Sebelum membicarakan
interaksi sosial, tentunya harus berkenalan dulu dengan misi agama Islam itu
sendiri. Islam adalah agama yang misinya universal, memberi rahmat untuk seluruh
alam semesta رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ .[1]
Islam juga telah memberikan pandangan yang sistematis dan komprehensif tentang
Tuhan, manusia dan alam. Dengan segala dialektika hubungan ketiganya, dapat
dikatakan bahwa tema pokok al-Qur-an (major themes of Qur’an) berkisar
pada hubungan tiga persoalan ini.[2]
Hubungan antara Tuhan,
manusia, dan alam, terletak dalam doktrin Islam tentang Tauhid, sebagaimana
dikatakan Al-Faruqi,[3]
menjadi pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan penjelasan
secara holistik tentang realitas. Dalam pandangan Tauhid,[4]
terdapat tiga prinsip penting tentang realitas. Pertama, dualitas,
prinsip ini menyatakan bahwa realitas terdiri atas dua jenis, yakni khâliq
dan makhlûq. Dalam hal ini, makhlûq harus tunduk kepada ketentuan
khâliq. Di dalam Ilmu Kalam, prinsip ini dikenal dengan sikap jabbâriy.
Selanjutnya adalah
ideasionalitas. Di antara khâliq
dan makhlûq ada hubungan ideasional yang memungkinkan manusia dapat
memahami-Nya, bukan dalam pengertian materi melainkan hasil ciptaan-Nya yang
didalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang aksiomatik berupa hukum alam (sunnâtullah).
Prinsip ini dalam ilmu kalam dikenal dengan sikap qadariy. Lalu, teologi. Pemahaman manusia yang ada
dalam kerangka relasi-relasi ideasional tidak bersifat positifistik atau materialistik, melainkan realitas ini
dipandang sebagai sesuatu yang tanpa makna atau tujuan.
Pandangan tauhid tadi dapat
dijelaskan bagaimana seharusnya manusia memposisikan dalam lingkungan alam
semesta, dan bagaimana semestinya alam diperlakukan. Terhadap alam, tugas
manusia tidak hanya mengeruk kekayaan alam sebagaimana yang dilakukan Barat
yang kapitalistik, tetapi juga memelihara keharmonisan dan keseimbangannya.
Keseimbangan kosmologi dapat terjaga kalau manusia dapat berlaku secara adil
dan amanah terhadap alam. Karena dalam
adil tersirat pengertian keseimbangan (tawâzun).
Secara lebih operasional, sikap adil terrefleksikan pada
tetap memperhatikan keseimbangan kosmologis ketika manusia melakukan eksplorasi
dan eksploitasi terhadap kekayaan alam. Eksplorasi dan eksploitasi yang
dilakukan harus dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga keseimbangan alam
tetap terjaga. Berkenaan dengan bahasan tentang alam ini, secara empiris telah
terjadi persoalan serius berupa krisis lingkungan di dunia Islam.
Masih berkaitan hubungan Tuhan,
manusia, dan alam dalam perspektif dakwah, tanggung jawab manusia pada dasarnya
berkenaan dengan fungsi dan tugasnya dalam tiga dimensi hubungan (relasi)-nya
tersebut, sesuai dengan kapasitas dan keberadaannya masing-masing pribadi di
tengah-tengah masyarakat. Baik itu berkaitan dengan hubungan secara vertical,
yakni hablumminallah, maupun hubungan secara horizontal, yakni hablumminnas,
yang tersirat dalam Surat Ali Imran (3) ayat 112, sebagai berikut:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ
أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ
وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ
حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ(112)
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada,
kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian)
dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka
diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat
Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu
disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.
Sayyid Quthub, berkenaan dengan
suart Ali Imran ini, membagi Surat Ali Imran menjadi empat segmen, dan segmen
keempat dari keempat segmen itu adalah bahwa Surat Ali Imran melukiskan keadaan
kaum muslimin dalam berhubungan dengan Tuhannya. Juga menggambarkan merambatnya
iman ke dalam hati mereka ketika mereka menghadapi ayat-ayat Allah di alam
semesta, dan ketika menghadap Tuhannya dengan do’a yang khusyu dan penuh rasa
takut. Selain itu, dilukiskan pula bagaimana Tuhan mereka mengabulkan do’a
mereka dengan memberi mereka ampunan dan pahala yang bagus, dan bagaimana Dia
menghinakan keadaan orang-orang kafir dengan kesenangan duniawi mereka yang
amat sedikit nilai.[5]
Secara konteks makro, kegiatan dakwah bertanggungjawab atas
keserasian secara sinergis bagaimana menempatkan masing-masing dimensi pada posisi
dan fungsinya secara tepat dan benar sesuai dengan cara pandang al-Qur-an
tentang hal itu. Selanjutnya agar mempunyai wawasan tentang pemahaman Islam
sebagai sistem nilai yang komprehensif, diperlukan pengetahaun dan pemahaman
yang memadai perihal keyakinan dan pandangan dasar al-Qur-an mengenai hidup dan
kehidupan.
Sebagaimana tujuan utama diturunkannya al-Qur-an, yaitu untuk
mempengaruhi, mengarahkan dan memberi pedoman bagi tingkah laku manuisa
–termasuk didalamnya berkaitan dengan tiga dimensi hubungan manusia-,
penjelasan serta mempertegas antara kebenaran (al-haqq) yang perlu
ditempuh, dan ke-bâthil-an[6]
yang harus dihindari. Dimana mukhâthab utama al-Qur-an
adalah manusia, sehingga tema sentral yang dibicarakannya secara garis besarnya
menyangkut tiga dimensi hubungan manusia, yakni: (a) Allah atau Tuhan (khâliq
sebagai hubungan vertikalnya); (b) manusia, dan (c) alam semesta (sebagai
sesama makhluq dan hubungan horizontalnya). Kendati hakikat Allah secara
dzâtiyah tidak dibahas dalam al-Qur-an, namun posisi Allah berdiri di
atas semua doktrin ajaran al-Qur-an. Tanpa Allah, tidak akan ada sesuatu pun
yang bisa berdiri sendiri. Ia merupakan integritas dari setiap wujud, terutama
manuisa, baik secara individual maupun sosial.
B.
Interaksi Sosial Perspektif Al-Qur-an
Pandangan al-Qur-an yang kaitannya terhadap interaksi
manusia pada dasarnya terdapat tiga relasi, yaitu hubungan dengan Tuhan
(interaksi transendental), hubungan dengan sesama manusia (interaksi sosial),
dan hubungan dengan alam (interaksi fungsional), yang menjadi doktrin Islam dan
sekaligus menjadi pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan
penjelasan secara holistik tentang
realitas interkasi.
Khususnya yang terkait dengan hubungan antara sesama
manusia (interaksi sosial), manusia dalam kapasitas dan keberadaannya baik
sebagai makhluk secara individual maupun makhluk sosial, yang secara jelas
dinyatakan dalam terminologi hablumminnas
(hubungan secara horizontal), di dalam al-Qur-an terdapat beberapa indikasi yang menyebabkan terjadinya
hubungan sosial, diantara adalah sebagai berikut:
Dalam tingkat sosial,
konsekuensi ajaran agama dapat dilihat pada bagian-bagian interaksi yang
dilakukan dalam kelompok agama dimana didalamnya terjadi interaksi sesama
anggotanya yang merasa diikat oleh kesamaan pada beberapa aspek yang mereka
yakini. Menurut Jalaluddin Rakhmat,[8]
dimensi agama pada aspek sosial sebagai konsekuensial dapat kita lihat –misal-
pada Asyuara, haji dan sebagainya. Dimana setiap individu merasa bagian dari
anggota kelompok keagamaannya.
Dari sisi lain konsekuensial
ajaran agama adalah dalam bentuk gerakan dakwah.[9]
Pada kontek ini sebagai konsekuensial ajaran agama dalam aspek anggung jawab,
secara khusus seorang muslim memiliki
tanggung jawab moral untuk hadir ditengah-tengah kehidupan sosial masyarakatnya
untuk merealisasikan nilai-nilai pesan Ilahi, yaitu menyatakan dan menyerukan al-khayr, melaksanakan dan menganjurkan yang al-ma’ruf,
[10]dalam kompleksitas kehidupan masyarakat manusia
dengan berbagai konflik kepentingan (complict of interest).
Akumulasi dari berbagai kepentingan yang
diperjuangkan dengan tidak menghiraukan baik atau buruk, benar atau salah
adalah terjadinya penyimpang-penyimpangan sosial baik penyimpangan dalam wujud
pembangkangan individu atau penyimpangan yang dilakukan secara kolektif, yang
berakibat terbentuknya tatanan kehidupan yang tidak berimbang, kehidupan yang
tidak memperhatikan hak-hak orang lain, dan kehidupan yang tidak berkeadilan.
Dalam
aspek ini interaksi sosial yang dibangun atas dasar tanggung jawab (dakwah) ini
sebagai konsekuensial ajaran agama yang menganjurkan kepada muslim untuk
melaksanakannya sebagai usaha untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan
mengalahkan perilaku yang tercela yang mengakibatkan kehancuran umat manusia,
Islam dalam hal ini memberikan formulanya dengan amar ma’ruf nahi munkar[11]
yang berperan sebagai kontrol sosial dalam perjalanan kehidupan masyarakat.
Bahkan lebih dari itu, amar ma’ruf nahi munkar sekaligus sebagai
perintah kepada setiap individu yang berada ditengah-tengah kehidupan
masyarakat.
Esensi dari amar ma’ruf nahi
munkar[12] sebagai
interaksi sosial yang dilakukan oleh para subjek dakwah (da’i) adalah
menentang penyimpang-penyimpangan sosial baik penyimpangan dalam wujud
pembangkangan individu terhadap kehendak Allah Swt. dalam urusan peribadatan,
dan mua’malah maupun penyimpangan sosial dalam perilaku bersama yang jauh dari
garis risalah yang mencakup kepentingan individu maupun masyarakat serta
penyimpangan politik dalam bentuk
kondisi pemerintahan zalim yang tercemin dalam diri tiran-tiran politik
yang menindas orang-orang lemah, yang menyebabkan pemerintah berubah menjadi
praktek-praktek penindasan dan permusuhan negara terhadap rakyat dengan maksud
mempertahankan kekuasaan dan sistem pemerintahan yang dianggap menguntungkan
sekelompok manusia. Juga penyimpangan politik ekonomi yang terlihat dari sitem
politik yang dibangun atas prinsip monopoli, manipulasi, kolusi, riba, korupsi,
suap dan perampasan hak-hak orang kecil, orang-orang yang lemah dan cara-cara
zalim lainnya.[13]
Dengan
demikian, dapat dikatakan apabila terealisasikan amar ma’ruf nahi munkar akan
dapat mengangkat derajat dan keutamaan masyarakat.[14]
Lebih dari itu, Ahmad Watik Pratiknya menyatakan bahwa amar ma’ruf [15]
merupakan “rehumanisasi”, yaitu mengembalikan kedudukan dan derajat manusia
(sebagai sebaik-baiknya makhluk) dari berbagai kecenderungan degradasi
kemanusiaan. Sementara nahi munkar dikatakan sebagai usaha pembebasan atau
“liberasi”, yaitu memederkakan manusia dari berbagai bentuk keterikatan atau
keterjajahan manusiawi (pembebasan dari keterikatan pada selain Allah).[16]
Bertolak dari
uraian di atas, melakukan interaksi sosial dalam amar ma’ruf dan nahi munkar
dalam sisi keyakinan adalah kewajiban bagi setiap individu dan kolektif bagi
seorang muslim. Tentunya masih terlalu banyak contoh yang dapat diketengahkan
yang terkait dengan interkasi konsekuensial, seperti : melakukan shalat
berjamaah (baik shalat lima
waktu, jum’ah, idul fitri, idul adha, gerhana dll), menyantuni fakir miskin dan
anak yatim, melakukan pengajaran dan lain sebagainya. Contoh ayat lain yang
akan berdampak pada adanya konsekuensial dari ajaran agama adalah ayat yang
menyatakan bahwa sesama muslim adalah bersaudara.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ(10)
Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena
itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
mendapat rahmat. (QS. Al-Hujarat:10).
C.
Faktor Penyebab Interaksi Sosial
Salah satu faktor yang menjadi
penyebab terjadinya interaksi sosial dalam alqur’an adalah disebabkan oleh
ikatan persaudaraan (nasab atau keluarga). Diantara ayat yang menunjukkan
mengenai hal ini adalah sebagai berikut:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ
مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا
كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا(1)
Hai sekalian manusia, bertakwalah
kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan
daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu
menjaga dan mengawasi kamu.[17]
Dalam pandangan Quraish Shihab, ayat di atas memberikan
gambaran bahwa stelah jelas persoalan kitab suci yang merupakan jalan menuju
kebahagiaan, dan jelas pula azas kegiatan yaitu tauhid, maka tentu saja
diperlukan persatuan dan kesatuan dalam azas itu. Surat An-Nisa ini mengajak
agar senantiasa menjalin hubungan kasih sayang antar seluruh manusia.[18]
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ
أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ(21)
Dan di antara tanda-tanda
kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[19]
Hubungan sosial dipergunakan untuk menggambarkan suatu
keadaan baik itu dua orang atau lebih terlibat dalam suatu proses perilaku. Bahkan dalam pandangan
interaksionisme-simbolis yang disampaikan oleh Blumer yang dimaksud dengan
interaksi (hubungan) adalah berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan
kegiatan manusia lainnya.[20]
Proses perilaku tersebut terjadi berdasarkan tingkah laku para pihak yang
masing-masing memperhitungkan perilaku pihak lain dengan cara yang mengadung
arti bagi masing-masing. Dengan demikian, maka hubungan sosial berisikan
kemungkinan bahwa para pribadi yang terlihat dalamnya akan berperilaku dengan
cara yang mengandung arti serta ditetapkan terlebih dahulu.
Sebuah hubungan sosial mungkin bersifat transitor atau
mempunyai derajat keteraturan yang berbeda-beda. Artinya, mungkin terdapat
pengulangan perilaku yang terkait dengan arti subyektifnya sehingga memang
diharapkan. Akan tetapi untuk menghindarkan terjadinya kesan yang keliru, perlu
dicatat bahwa hal itu hanya merupakan bukti adanya kemungkinan bahwa suatu
bentuk perilaku tertentu akan terjadi halmana membuktikan adanya suatu hubungan
sosial.
Arti suatu hubungan sosial dapat disepakati atas dasar
persetujuan mutual. Artinya, para pihak yang terlibat dalam suatu
hubungan membuat perjanjian mengenai perilakunya di masa depan. Dengan demikian
maka setiap pihak dalam keadaan normal dan selama dia berperilau rasional, akan
dianuti oleh pihak lain dengan siapa dia berhubungan dan akan menyesuaikan diri
dengan pemahamannya terhadap kesepakatan yang telah ada.
Sebuah hubungan sosial, baik yang bersifat komunal ataupun
agregatif, mungkin bersifat terbuka bagi kalangan luar. Apabila ikut sertanya
pihak-pihak tersebut dalam orientasi perilaku sosail mutual yang relevan bagi
arti subyektifnya, tidak dilarang oleh wewenang yang berkuasa. Hubungannya
bersifat tertutup, kalau hal itu dilarang, dibatasi atau terikat p ada syarat-syarat
tertentu. Sifat keterbukaan atau tertutupnya hubungan sosial tertentu, mungkin,
didasarkan pada sikap-sikap tradisional atau afektif, atu hal itu mungkin dilandaskan pada niali-nilai atau
kebiasaan.
Perkembangan hubungan sosial menjadi ikatan solidaritas
atau perwakilan, tergantung pada kondisi-kondisi tertentu. Salah satu kondisi
yang menentukan adalah sampai sejauh manakah perilaku kelompok diarahkan pada
konflik dengan kekerasan atau kedamaiana sebagai tujuan. Selanjutya terdapat
keadaan-keadaan khusus yang mungkin mempengaruhinya. Sudah tentu bahwa
perkembangan tersebut tidak begitu tampak mencolok pada kelompok-kelompok yang
mencapai tujuannya secara damai.
Sementara berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan
pada berbagai faktor. Di antaranya, faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan
simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah
maupun dalam keadaan tergabung. Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang
memberi suatu pandangan, atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang
kemudian diterima oleh pihak luar.
Jadi proses ini sebenarnya hampir sama
dengan imitasi. Akan tetapi titik tolaknya berbeda. Sugesti dapat terjadi
karena fihak yang menerima dilanda emosi, yang bias menghambat daya fikir
secara rasional. Mungkin proses sugesti terjadi apabila orang yang memberikan
pandangan adalah orang yang berwibawa, atau mungkin karena sifatnya yang
otoriter. Hal ini mungkin saja terjadi, bahwa sugesti disebabkan yang memberi
pandangan atau sikap merupakan bagian terbesar dari kelompok yang bersangkutan
atau masyarakat.
Identifikasi
merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri
seseorang untuk menjadi sama dengan fihak lain. Identifikasi sifatnya lebih
mendalam dari pada imitasi. Oleh karena kepribadian seseorang dapat terbentuk
atas dasar proses ini. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya
(secara tidak sadar), maupun dengan disengaja.
Proses simpati merupakan suatu
proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini
perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada
simpati adalah keinginan untuk memahami
pihak lain dan untuk bekerjasama dengannya. Inilah perbedaan utama
dengan identifikasi yang di dorong oleh keinginan untuk belajar dari pihak lain
yang dianggap kedudukannya lebih tinggi dan harus dihormati, karena mempunyai
kelebihan-kelebihan atau kemampuan-kemampuan tertentu yang patut dijadikan
contoh. Proses simpati akan dapat berkembang di dalam suatu keadaan, di mana
faktor saling mengerti terjalin.
Hal-hal
tersebut di atas merupakan faktor-faktor minimal yang menjadi dasar bagi
berlangsungnya proses interaksi sosial, walaupun di dalam kenyataannya proses tadi
memang sangat kompleks. Sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembedaan tegas
antara faktor-faktor tersebut.[21]
Akan tetapi dapatlah dikatakan bahwa imitasi dan sugesti terjadi lebih cepat.
Namun pengaruhnya kurang mendalam, bila dibandingkan dengan identifikasi dan
simpati yang secara relatif agak lebih lembat proses berlangsungnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur-an al Karim
Fazlur Rahman. 1983. Tema Pokok al-Qur-an, Bandung : Pustaka.
Murtadha
Muthahari. 1989. Pandangan Dunia Tauhid (Seri Muthahari 2), terj. Agus
Effendi, Bandung :
Muthahari.
M. Quraish
Shihab, 2000. Tafsir Al-Misbah, Jakarta :
Lentera Hati.
Sayyid
Quthub, 2001. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta : Gema Insani.
Soerjono
Soekanto. 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar, Jakarta : Rajawali Press.
Soerjono
Soekanto. 2002. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta : Rajawali Press.
Zaim Saidi.
2000. Islam Tradisional dan Krisis Lingkungan: Pandangan Seorang Aktivis, dalam
jurnal Islamika, nomor 3, Januari-Maret.
[1] Lihat Q.
Surat al-Anbiya (21):107, ayitu sebagai berikut: وَمَا
أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ(107)
[2]
Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1983),
hal. 34.
[3]
Islmail Razi Al-Faruqi, Tauhid: It’s Implication for Thought and Life, (Pensylvania:
International Institute of Islamic Thought, 1971), hal. 37.
[4]
Pengertian pandangan dunia tauhid secara memadai dapat lihat dalam buku kecil
karya Murtadha Muthahari, Pandangan Dunia Tauhid (Seri Muthahari 2),
terj. Agus Effendi, (Bandung: Muthahari, 1989), hal. 19-21.
[5] Sayyid
Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 2. Jakarta : Gema Insani, 2001, hal. 107
[6] Lihat
isyarat Q. Surat al-Baqarah (2):185 yang berbunyi sebagai berikut:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى
لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ
أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ
وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ(185)
[7] QS.
8:124, berbunyi:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ
فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ
ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ(124)
[9]
Istilah-istilah dakwah dalam al-Qur’an yang dipandang paling populer adalah ‘yad’una
ila al-khayr, ya’muruna bi al-ma’ruf, dan ‘yanhauna ‘an al-munkar.
[10] وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ
وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ(104)
Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah
orang-orang yang beruntung.
[11] Amar
ma’ruf nahi munkar merupakan istilah yang berasal dari ungkapan al amru bi
al ma’rufi wa alnahyu ‘an almunkari yang ditransferkan dari ayat al-Qur’an ya’muruna bi alma’rufi wa yanhauna ‘an
almunkari yang seringkari
dikemukakan dalam al-Qur’an. Amar ma’ruf nahi munkar adalah dua istilah kembar
yang hampir tidak ditemui pemakaiannya secara terpisah. Jarang sekali ditemukan
istilah tersebut dipakai secara sendiri-sendiri. Kedua istilah ini sudah
meng-Indosesia dalam literatur keagamaan Islam. Lihat, Dra. Djawaher Chaerani, Amar
Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Al-Qur’an, laporan Penelitian tidak diterbitkan,
Padang : Imam
Bonjol, 1997/1998, hal. 2.
[12] Ma’ruf
adalah semua perbuatan yang
pelakunya mengetahui akan kebaikannya atau sesuatu yang menunjukkan kebaikan.
Sedangkan munkar, ialah semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan
keburukannya atau sesuatu yang
menunjukkan kepada keburukan. Artinya bahwa perbuatan baik (ma’ruf)
adalah perbuatan yang pelakunya berhak mendapat pujian (yastahiq al-madh).
Sebaliknya perbuatan jahat (al-qabih) apelakunya berhak mendapat celaan
(yastahiq al-zamm). Lihata Qadhi Abd. Jabbar dalam Djawaher Chaerani, Amar
Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Al-Qur’an, laporan Penelitian tidak diterbitkan,
Padang : Imam
Bonjol, 1997/1998, hal. 2.
[13]
Muhammad Husain Fadlullah, Islam dan Logika Kekuatan, Penterjemah Afif
Muhammad, judul asli Al-Islam wa
Mantiq al-Quwwah, Bandung : Mizan, 1995, Cet. ke-1, hal. 39.
[14] Salman
Audah, Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Jakaerta:Pustaka al-Kausar, 1993, hal.
11.
[15] Al-ma’ruf artinya yang sudah diketahui, berasal dari
kata ‘arafa artinya ‘alima yaitu mengetahui. Seorang yang arif
adalah seorang yang tahu banyak hal.
Dan al-irfan adalah al-‘ilmu artinya ilmu pengetahuan. Sedangkan al-‘urf
atau al-‘irf artinya ialah al-sabr
yaitu sabar, karena orang yang tahu, berilmu, bisanya sabar dalam menghadapi
segala sesuatu hal. Al-ma’ruf adalah semua hal yang diketahui oleh diri
manusia dan ia merasa senang dan tenang,
sesuatu yang diketahui orang banyak dan jika mereka melihatnya mereka
tidak menolaknya.
[16] Ahmad
Watik Pratiknya, Gerak Dakwah Muhammadiyah Menatap Masa Depan, PP
Muhammadiyah Majelis Tabligh, Yogyakarta, 1409 H, hal. 24.
[17] Lihat
QS. An-Nisa [4]:1, yang berbunyi sebagai berikut:
[19] Lihat
QS. Ar-Rum [30]:21
[20]
Lihat Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 264.
[21]
Soerjono Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali
Press, 1990), hal. 70.
Komentar