Catatan DHIPA GALUH PURBA
SAAT
ini pers Sunda (baca: pers bahasa Sunda) sedang mencoba untuk bangkit (kembali)
dari keterpurukannya, seakan ingin mengulang masa kejayaan di masa lalu. Setelah terbit Majalah “Cupumanik” dan
Majalah “Sunda Midang”, pada tanggal 15 April 2005, Koran “Kujang” pun
diluncurkan kembali (Re-launching) di Hotel Homan, Bandung.
Setelah sekian
lamanya pers Sunda terpasung di ruangan gawat darurat dan hanya bisa bernostalgia,
mengenang masa-masa kejayaannya. Kini ada setitik harapan baru yang bisa
menjadi motivasi para jurnalis Sunda muda. Namun, mampukah semangat “Pakumpulan
Rambut Putih” bersaing di tengah hiruk-pikuk dan maraknya pers nasional dan
dunia, di tengah perang komunikasi yang semakin meruncing?
*
KUJANG adalah simbol senjata pusaka masyarakat Sunda, yang sudah
digunakan oleh para leluhur Sunda sejak
ratusan tahun silam. Tentunya kujang menjadi senjata ampuh untuk membela diri
serta melawan siapa pun yang berani mengganggu ketentraman lemah cai Sunda.
Maka Kalawarta Kudjang
pun hadir di tengah masyarakat Sunda, untuk menjadi media penyalur aspirasi
masyarakat Sunda, pun sebagai “senjata” untuk membela diri serta “melawan”
ketidak-adilan.
Demikian pesan yang dapat disimak dari moto yang diusung Kudjang
pertama kalinya; “Rekaning Daya Marganing Laksana” dan pernyataan R.
Ema Bratakoesoemah, pelopor pendiri Kudjang, yang memaparkan tujuan penerbitan Kudjang,
yakni “… bisa jadi panggeuing, obor pupuntangan sareng ancer-ancer caraning
hirup, ulah dugi ka unggut kalinduan gedag kaanginan, malar ajeg dina
pamadegan, pageuh ngancik dina kapribadian, anu boga udagan salamet dunya
aherat.” (Pangeling-ngeling Kalawarta “Kudjang” 5 taun, 1965-1960, kaca
3).
Tepatnya pada tanggal 20 Januari 1956, kalawarta Kudjang
mulai diterbitkan oleh Yayasan Kudjang dalam bentuk buletin, dicetak
stensilan. Selain R. Ema Bratakoesoema, yang turut berjasa dalam merintis
perkembangan Kudjang adalah R. Soetisna Senjaya, R. Soepyan Iskandar,
dan Prof. Ir. Otong Kosasih.
Setelah mengalami proses perjalanan dari waktu ke
waktu, Kudjang pun mengalami kemajuan yang cukup pesat. Selain konsisten
dalam penerbitannya (seminggu sekali), terbukti juga pada terobosan dalam
mengubah tampilannya menjadi berukuran 43 cm X 30 cm, setebal 12 halaman, atau
setengah dari ukuran surat kabar biasa, serta oplahnya pun semakin meningkat.
Waktu itu, Kudjang atau pers Sunda lainnya memang bisa dijadikan sumber
penghidupan oleh para karyawannya. Dengan oplah yang cukup besar, gaji karyawan
pun diperhitungkan. Konon oplah Kujang pernah mencapai 60.000 eksemplar
dan Mangle pernah mencapai angka
90.000 eksemplar.
Kebangkitan Kudjang (sekarang ditulis Kujang, ms) yang
dipelopori oleh Drs. H. Uu Rukmana, tampaknya bisa membawa angin segar bagi
kehidupan pers Sunda. Selain melibatkan “kekuatan penuh” para jurnalis Sunda
senior dan jurnalis Sunda muda berpotensi, Kujang yang kini mengusung
moto ngajaga lembur, akur jeung dulur, panceg ‘na galur mencoba mengubah
desain perwajahannya, menambah halamannya (16 halaman), tanpa mengubah
ukurannya.
Yang pasti, dengan hadir kembalinya Kujang, maka media cetak
berbahasa Sunda tertua yang sampai saat
ini masih bisa “dilestarikan” adalah Kujang dan Mangle (1957).
Berarti juga, pada saat ini masyarakat Sunda memiliki sepuluh media massa cetak
yang menggunakan bahasa Sunda; koran Galura (Grup Pikiran Rakyat), koran Giwangkara, koran Mandiri (?), majalah Swara
Cangkurileung, majalah Cupumanik, majalah Sunda Midang,
majalah Suara Daerah (intern PGRI
Jabar) dan Bhinneka Karya Winaya (intern
KOPRI Jabar). Suara Daerah dan Bhinneka Karya Winaya hanya menggunakan bahasa Sunda sebagai
suplemen.
Untuk sekedar bernostalgia, urang
Sunda pernah mempunyai 36 media berbahasa Sunda (Derap Pembangunan Pers di Jawa Barat, BPPP, 1987). Dua di antaranya
koran berbahasa Sunda yang terbit harian: Sinar
Pasoendan (1933-1942) dan Sipatahoenan (1924-1942 di Tasikmalaya
dan 1969-1985 di Bandung). Sedangkan majalah Sunda yang paling tua adalah Parahiangan (1919) yang diterbitkan Balai Poestaka Jakarta, di bahawa asuhan
oleh M.A. Salmoen dan R. Satjadibrata.
Koran dan
majalah tersebut kemudian berguguran, penyebabnya lebih cenderung masalah
permodalan dan perubahan politik. Seperti juga masalah yang pernah menimpa Kudjang
pada tahun 1965, ketika suhu politik memanas, oplah menjadi turun, pemotongan
uang, devaluasi inflasi; hampir saja menghentikan perjalanan Kudjang.
Tentunya hal tersebut sangat berkaitan dengan masalah pembiayaan. Namun
kegigihan R. Ema Bratakoesoema patut dijadikan tauladan bagi para praktisi pers
Sunda di jaman ini. Betapa tidak, di tengah berbagai himpitan dan segudang
masalah yang menerpa, Kujang masih bisa terbit, dipertahankan
kelangsungan hidupnya sampai akhirnya bisa diwariskan kepada generasi
selanjutnya.
Penyebab Kemunduran Pers Sunda
LANTAS mengapa
pada abad ke-21 ini, Kujang tidak mampu melanjutkan perjalanannya,
sampai akhirnya harus mengalami mandeg terbit? Dalam hal ini, tidak
sepenuhnya merupakan kesalahan “permodalan” atau perubahan politik.
Saya
melihat ada kesalahan besar yang dilakukan praktisi Kujang dan praktisi
pers Sunda lainnya, ketika mulai menyongsong abad 21. Mereka (para praktisi Kujang
dan pers Sunda lainnya, kecuali Cupumanik dan Sunda Midang, ms)
terlena dalam kelangenan masing-masing dan kurang cerdas dalam membaca
perkembangan zaman.
Mari kita ingat-ingat kembali, nasib pers Sunda mulai
buram, ketika hampir tidak ada lagi yang bisa dinikmati masyarakat dengan
adanya media berbahasa Sunda. Harus diakui bahwa pers Sunda sangat monoton,
konvensional, tidak menarik perhatian pembeli.
Bukankah masyarakat kita sudah
terpukau oleh berita yang serba cepat, yang bisa didapat dari televisi tanpa
membayar biaya langganan. Kalaupun masih ada yang berlangganan koran/majalah
Sunda, lebih cenderung karena kecintaan mereka terhadap bahasa Sunda, atau
hanya menunjukkan belas-kasihnya.
Tulisan jurnalistik dalam pers Sunda
menjadi tidak bermutu, karena tidak menampakkan kegelisahan. Kalaupun ada
tulisan yang berbau feature, lebih cenderung mengabarkan profil tokoh
yang dengan segala kesuciannya; keberhasilan para pejabat atau biografi
instansi pemerintah dari yang terbawah sampai yang teratas (Pantau No. 023,
Maret 2002).
Adapun tulisan-tulisan yang kritis, tidak nyosok jero (mendalam),
sehingga terkesan hambar. Padahal para jurnalis Sunda sudah diiming-imingi
Hadiah Jurnalitik Moh. Koerdi dari Paguyuban Pasundan. Tentu saja, hal
ini disebabkan SDM yang kurang profesional, berkaitan pula dengan
ketidakmampuan pengusaha pers Sunda untuk membayar gaji yang cukup.
Bagaimana
mungkin para jurnalis Sunda bisa membuat tulisan bermutu, sedangkan ia harus
berprofesi ganda untuk mencukupi hidupnya; menjadi montir alat elektronik,
makelar, tukang kredit, atau usaha lainnya (Duduh Durahman, Makalah KIBS).
Saya jadi teringat kembali
ketika berlangsungnya Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS)
I yang digelar
pada bulan Agustus 2001 di
Bandung. Bahkan masih pada tahun yang sama, pada bulan November-nya digelar
pula Kongres Bahasa Sunda (KBS) VII
di Garut.
Dari tumpukan masalah kasundaan yang diperbincangkan pada saat
itu, pers Sunda ikut menimbrung, walaupun hanya menjadi topik yang kurang
dilirik. Pada KIBS I, Duduh Durahman yang menyajikan makalah Pengolahan Media Massa: Kasus Mangle,
hanya dihadiri 20 orang dari 500 peserta KIBS. Demikian pula ketika Abdullah
Mustappa menyajikan makalah Pers Sunda
Kumaha Boa pada KBS VII, peminatnya
tidak lebih dari 19 orang, itu pun lebih dominan dari (maaf) golongan tua.
Dialog tentang pers Sunda seperti
barang asing di hadapan masyarakat Sunda, sebagaimana keasingan mereka
(sebagian besar masyarakat Sunda, ms) terhadap media berbahasa Sunda.
Nasib pers Sunda hanya menjadi kegelisahan beberapa orang saja, terutama
kalangan tua yang pernah berkecimpung di dalam pers Sunda, atau mereka yang
suka ngumbar panineungan (bernostalgia)
ke masa silam.
Seperti halnya pada Mangle, yang setiap tahun selalu menurunkan laporan perkembangan pers
Sunda dengan meminta pendapat beberapa tokoh, baik dari pakar komunikasi maupun
mantan jurnalis Sunda. Namun upaya tersebut belum menunjukkan hasil, karena
hanya mengulangi pemikiran lama tanpa ada realisasi yang lebih konkrit,
sehingga pers Sunda selalu dikabungi
suasana pesemistis.
Ketika pers nasional dan dunia
berpacu dalam kecepatan, ketepatan dan keakuratan berita dengan memanfaatkan
teknologi komunikasi, pers Sunda masih sibuk mengurusi dapur sendiri; bagaimana
membenahi SDM, memperbaiki manajemen dan memikirkan hidupnya agar tidak hirup teu neut paeh teu hos (hidup segan
mati tak mau).
Persoalan intern-ekstern yang
menyebabkan pers Sunda ngalanglayung tentu
sudah dapat kita duga. Untuk sekedar mengulangi pemikiran lama, penyebabnya
adalah kurangnya investasi (modal), lemahnya manajemen, kurangnya kesejahteraan
karyawan (para pengelola pers Sunda), lemahnya SDM (berkorelasi dengan
kesejahteraan), dan setumpuk persoalan lainnya. Selain itu – meminjam istilah
klise – pengaruh transpormasi sosial-budaya dan penyempitan bahasa Sunda di
kalangan masyarakat Sunda yang menyebabkan penurunan oplah media cetak
berbahasa Sunda.
Anehnya, pada kondisi seperti itu,
masih muncul kebanggaan karena pers Sunda lebih maju dibandingkan pers etnis
lainnya (Mangle, No. 1851), walaupun
saat ini pers Sunda sudah tidak “nyunda” (Kompas,
23/07/2001). Mungkin kita merasa malu, atau sebaliknya berbesar hati,
dengan perkataan Sakdani Darmopamudjo, mantan
ketua PWI Cabang Surakarta.
Menurutnya, pers berbahasa Jawa di Jawa
Tengah hanya tinggal kenangan, tidak ada lagi koran/majalah berbahasa Jawa yang
terbit di sana (di Jawa Timur, masih terbit majalah berbahasa Jawa Penyebar Semangat dan Jayabaya, di Yogyakarta masih terbit Joko Lodhang). “Berbeda di kalangan masyarakat Sunda.
Di
samping penggunaan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari, di kalangan
keluarga Sunda majalah berbahasa Sunda banyak dipajang di ruang tamu sebagai
identitas dan kebanggaan,” (Suara
Merdeka, 14/02/2002).
Permasalahan-permasalahan mengenai pers Sunda, memang sering
dikemukakan para pemikir kita. Selain pada KIBS dan KBS, pers Sunda pernah
diperbincangkan pada Pelatihan Jurnalistik Sunda (1997), Kerja Latihan Wartawan
(2000) dan Semiloka Pers Daerah (2001). Pesertanya "itu-itu saja",
hampir tidak ada perdebatan sengit, kalaupun muncul ide-ide bagus, tidak pernah
ada tindak lanjutnya.
Setelah diskusi bubar, gagasan pun ikut-ikutan bubar,
sehingga pemikiran tentang pers Sunda hanya semacam seremonial pada acara-acara
resmi. Menurut Dedy Djamaludin Malik, ketua STIKOM Bandung, ada problem
komunikasi yang menyebabkan kemunduran pers Sunda.
Saat ini pers Sunda belum
menyentuh kebutuhan masyarakat, melainkan masih sebatas keinginan redakturnya
(Kompas, 16/07/2001). Lantas, apakah kebutuhan masyarakat itu?
Meminjam istilah Tempo, sebuah media massa cetak haruslah
enak dibaca dan perlu. Demikan juga pers Sunda. Ketika masyarakat beranggapan
bahasa jurnalistik Sunda saat ini sulit untuk dipahami, terlalu berbelit-belit
atau sebatas permainan kata belaka, maka antusias untuk membaca menjadi
menurun.
Apalagi jika kata "tidak perlu" ikut memperburuk kondisi
ini. Ketika harga BBM naik misalnya, pers Sunda ikut-ikutan latah dengan memuat
berita yang sudah dikikis habis oleh pers berbahasa Indonesia. Mungkin di tatar
Sunda masih ada pekampungan "anti" BBM dan listrik, menggunakan kayu
bakar untuk memasak, memakai minyak kaliki untuk penerangan, mengapa berita ini
tidak pernah diungkap? Jawabannya kembali kepada permasalahan lama: SDM dan
kesejahteraan.
Tantangan lainnya adalah teknologi komunikasi. Ketika berita dapat
dikirim secepat kilat, kalangan pers Sunda ada saja yang masih menggunakan
perangko untuk mengirim berita. Konvensional, tapi itulah kenyataan.
Kegagapan
terhadap teknologi memang dialami beberapa kalangan, terutama orang tua kita
yang sudah tidak sempat lagi untuk belajar yang "gitu-gituan". Koran Galura
boleh dibilang lebih unggul dalam hal teknologi. Selain edisi cetaknya,
Galura lebih awal memanfaatkan media cyber. Silakan kunjungi www.galura.com.
Tulisan jurnalistik bahasa Sunda dapat dilihat dan di-download di sana.
Baru-baru ini pun, Majalah Mangle dan Cupumanik telah mengikuti
jejak Galura. Silahkan mengunjungi www.mangle-online.com dan www.cupumanik.com.
MENGAMATI kompleksnya permasalahan pers Sunda, timbullah pertanyaan
dalam benak saya: apakah pers Sunda masih dapat diselamatkan? Sulit untuk
membayangkan kondisinya 30 tahun yang akan datang.
Ketika orang-orang tua yang
dengan kesetiaannya memajang koran/majalah Sunda sebagai kebanggaan sudah
meninggal, siapa pelanggan berikutnya? Dan ketika para redaktur kahot
sudah pensiun, siapa yang akan mengelola pers Sunda?
Saya kemudian berpikir, bahwa regenerasi merupakan bagian terpenting
untuk mempertahankan kehidupan pers Sunda yang lebih panjang. Ketika pers Sunda
diperbincangkan pada KIBS dan KBS, hampir tidak ada generasi baru yang tertarik
--selain dari kalangan pers Sunda itu sendiri.
Apakah hal ini karena sikap
otoriter orang-orang tua yang menganggap generasi baru serba lemah dalam
pengelolaan pers Sunda, termasuk dalam penggunaan bahasa Sunda?
Di Jawa Barat, terdapat ratusan atau bahkan ribuan mahasiswa yang
mempelajari jurnalisme. Berapakah di antara mereka yang mengetahui sejarah pers
Sunda, atau bahkan tertantang untuk menggeluti pers Sunda?
Tentu jumlahnya
sangat sedikit. Kalaupun ada mahasiswa yang mengadakan job training di
perumahan pers Sunda, hampir tidak ada yang tertarik untuk terus menekuninya.
Mereka hanya menganggap pers Sunda sebagai tempat bereksperimen. Bahkan selama
ini para pengelola pers Sunda lebih banyak dari kalangan pengarang yang beralih
profesi menjadi wartawan.
Kalau pers Sunda dapat merangkul mereka, menumbuhkan kecintaannya,
ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh. Pertama, mereka lebih memahami
kehendak generasi muda umumnya, sehingga pers Sunda mengetahui medan yang akan
ditempuhnya kelak.
Kedua, idealisme mereka cukup tinggi, sehingga --untuk
sementara-- kesejahteraan bisa menjadi nomor dua. Ketiga, penguasaan mereka
terhadap bidang lain yang berhubungan dengan pers, misalnya dunia cyber,
desain grafis dan sebagainya, dapat membantu kemajuan pers Sunda di masa yang
akan datang.
Tentu saja bukan berarti pers Sunda harus diformat sesuai keinginan
generasi muda. Namun upaya menarik perhatian mereka, misalnya dengan mengadakan
Lomba Menulis Artikel Pers Sunda, pengenalan pers Sunda di perguruan tinggi dan
sekolah, dapat memberikan suasana baru.
Mereka juga seharusnya diberi
keleluasaan untuk menggunakan bahasa Sunda yang demokratis, tidak dikekang
dengan aturan itu-ini, tidak dibebani dengan tumpukan undak-usuk basa.
Biarlah mereka menggunakan bahasa Sunda apa adanya, walaupun tidak
"nyunda", daripada tidak sama sekali.
Memang orang-orang yang arogan
dan menganggap bahasa Sunda mereka paling benar, akan menganggap upaya ini
sebagai awal perusakan bahasa Sunda. Namun, agar generasi muda tertarik kepada
bahasa Sunda, diperlukan sebuah proses, dan tentu kita harus lebih memahami
dunia mereka. Untuk itu, wahai generasi muda, gunakanlah bahasa Sunda yang
kalian pahami, kelak pun kalian akan mengetahui bahasa Sunda yang baik dan
benar, sebagaimana kalian memahami bahasa-bahasa lainnya!
Kita juga sangat mengharapkan bayangan Otonomi Daerah serta
penerapan Perda Jabar No. 5 tahun 2003 dapat memperbaiki nasib pers Sunda,
demikian pula bayangan regenerasi. Membikin regenerasi pers Sunda bukan
pemikiran baru, namun sejak dulu, pemikiran tersebut hanya menjadi penghuni
kepala orang-orang yang suka berpikir. Kini dengan kehadiran Kujang yang
“baru”, sudah tampak adanya upaya untuk menciptakan generasi baru, sebagaimana
yang selama ini menjadi beban pikiran saya .
Silahkan saja periksa nama-nama
staf redaksi dan korespondennya. Ada di antaranya yang merupakana jurnalis
angkatan muda, meskipun sebagian besar adalah “pemain baru berwajah lama”. Yang
pasti, ada usaha ke arah sana.
Jika upaya tersebut telah dilakukan, tetapi
tidak menampakkan hasil, kita masih bisa berbangga karena sudah berikhtiar. Dan
kelak, kalaupun pers Sunda harus disemayamkan, maka kematiannya akan khusnul
khotimah, arwahnya akan tenang di alam sana, dan kehidupannya akan dikenang
orang sebagai bagian dari peradaban manusia.
Tak ada yang lebih pantas terucap dalam menyambut kebangkitan
(kembali) Koran Sunda Mingguan Kujang, kecuali; SELAMAT BERJUANG! ***
Komentar