Artikel - Kota Wali



Oleh DHIPA GALUH PURBA

SAAT menatap spanduk calon Wali Kota Bandung, HP berbunyi, ada SMS. Apakah SMS dari calon wali kota? Seandainya benar begitu, betapa hebatnya beliau. Sebab, saya sedang berpikir untuk mengajukan ide mengganti slogan “kota kembang” menjadi “kota wali”. Paling tidak, untuk sementara.

Sebab tanaman bunga kalah semarak oleh poster, pamflet, spanduk, atau baliho bergambar wajah calon Wali Kota Bandung. Tentu disertai rangkaian kata yang berisi janji-janji manis atau semacam biografi singkat dengan segala kesuciannya.

Semua memberikan janji aduhai. Terdengar atau terbaca sangat indah dan lebih segar dibandingkan dengan sekadar bunga mawar yang tengah mekar, meski tidak bisa menyembuhkan perut yang sedang lapar.

Pasti biaya percetakannya sangat mahal. Tapi tidak masalah bagi yang banyak modal dan banyak akal. Mustahil calon wali kota tidak punya bekal yang tebal. Tidak terkecuali calon independen, tidak cukup hanya mengenakan sandal.

Uang berhamburan untuk menunjukkan diri yang paling andal (tidak apa-apa asal uang halal). Para cikal bakal orang sentral berlomba melakukan amal. Berorasi mengangkat tema aktual meski agak dangkal.

Tentu, ada yang ikut-ikutan loyal, ada yang cuma mengambal, ada yang mual, dan ada pula yang menganggap itu sebagai bualan yang gombal. Makanya jangan lupa terhadap nilai-nilai spiritual dan kultural. Ups … maaf, tidak bermaksud untuk menyangkal apalagi menggertak sambal. Calon orang sentral tidak boleh temperamental, karena bisa mengakibatkan konflik horizontal.

Di depan spanduk pula teringat sebuah cerpen berbahasa Sunda karya Ceu Aam Amilia berjudul “Dina Tungtung Beurang” (Di Ujung Siang), dimuat beberapa bulan yang lalu di tabloid Galura (grup Pikiran Rakyat).

Dalam cerpen tersebut, diceritakan ada seorang anak gelandangan yang begitu gelisah menanti usainya sebuah acara seminar di sebuah hotel berbintang.

Ia tidak tahu-menahu masalah seminar, karena mata dan pikirannya hanya terfokus pada sebuah spanduk yang terbentang cukup lebar. Ia berharap mendapatkan spanduk itu, karena biasanya akan dibuang selepas acara seminar.

Ia hanya berharap, semoga panitia acara seminar mau berbesar hati memberikan spanduk bekas tersebut. Setelah melewati masa penantian, akhirnya saat menegangkan pun tiba. Acara seminar telah berakhir.

Dan … alhamdulillah spanduk itu diberikan kepada anak tersebut. Betapa girangnya anak itu. Betapa bahagianya anak itu. Bersuka-cita anak itu, sambil melangkah dengan semangat menuju tempat tinggalnya.

Tentu, spanduk itu sangat bermanfaat untuk menambal bilik rumahnya yang sudah rapuh. Dan tentu pula, spanduk itu bertuliskan materi acara seminar: mengupas masalah kemiskinan. Sebuah cerpen Sunda yang begitu asosiatif dan imajinatif.

Tampaknya nasib spanduk-spanduk calon wali kota pun tidak akan jauh berbeda. Bisa menjadi tambal dinding rumah bilik, tikar, atau dialihfungsikan menjadi selimut.

Mudah-mudahan para tunawisma, gelandangan, bisa tidur nyenyak berselimutkan slogan dan janji-janji calon wali kota. Biarlah cukup dalam mimpi, bisa bertemu sang wali yang akan menepati janji.

Terlalu berlebihan rasanya jika menggantungkan berbagai harapan kepada wali kota baru. Sebab, pada saat berkampanye memang beliau-beliau tampak seperti wali. Wali yang diambil dari lafal al-walayah, yang berarti al-mahabbah (kecintaan) dan al-qorbu (kedekatan).

Perhatikan saja calon wali kota yang berkunjung ke tengah-tengah masyarakat kecil dengan santun, penuh keakraban, dan kecintaan. Tidak ada yang menjamin, apakah mereka akan tetap bersikap sama jika pada tanggal 10 Agustus 2008 terpilih atau tidak terpilih menjadi wali di kota ini.

O ya, saya hampir lupa membaca SMS. Astaga! Tentang kampanye? Tapi bukan dari calon wali kota, melainkan dari nomor telefon seorang sahabat bernama Kang Dadang Muhammad.

Isi SMS Kang Dadang adalah sebagai berikut, “Kahatur Kang Cahyana, Kang Ganjar, Kang Iyan, Kang YRA, Kang Wawan, Kang Ali, Kang Cecep, Kang Tata, Kang Dhipa: bulan-bulan ini kekeringan tampak di mana-mana. Tidak hanya di tegalan dan sawah tadah hujan, tapi juga di sawah beririgasi teknis. Apa artinya? Artinya sumber/mata airnya sudah kering. Di sisi lain, sampai Maret 2009, musim kampanye. Mengapa kita tidak ajak mereka yang sedang berkampanye untuk menghijaukan hutan? Mengapa kita tidak ajak masyarakat di daerah untuk membangun mata airnya dengan dana kampanye caleg/cabupnya? Ini lebih produktif daripada uang kampanye dipakai buat hura-hura saja (sesungguhnya Allah hanya akan beri perubahan terhadap suatu kaum kalau dimotori kaum itu sendiri). Salam baktos.”

SMS yang unik. Dan untuk menutup tulisan ini, izinkan saya membalas SMS untuk Kang Dadang. Saya tidak bisa membalas via HP karena belum membeli pulsa. Inilah jawaban untuk Kang Dadang,

“Syukurlah jika lukisan karya Pak Yus Rusamsi telah menggugah hati Kang Dadang untuk lebih mencintai alam.

Betapa indahnya alam Pasundan dalam lukisan Pak Yus. Bahkan pacilingan pun tampak sangat memukau dalam lukisan beliau. Di Bandung sudah tidak ada lagi tempat yang sejuk seperti dalam lukisan Pak Yus.

Jika musim hujan, Bandung dilanda banjir. Jika tiba musim kemarau seperti sekarang, maka kekeringan pun melanda. Anak-anak tidak mendapat kesempatan untuk belajar mencintai tanah dan air, karena mereka jarang menginjak apalagi bermain di atas tanah.

Telapak kaki hanya bersentuhan dengan keramik, aspal, coran, atau tembok (apalagi anak-anak yang sehari-harinya menggantungkan hidup di perempatan jalan). Terlebih lagi main dengan air, kini menjadi sesuatu yang sangat mahal. Tidak ada sungai yang layak untuk dipakai mandi apalagi berenang.

Saat ini pun para calon wali kota sedang berusaha menghijaukan kota, membirukan kota, memerahkan kota, menguningkan kota, dan warna-warna lain yang sesuai dengan warna khas partai-partai pengusungnya.

Kang Dadang, saya sangat berharap agar Bandung bisa menjadi kota wali. Sebab, di perempatan jalan atau di lokasi kumuh, banyak sekali anak-anak yang membutuhkan ’wali’. Untuk menjadi ’wali’, seorang anak yatim, menyekolahkan, memenuhi kebutuhan hidupnya, tentu saja tidak harus menjadi wali kota. Biarlah calon wali kota menjadi ’wali’ pada saat berkampanye, tetapi mudah-mudahan semakin banyak ’wali’ yang tidak memerlukan kampanye.

Mari mendukung Bandung untuk menjadi kota wali!” Demikian jawaban saya untuk SMS dari Kang Dadang.***

Dimuat di Rubrik Opini Harian Umum Pikiran Rakyat, Selasa, 5 Agustus 2008. 

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post