Rekes CPNS



Catatan DHIPA GALUH PURBA

Ribuan calon pegawai negeri sipil tidak protes meski mendapatkan pelayanan kurang beres. Mereka berdesakan di depan loket pendaftaran untuk mendapatkan nomor tes CPNS. Calon guru, penyuluh, sampai penghulu berburu nomor urut untuk duduk di kursi yang tidak empuk. Sebab, menjadi peserta CPNS bukan semacam kontes yang bisa membuat orang sukses dalam sekejap.

Baru mau mendapatkan nomor tes, susahnya hampir membuat stres. Setidaknya kesan itulah yang bisa ditangkap dari proses pendaftaran CPNS di Kantor Departemen Agama (Depag) Kabupaten Bandung beberapa waktu lalu.

Lembaga ini tidak mampu menyewa pengeras suara-setidaknya pada hari itu-sehingga pendaftar harus berjubel di depan loket karena khawatir namanya dipanggil. Setiap petugas memanggil nama salah seorang pendaftar, para pendaftar pun membantu memanggil nama tersebut secara estafet.

Sungguh memprihatinkan. Mengurus pendaftaran CPNS semestinya dikerjakan secara serius. Seandainya pendaftar hanya puluhan orang, tanpa pengeras suara pun tampaknya masih bisa diatasi.

Namun, ini menyangkut ribuan orang, yang idealnya harus dibageakeun dengan persiapan matang. Sebagai perbandingan, di lingkungan Pemerintah Kota Sukabumi, proses pendaftaran CPNS digelar di GOR Merdeka, Jalan Perintis Kemerdekaan. Pemilihan tempat itu sudah menunjukkan adanya tarekah dalam mengantisipasi pendaftar CPNS yang membeludak.

Selain itu, banyak yang mengeluh karena merasa dipersulit panitia penerimaan CPNS Depag Kabupaten Bandung. Pendaftar yang sudah menunggu berjam-jam terpaksa harus mengurungkan-paling tidak mengundurkan-niat merekes CPNS.

Pasalnya, ada berkas yang dianggap kurang lengkap meski sekadar masalah legalisasi pada fotokopi ijazah yang tidak diberi nomor register. Padahal, fotokopi ijazah itu sudah ditandatangani dekan, distempel, lengkap dengan keterangan waktu berupa tanggal, bulan, dan tahun. Jelas itu bukan ijazah palsu. Kalau memang dianggap meragukan, tinggal dicek ke kampus yang bersangkutan.

Benar-benar ironis persoalan ijazah di negeri ini. Ada anggota DPR dan kepala daerah yang terbukti menggunakan ijazah palsu setelah sekian lama ongkang kaki menikmati berbagai fasilitas istimewa dari negara.

Sementara guru honorer yang mendaftar PNS dengan ijazah asli tiba-tiba dipersoalkan hanya karena tidak ada nomor register dalam fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi secara sah (dari kampusnya memang tidak diberi nomor register).

Melamar kena pajak
Di lingkungan Pemkot dan Pemkab Bandung, Pemkot dan Pemkab Bogor, Pemkab Bandung Barat, dan Pemkab Sukabumi, para peserta tidak usah berdesak-desakan di depan loket. Setiap pelamar hanya mengirimkan rekes CPNS melalui kantor pos. Mereka memang tidak dipungut biaya sepeser pun, tetapi bukan berarti sepi dari urusan duit. Contohnya, rekes CPNS harus ditandatangani di atas meterai seharga Rp 6.000.

Tertutup sudah pintu PNS bagi yang tidak mampu membeli meterai. Padahal, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tidak ada kalimat yang mewajibkan pembubuhan meterai pada rekes CPNS. Meterai bukan alat keabsahan sebuah dokumen, melainkan bukti pembayaran pajak pada negara atas pembuatan dokumen.

Maka dari itu, Pemkab Bandung tidak mewajibkan CPNS membeli meterai. Bahkan, sebagai perbandingan, di lingkungan Pemkot Surakarta, Jawa Tengah, ditegaskan tata cara pendaftaran CPNS tahun ini, di antaranya surat lamaran ditulis tangan sendiri pada kertas folio bergaris sesuai format yang telah ditentukan, tanpa meterai, dengan menuliskan data selengkap-lengkapnya.

Selain itu, pengiriman rekes CPNS pun harus menggunakan layanan pos kilat khusus dengan biaya Rp 7.500 dan wajib menyertakan sehelai prangko seharga Rp 4.500. Prangko tersebut untuk pengiriman surat panggilan tes bagi yang dianggap memenuhi syarat. Rekes yang tidak memenuhi syarat tidak akan dibalas. Artinya, panitia penerimaan CPNS akan mendapatkan “laba” Rp 4.500.000 dari 1.000 orang yang tidak memenuhi syarat.

Guru Bahasa Sunda
Sementara itu, kandungan Pasal 32 Ayat (2) UUD 1945 dan Peraturan Daerah Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah ternyata belum dapat mendorong pemerintah untuk lebih banyak mengangkat guru PNS mata pelajaran Bahasa Sunda.

Di antara para pelamar kerja yang berdesak-desakan di depan loket pendaftaran CPNS Depag Kabupaten Bandung, cukup banyak pelamar untuk guru Bahasa Daerah (Sunda). Padahal, kuotanya hanya dua orang. Satu orang untuk MTsN dan satu orang untuk MAN. Total, Depag Jabar membuka lowongan bagi 430 guru. Dari jumlah itu, jatah guru Bahasa Sunda hanya 23 orang.

Pemkot Bandung membuka lowongan 255 guru, dan jatah guru Bahasa Sunda hanya 11 orang. Tidak jauh berbeda dengan Pemkab Bandung, dari 205 lowongan guru, jatah guru Bahasa Sunda hanya empat orang. Lebih parah lagi di Kabupaten Bandung Barat, dari lowongan 301 guru, Pemkab Bandung Barat sama sekali tidak membuka lowongan untuk guru Bahasa Sunda.

Ada 109 lowongan guru di lingkungan Pemkot Sukabumi. Dari jumlah tersebut, guru Bahasa Sunda hanya mendapatkan jatah lima orang. Sama halnya dengan Pemkab Sukabumi, dari 249 lowongan guru, jatah guru Bahasa Sunda hanya lima orang.

Masih lumayan Kota Bogor, meski hanya membuka lowongan dua guru Bahasa Sunda, jumlah total lowongan guru hanya 20 orang untuk semua tingkatan. Begitu pula di Kabupaten Bogor, dari 97 lowongan guru, masih terselip jatah untuk tiga guru Bahasa Sunda.

Meski kenyataannya seperti itu, bahasa Sunda harus tetap diajarkan kepada masyarakat. Tanpa melalui lembaga pendidikan formal, guru Bahasa Sunda bisa tetap mengajar secara nonformal, misalnya dengan membuka kursus bahasa Sunda, membuat situs interaktif bahasa Sunda di dunia maya, mendirikan perpustakaan buku Sunda, dan sebagainya.***


Dimuat di lembar Forum KOMPAS JAWA BARAT, Kamis, 18 Desember 2008.

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post