Artikel - Belajar pada “Gomi”



Oleh DHIPA GALUH PURBA


MAKSUD saya adalah belajar pada kedisiplinan orang Jepang dalam memperlakukan gomi (sampah). Setiap orang yang berkunjung ke Jepang selalu tidak lupa menyatakan kekaguman terhadap kebersihan kotanya (Ajip Rosidi, “Orang dan Bambu Jepang”, Pustaka Jaya, 2003). Kebersihan kota Bandung juga bisa seperti di Jepang, jika ada usaha yang serius dalam menanggulangi sampah.

Bandung memang tidak bisa disamakan dengan Jepang, karena di Bandung tidak akan ada orang yang kebingungan untuk membuang mobil. Namun secara geografis, kota Bandung memiliki peluang yang lebih besar untuk menjadi kota yang bersih, dibandingkan dengan Jepang.

Apalagi Bandung dikenal sebagai kota kembang; ibu kota Pasundan yang penuh dengan nuansa keindahan. Tidak berlebihan jika MAW Brouwer, seorang kolomnis Belanda, menuliskan “Waktu Tuhan tersenyum/ lahirlah Pasundan.

Sungguh ironis ketika Bandung harus menjadi kota pertama yang mengalami tragedi yang berkenaan dengan sampah. Longsor gunung sampah di Tempat Pembuangan Akhir TPA Leuwi Gajah (21/02/2005), telah membuktikan ketidak berhasilan pemerintah dalam mengelola sampah. Bahkan jika dicermati lebih dalam, kesalahan pemerintah juga dilengkapi oleh ketidak disiplinan masyarakat dalam memperlakukan sampah.

Sebaliknya dengan keadaan di Jepang, orang yang berkunjung ke Bandung selalu tidak lupa menyatakan kekecewaannya terhadap ketidak bersihan Bandung. Hampir setiap memasuki kawasan kota Bandung, pasti ada sampah yang berserakan; dari mulai di dalam bis kota, jalanan, halaman kantor, dan lain sebagainya. Pemerintah tidak menyediakan tempat pembuangan sampah yang ideal.

Tampaknya masyarakat Bandung sewaktu-waktu harus mencoba “wisata dini hari” menelusuri jalan raya kota Bandung. Di antara segelintir “sampah-sampah” yang suka berkeliaran, ada juga sosok tua renta yang begitu sibuk membersihkan sampah di jalanan.

Alangkah kejamnya, jika kita tidak terenyuh menyaksikan pemandangan tersebut. Sudah sepantasnya kita mulai dari diri sendiri, untuk bersikap adil dalam memperlakukan sampah.

Sudah dari dulu, solusi untuk pengelolaan sampah di Bandung, sudah banyak dikumandangkan. Teori yang dicetuskan, hampir semuanya hebat dan masuk akal. Sayang sekali, solusi tersebut hanya sebatas wacana dan menjadi penghuni kepala orang-orang yang suka memikirkan sampah.

Maka dari itu, kini masalah sampah di Bandung hanyalah masalah kedisiplinan masyarakat Bandung sendiri. Maka dari itu, solusinya juga harus ditekankan pada pembangunan mental masyarakat, terutama membangun kesadaran akan pentingnya menciptakan lingkungan yang bersih.

Bencana sampah di Leuwi Gajah dan Batu Jajar, saya anggap sebagai kritikan Tuhan bagi orang Bandung. Keindahan kota Bandung, tidak simetris dengan kedisiplinan masyarakatnya dalam memelihara kebersihan.

Umumnya, masyarakat Bandung masih menganggap semua tempat sebagai tempat pembuangan sampah. Ia tidak merasa ragu untuk melempar puntung rokok, bungkus makanan, atau apa saja yang dikategorikan sebagai sampah.

Penomena para pemulung sampah pun merupakan bagian dari persoalan sampah di kota Bandung. Jika pemerintah mau serius menghadapinya, maka para pemulung sampah tersebut lebih baik diarahkan menjadi petugas kebersihan.

Tentunya mereka bisa mendapatkan gaji yang layak, kalau bisa lebih dari penghasilannya sebagai pemulung sampah. Bukankah orang-orang miskin, gelandangan, anak terlantar, menjadi tanggung jawab pemerintah?

Ada baiknya agar pemerintah tidak merasa ragu untuk menyusun anggaran dana kebersihan, meskipun jumlahnya tidak sedikit. Merangkul dan mengarahkan para pemulung untuk menjadi petugas kebersihan, merupakan terobosan yang mesti dicoba.

Kalaupun jumlah pemulung sampah sangat banyak, rasanya tidak usah jadi persoalan. Sebab, itu artinya jumlah petugas kebersihan pun akan lebih banyak. Jika ada yang bersikukuh untuk tetap menjadi pemulung sampah, sebaiknya disarankan agar memulung gomi di Jepang. ***

Bandung, 2005

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post