, karena di Rumentangsiang memang tidak tersedia kamar tidur. Padahal anak-anak itu tengah menjalani tugas mulia, membangun Tasikmalaya dengan kegiatan seni budaya.
Oleh karena itulah, FDBS sangat cocok menjadi bahan pendidikan untuk pemerintah, terutama dalam merealisasikan Perda Kebudayaan. Membuat kegiatan itu harus 13-K, seperti yang dilakukan Teater Sunda Kiwari.
Kontinu. FDBS telah berlangsung secara berkesinambungan sejak tahun 1990 (sembilan tahun sebelum UNESCO mencanangkan Hari Bahasa Ibu Internasional 21 Februari). FDBS digelar setiap dua tahun sekali dan tak pernah terhenti, meskipun selalu meninggalkan jejak tunggakan karena kekurangan biaya operasional.
Usianya sudah 20 tahun, menunjukkan bahwa kegiatan FDBS tidak geledug ces. Membuat kegiatan akbar itu bisa dibilang mudah. Apalagi kalau didukung oleh anggaran dana yang besar. Tetapi, belum tentu bisa terjamin kesinambunganya. Sebab, yang sulit itu adalah mempertahankan kontinuitas sebuah kegiatan.
Konsisten. FDBS telah menunjukan konsistensinya dalam menggelar kegiatan ini. Terutama dalam hal pemeliharaan bahasa Sunda. Drama yang dilombakan tetap berbahasa Sunda, tanpa harus tergoda oleh para peserta yang banyak didominasi oleh ABG.
Konservatif. Jelas FDBS sangat konservatif, karena di dalam drama Sunda terdapat tata nilai tradisi yang tetap dipertahankan.
Kualitas. Dari tahun ke tahun, kualitas pesertanya semakin baik. Demikian menurut pengamatan saya dan hasil wawancara terhadap dewan juri.
Kuantitas: Silahkan amati jumlah pesertanya dari tahun ke tahun. Dalam makalah ini, saya lampirkan jumlah peserta FDBS sejak tahun 1990 sampai 2008.
Komunikatif. Saya memperhatikan penontonnya bisa menikmati setiap pertunjukan dalam FDBS. Berarti komunikatif.
Konstruktif. FDBS senantiasa membina dan membangun seluruh grup teater dan penontonnya untuk lebih meningkatkan kualitas kecintaan terhadad budaya Sunda.
Kooperatif: FDBS menunjukkan adanya kerjasama antara peserta dan panitia, juga penontonnya.
Konsekuen. Perhatikan keputusan juri yang tidak bisa diganggu gugat. Panitia tidak pernah ikut campur dalam hal penjurian.
Korelatif: Ada hubungan yang jelas antara kegiatan dan tujuan dari kegiatan tersebut.
Kompak. FDBS telah menunjukkan kekompakannya dalam menjalin kerjasama dengan masyarakat.
Kreatif.
Kiwari
**
Lampiran
Festival Drama Basa Sunda
FDBS I 1990
Berlangsung 21 – 24 Februari 1990
Jumlah Peserta: 18 group.
Juara I: Bina Budaya Cianjur
FDBS II 1992
Berlangsung 3 – 8 Agustus 1992
Jumlah peserta: 21 group.
Juara I: Teater Sembada Kabupaten Bandung
FDBS III 1994
Berlangsung 18 – 24 Juli 1994
Jumlah peserta: 22 group
Juara: Teater Dongkrak Tasikmalaya
FDBS IV 1996
Berlangsung 8 – 16 Agustus 1996
Jumlah peserta: 24 group.
Juara I: Teater Serang
FDBS V 1998
Berlangsung 4 – 10 Mei 1998
Jumlah peserta: 24 group.
Juara I Teater Lorong Subang
FDBS VI 2000
Berlangsung 17 – 23 Januari 2000
Jumlah peserta: 29 group (mundur 2 grup)
Juara: Lorong Subang
FDBS VII 2002
Berlangsung 25 Februari – 5 Maret 2002
Jumlah peserta: 33 group (mundur 1 group)
Naskah Favorit: “BOM” karya Yosep Iskandar, “Sorabi Legendaris” karya Arthur S. Nalan.
Juara 1 Teater Citraresmi (Universitas Winaya Mukti Bandung)
Juara 2 Teater Dwi Citra PB, Kabupaten Bandung
Juara 3 Teater Amara Suli, Baleendah
Panata musik Pinunjul: Wandi Ismail (Teater Citraresmi)
Sutradara Pinunjul: Agus Kusnandar (Teater Citraresmi)
Aktor Pinunjul: Teten (Teater Dwi Citra PB. Kabupaten Bandung)
Aktris Pinunjul: Emma Nur'afiffah (Teater Damri IAIN SGD Bandung).
Panata Artistik Pinunjul: Didin Tulank (Teater Nagen, Kabupaten Bandung)
Peserta: Teater Bolon, Teater "GEN", TEPASS (Teater Pamass), Teater Dongkrak, Teater Sinyal, Teater Citraresmi Unwim, Teater "Soang", Lisman 2, Lisma Unpas, Teater Pecut, Itam's, Teater Wawanen, Teater Nagen, Teater Angkasa, Teater 06, Teater Opelet, Teater Kolong Langit, Teater CKB, Teater Dwi Cipta PB, Amarasuli, Teater Nusantara, Teater Kape, Teater Damri, Sanggar Juang '45 "A", Sanggar Juang '55 "B", STEPU (SMU Puragabaya), Teater Awal IAIN SGD, Lorong Teater B, tug nepi ka Teater BSB Galuh Taruna (Kumpulan Mahasiswa Ti Ciamis).
FDBS VIII 2004
Berlangsung 16 – 23 Februari 2004
Jumlah peserta 40 group (mundur 3 group)
Dewan juri: Benny Johanes, Ayi Kurnia, dan Godi Suwarna
Naskah Favorit: Sisit Kadal (Arthur S. Nalan)
Juara I : Téater Lorong (Subang)
Juara II : Téater Awal IAIN Sunan Gunung Djati Bandung
Juara III : Téater Lises Citraresmi Unwim
Aktor Pinunjul: Rudiansyah (Téater Lorong Subang)
Aktris Pinunjul : Yanri P (Téater Awal II Garut).
FDBS IX 2006
Berlangsung 13 – 24 Februari 2006
Jumlah peserta: 52 group.
Dewan Juri: Godi Suwarna, Rachman Sabur, dan Tcetce Raksa Muhammad.
Naskah: “Cucunguk” karya Yoséph Iskandar, “Sajak Balangsak” karya Arthur S Nalan, “Cangkilung” karya Nunu Nazarudin Azhar, “Kabayan Langlang Jaman” karya Rosyid É Abby, dan “Garong Intelék” saduran Rosyid É Abby dari drama “Nyonya dan Nyonya” karya Motinggo Busye.
Juara I : Téater Toneel Kab. Bandung
Juara II: Téater Citraresmi Unwim
Juara III: Téater Lorong Subang.
Aktor Pinunjul: Rano Sumarno (Téater Toneel Kab. Bandung)
Aktris Pinunjul: Réani (Téater Polos, Tasikmalaya)
Penata artistik Pinunjul: Derry W-Cecep (Téater Toneel Kab. Bandung)
Penata Musik Pinunjul: Dédén Buleng (Téater Toneel Kab. Bandung)
Sutradara Pinunjul: Giri Musikar (Téater Toneel Kabupaten Bandung)
Peserta: Téater Lakon UPI Bandung, Téater Langit Kabupatén Bandung, Lingga Karawang, Téater Lorong Subang, T-Blod Bandung, Sanggar Simpay Jogja, Sangsetia SMA 1 Garut, LS. Kencana Muda Bandung, Béngkél Seni Sukabumi, Téater Patih SMA Pasundan 7 Bandung, Téater Pecut FKIP Uniku, Téater Opelét Tasikmalaya, Posstheatron Garut, Téater Alif Garut, Citraresmi Unwim Sumedang, Téater Nusantara 32/A Bandung, Téater Polos Tasikmalaya, Tepass Unpad, Téater Wébé Cimahi, Téater KMK Nagen Bandung, T-420 Bandung, Téater Bumi Bandung, Térrorist C-13 SMKN 13 Bandung, Damas Cabang Bandung, Komunitas Katumbiri Cianjur, Téater Adinira Sumedang, Lisma Unpas Bandung, Téater Nusantara 32/B Kabupatén Bandung, Itam’s Al Masoem Kabupatén Bandung, Téater Dwi Citra PB Kabupatén Bandung, Téater Prok-Prok-Prok Cianjur, Téater Néo Klasik Bandung, Téater Doksang Sukabumi, Kel. Pajar Bandung, Téater Istal Kuningan, Téater Citra Subang, Téater Lestari SMP 1 Trg, Téater Senapati SMA Pasundan 3 Bandung, Téater Catur Bandung, Tasbé Bandung, Téater Awal 1 Garut, KST STIMIK MI Bandung, Téater Saé Tasikmalaya, Toneel Kabupat[n Bandung, Téater Saémbara Majalengka, Remaja Seni Ganésha Majalengka, Téater Tambang Kabupatén Bandung, Téater Awal UIN SGD Bandung, Téater Awal II Garut, Téater Kujang Jogjakarta, Sketsa 18 Bandung, Téater Bolon Tasikmalaya, Téater Swara Bogor.
FDBS X 2008
Berlangsung 11 Februari – 1 Maret 2008
Jumlah peserta: 74 group
Dewan Juri: Godi Suwarna, Rachman Sabur, dan Ayi Kurnia.
Naskah: “Jeblog” Karya: Nunu Nazaruddin Azhar, “Badog” Karya: Dhipa Galuh Purba, “Randu Jalaprang”, Karya: Tatang Sumarsono, “Akalna Si Apin” (Akal Bulus Scapin, Karya: Moliere), Saduran Bebas: Rosyid E. Abby, “Karikatur Nu Gelo”, Karya: Arthur S Nalan, “Rorongo”, Karya: Arma Djunaedi
Juara I: TTM Bandung
Juara II : Teater Toneel
Juara III: Téater Skétsa 18 SMAN 18 Bandung
Aktor Terbaik: Chandra Kudapawana (TTM Bandung)
Aktris Terbaik: Sugianti Ariani (Teater Toneel)
Penata Musik Terbaik: Aldi M. Ismail (Téater SKETSA 18 SMAN 18 Bandung)
Penata Artistik Terbaik: Chandra Kudapawana (Téater TTM Bandung)
Sutradara Terbaik: Gusjur Mahésa (Téater TTM Bandung)
Peserta: Téater Lisma Unpas Bandung, Téater Bohlam, Téater Dwi Citra P.B. SMKN 2 Balééndah, Komunitas Seni Téater STMIK-MI Bandung, Téater Knalpot Samar SMPN 1 Margahayu, Theatre Rupa SMKN 14 Bandung, Téater Potrét 10 SMAN 19 Bandung, Téater Lestari SMPN 1 Garut, Mercusuar Theatre STKIP Balééndah, Sanggar Seni Balé Bandung, Téater Ciess 02 SMKN 2 Bandung, Béngkél Seni Sukabumi, Téater Dongkrak Tasikmalaya, Téater Tegas Cianjur, Téater Awal II SMAN 1 Tarogong Garut, Téater Awal UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Téater Sate Nejas SMAN 1 Jatisari Karawang, Téater M. O. Yuu Bandung, Téater 233 SMAN 1 Beber Cirebon, TTM Bandung, Téater Senapati SMA Pasundan 3 Bandung, Téater Zenith SMAN 2 Cianjur, Jagad Téater SMA Pasundan 1 Bandung, Téater Raya SMA Indonésia Raya Bandung, Téater Sae SMA Santiyama Kota Tasikmalaya, Téater Citraresmi UNWIM Sumedang, Téater Bumi Kabupatén Bandung, Téater SMA 14 Bandung, Lorong Téater SMAN 1 Subang, Téater Marss Subang, Téater KMK Nagen SMP-SMA Bina Dharma 2 Bandung, Téater Galur Sunda Tasikmalaya, Lorong Téater 204 Subang, Téater Awal I SMAN 1 Tarogong Garut, Téater Tambang SMA Bina Muda Cicaléngka, Téater Babari SMA Plus Bakti Mandiri, Téater Webe SMP Wiyata Bakti Cimahi, Téater Cermin SMAN 1 Cicurug Sukabumi, Téater Teroris C. 13 SMKN 13 Bandung, Téater Terase 06 SMAN 6 Bandung, Téater Sambada UPI Bandung, Téater Air SMKN 2 Sukabumi, Téater Polos Kabupatén Tasikmalaya, Palagan Téater Bandung, Poss Theatron garut, Téater Bassya SMKN 2 Tarogong Garut, Téater Karang Taruna 05 Cimahi, Téater X MAN 1 Bandung, Téater Lubang tanah Cianjur, Téater Lumut 24 SMAN 24 Bandung, Téater Bebas Bandung, Téater Pecut UNIKU Kuningan, Téater Cagur Kota Tasikmalaya, Téater Saddo STKIP Garut, Studiklub Téater SMA Pasundan 2 Bandung, Téater Sun 3 Gembel Elite MA Al-Falah 2 Kabupatén Bandung, Bandung Theaterical Company, Téater Bolon Tasikmalaya, Téater Patih SMA Pasundan 7 Bandung, Téater Sketsa 18 SMAN 18 Bandung, Téater Wawanen SMA YAS Bandung, Téater Kujang SMP Pasundan 1 Bandung, Téater Rakyat SMAR SMAN 1 Rancaékék, Téater Simpay Galuh Rahayu Yogyakarta, Téater Nusantara 32 UNINUS Bandung, Téater 420 SMAN 4 Bandung, Téater SWS STT Telkom Bandung, Téater Toneel Bandung, Téater Itam’s SMA Al-Ma’soeum Kabupatén Bandung
FDBS XI 2010
Naskah: “Sadrah”, karya Nazaruddin Azhar, “Kembang Gadung” Karya Dhipa Galuh Purba, “Génjlong Karaton” karya Dian Héndrayana, “Cukang”, karya Dadan Sutisna, “Bandéra! Bandéra! Bandéra!”, karya Toni Lesmana, “Jaman Dabrul”, karya Arthur S. Nalan, “Meredong”, karya Yudhistira, terjemahan bebas Rosyid E. Abby
Komentar