Resensi Buku: Cerpen-cerpen Yang Hidup di Luar Logika

Godi Suwarna (Foto: Mangle)


Catatan DHIPA GALUH PURBA


Apa sebenarnya tujuan pengarang membuat karya sastra?  Walau belum pernah ada yang berterus terang, tapi dalam sekilas pun dapat terbaca dalam isi cerita yang disuguhkannya. Tentu saja Jawabannya akan berbeda-beda.

Mungkin saja, hanya ingin memenuhi kebutuhan batinnya dengan cara membuat karya yang indah. Atau mungkin juga sebaliknya, yaitu untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Ada yang mementingkan produktifitas daripada kualitas, sebaliknya ada pula yang mentingkeun kualitas daripada produktifitas.

Untuk pengarang Sunda tingkatan Godi Suwarna (GS), yang disebut membuat karya sastra itu, bukanlah memotret kehidupan sehari-hari, yang selanjutnya diceritakan dengan seperti adanya. Sehingga tidak menutup kemungkinan, jika GS terpengaruhi oleh pandangan sastrawan kaliber dari barat, yang menyebutkan, untuk apa kita menulis sebuah cerita yang sering kita lihat atau kita alami seharihari?

Seperti cerita tentang berpacaran misalnya (tentu saja yang bergaya realis). Cerita itu menurut pandangan mereka, sepertinya tidak usah dikategorikan sebagai karya satra. Anggap saja sebagai catatan pribadi atau buku harian, yang semua orang pun sudah tahu dan sudah mengerti.

Dan memang, sekitar tujuhpuluhtujuh taun yang lalu telah dirintis oleh para pengarang Barat seperti Alberto Moravio dari Italia atau Federico garcialorca dari Spanyol. Bahkan Andre Dreton telah menandatangani sebuah manifes yang isinya adalah memberontak secara terbuka, terhadap aliran menulis dengan gaya realisme jeung rasionalisme.

Kalau diibaratkan dengan kue. GS hanya meminjam namanya saja. Dalam cara pengolahannya tidak seperti yang biasa dilakukan dengan wajar. GS tidak memikirkan bagaimana bentuk dan rasanya kue itu. Pada akhirnya tentu saja, setelah kuenya masak, banyak yang bertanya, mengapa kue seperti ini?

Dalam cerpen GS, tidak terlihat ketentuan-ketentuan baku dari sebuah cerpen. Apalagi dengan pertimbangan logika, yang sepertinya dari mulai menulis juga sudah dibuang sangat jauh. Termasuk tokoh-tokoh cerita yang ditampilkannya, seperti bukan tokoh yang ada dalam kenyataan..

Tokoh-tokoh yang tidak tentu asal mulanya, dan hanya dipinjam untuk menceritakan gagasan-gagasannya. Termasuk  dalam susunan kalimat bahasa Sundanya pun, GS tidak merasa terpenjara.

Menurut Agus R. Sardjono, dalam pengantar buku kumpulan cerpen Serat Sarwa Satwa (Geger Sunten, 1995), Godi Suwarna termasuk “bungsunya” sastrawan Sunda. Walaupun pada saat ini, pandangan tersebut tidaklah terlalu tepat.

Sebab sudah banyak pengarang Sunda yang lebih muda dari GS, menerbitkeun buku sastranya, serta pernah mendapat Hadiah Sastra Rancage. Hanya memang dalam gaya menulis eksentrik, benar sekali jika GS adalah bungsunya, malah bisa dikatakan ‘Cikalnya’.

Sampai sekarang, belum ada pengarang yang punya gaya khas seperti GS. Sebab kalau para epigon, rasanya tidak perlu dimasukan ke dalam catatan. Kita putuskan saja bahwa GS adalah “pelopor” cerpen eksentrik atau ‘minculak’ dalam sastra Sunda,  yang oleh orang Barat (kemudian dituruti oleh kita) dengan sebutan aliran absurd.

Eksentrik yang dimaksudkan adalah jika dihubungkan dengan logika atau akal, dan dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Memang seorang pengarang itu, tidaklah mesti terpenjara oleh sebuah “keharusan”.

Sangat bebas semaunya  mau kemanapun mengumbar imajinasi atau maun menceritakan apa saja, tidak ada yang bisa menghalangi. Pengarang mempunyai hak kreatif, untuk membuat karya terpisah dari karya-karya lainnya. Dan kebebasan seperti itu, digunakan oleh GS untuk meraih imajinasi secara liar.

Bahkan GS pernah mengatakan “Geus henteu hayang gegerendengan, tapi hayang ngagorowok tarik naker. / Sudah tidak mau perlahan-lahan, tetapi ingin berteriak sekeras mungkin.” (Antologi Saratus Sajak Sunda).

Walaupun yang diceritakannya tidak wajar, tetapi sudah diakui bahwa cerpen-cerpen GS termasuk dalam karya sastra Sunda, dan tidak ada yang bisa menyamainya.

Bahkan beberapa kali GS mendapat penghargaan hadiah sastra; dari LBSS, Hadiah DK. Ardiwinata,  Cerpen terbaik Majalah Mangle dan hadiah sastra Rancage. Tidaklah heran, jika Ahid Hidayat pernah mengadakan penelitian (khusus) terhadap cerpen-cerpen GS.

*

Ketika pengarang Sunda lain sedang asik berjalan dengan gaya-gaya realistis-nya,  sekitar tahun 1970-an hadirlah cerpen GS dengan gaya yang aneh. Tentu saja banyak yang merasa heran dan terkejut. Bahkan mungkin saja ada yang bertanya-tanya dan menyalahkan.

Sebab masarakat pun tidak semudah itu bisa menerimanya. Walaupun di barat, gaya absurd sudah dianggap wajar dan digandrungi oleh para pembacanya.

Dalam majalah Mangle No. 677 taun 1979 contohnya, GS menulis cerpen Uwak-Awik yang sepintas lalu, malah lebih banyak unsur kelucuannya. Sangat tidak masuk akal dan jauh dari logika. Pemberontakan wayang golek yang telah lama diperbudak oleh dalang, menjadikan perang antara wayang dan dalangnya.

Tetapi kalau didalami secara lebih jauh, yang diutamakan oleh pengarang itu  adalah gagasan ceritanya. Ada unsur kritikan sosial, yang digambarkan dalam imajinasi. Dalang yang memperbudak wayang, apa bedanya dengan pemimpin yang semena-mena terhadap rakyatnya?

Cerita-cerita seperti itu, bukan hanya dalam Uwak Awik saja. Buku kumpulan cerpen Murang-Maring (Medal Agung, 1985) juga, merupakan kumpulan karya-karya eksperimental yang lebih liar. GS dengan seenaknya memutar balikan fakta, yang kemudian oleh Agus R. Sardjono disebut ‘tradisi jungkir-balik’.

Dan sampailah pada tahun 1995, dengan terbitnya buku kumpulan cerpen GS yang berjudul Serat Sarwa Satwa (SSS). Bahkan buku inilah yang mendapat penghargaan hadiah sastra Rancage.

Menurut Ajip Rosidi dalam  keputusan hadiah sastra Rancage 1996, cerpen-cerpen GS telah memberikan suasana yang baru dalam kehidupan sastra Sunda, walaupun SSS tidak lebih baik dari buku  Murang-Maring.

Buku SSS, kebanyakannya adalah cerpen-cerpen yang sudah dimuat dalam media massa. Lebih terlihat bahwa cerita-ceritanya penuh dengan gagasan.

Bahkan merupakan bagian terpenting dalam cerpen-cerpennya. Gagasan yang dilakonkan oleh tokoh-tokoh semu, yang tidak tentu arah rimbanya. GS pun memanfaatkan cerita-cerita yang sudah berkembang di tatar Pasundan.

SSS merupakan bukti dari keberanian GS dalam mengeluarkan kritikannya yang sangat tajam. SSS lahir pada jaman orde baru. Sedangkan pada jaman itu, seorang pengarang harus super hati-hati dalam mengeluarkan gagasan ceritanya.

Menyinggung sedikit pun, akan sangat fatal akibatnya. Siapa yang berani menyinggung perasaan ‘Sang Raja’, maka harus berhadapan dengan tangan-tangannya yang ganas. Tetapi GS seperti tidak mempedulikan hal itu, justru cerpen-cerpen dalam buku SSS, hampir seluruhnya dipenuhi oleh kritikan yang begitu pedas.

Sebagai contohnya dalam cerpen Serat Kala Mesat ; Teu nginjeun ceuli jeung mata Sang Maruti mireungeuh para pelayan mawa baki nu eusina panggang orok. Na atuh, Presiden jeung para mantri ngarecah sakur beuleum orok kecap / Tidak meminjam telingan dan mata, Sang Maruti melihat para pelayan yang membawa baki berisi panggang bayi.

Kemudian Presiden dan para mentri merecah seluruh bayi bakar dengan kecap (halaman 72). Apa maksud dari kalimat itu? Bisa jadi, akan sangat pariatif dalam mengartikannya. Tapi yang jelas, gagasan yang disampaikan melalui tokoh Presiden dan para mantri yang serakah itu. Kepada siapa GS menyindirnya?

Sayang sekali, keberanian GS terlalu berlebihan. Ada kesan, kurang mempertimbangkan psikologi kebanyakan pembaca, yang sebagian besar beragama Islam. Sebab orang awam tentunya tidak akan memikirkan ariti ‘kebebasan’ seorang pengarang. Seperti yang tersaji dalam cerpen Gusti! Gusti. Ada suatu hal yang kurang mempertimbangkan etika, walaupun ceritanya diakhiri dengan kesadaran  si tokoh (menyebut Allohu Akbar).

Cerpen Gusti! Gusti menceritakan perdebatan antara kebenaran dan kesalahan, yang dilukiskan oleh kenca/kiri dan katuhu/kanan. Si Tokoh yang prustari, dikarenakan banyaknya masalah yang dihadapi, sampai mengatakan (yang tentunya dibisikan oleh Si Kenca/Si Kiri):

Dina carita nu ieu aing rek maehan Alloh! / Dalam cerita ini, aku akan membunuh Alloh (halaman 120), atau juga dengan kalimat “Alloh paeeeeeh! Alloh modaaar!” Kenca susurakan. (Kaca 121). Sesudahnya dua musuh bebuyutan (Kenca dan Katuhu) melalui perdebatan, akhirnya Si Kenca mengalami kekalahan. Dalam arti, GS menyatakan bahwa sampai kapan pun, kebenaran tidak akan bisa dikalahkan oleh kebatilan.

Sesudah menerbitkan SSS, produktifitas GS dalam menulis cerpen seperti agak menurun. Mungkin dikarenakan GS lebih serius menulis sajak.. Baru pada taun 1997 GS mulai menulis lagi cerpen, walau pun agak jarang.

Tapi gayanya tetap sama (dan sepertinya tidak akan berubah). Kritikan dalam cerpen-cerpennya, semakin kritis. Cerita tentang kejadian yang menggehgerkan, diakhiri oleh tragedi habis-habisan. Kesengsaraan manusia yang diakibatkan oleh keributan, tawuran antar kampung, yang berkuasa menindas orang lemah, diakhiri oleh kejadian yang begitu mengenaskan.

Contohnya pada cerita Mang Saman yang sudah putus asa dalam menghadapi hidup, sampai begitu teganya merecah anakna sendiri (Lain Carita Pondok, Mangle 1997).

Berbeda dengan cerpen Lalakon  Awon (Juara I Hadiah Sastra DK. Ardiwinata 1997). Seorang tokoh yang sangat lemah, dimanfaatkan untuk “kapentingan”  mereka yang sedang berkuasa.

Dan Si Awon tidak akan ditemui dalam kenyataan, sebab hanaya dipinjam untuk menyampaikan gagasan seorang GS. Memang cerpen-cerpen GS tidak bisa langsung dipahami. Setelah dibaca, harus direnungi terlebih dahulu.***

Dimuat di HU. Galamedia, Tahun 2001

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post