Interaksi Sosial Menurut Al-Quran



 A. Pendahuluan
            Sebelum membicarakan interaksi sosial, tentunya harus berkenalan dulu dengan misi agama Islam itu sendiri. Islam adalah agama yang misinya universal, memberi rahmat untuk seluruh alam semesta   رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ .[1] Islam juga telah memberikan pandangan yang sistematis dan komprehensif tentang Tuhan, manusia dan alam. Dengan segala dialektika hubungan ketiganya, dapat dikatakan bahwa tema pokok al-Qur-an (major themes of Qur’an) berkisar pada hubungan tiga persoalan ini.[2]

            Hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam, terletak dalam doktrin Islam tentang Tauhid, sebagaimana dikatakan Al-Faruqi,[3] menjadi pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan penjelasan secara holistik tentang realitas. Dalam pandangan Tauhid,[4] terdapat tiga prinsip penting tentang realitas. Pertama, dualitas, prinsip ini menyatakan bahwa realitas terdiri atas dua jenis, yakni khâliq dan makhlûq. Dalam hal ini, makhlûq harus tunduk kepada ketentuan khâliq. Di dalam Ilmu Kalam, prinsip ini dikenal dengan sikap jabbâriy.

            Selanjutnya adalah ideasionalitas. Di antara khâliq dan makhlûq ada hubungan ideasional yang memungkinkan manusia dapat memahami-Nya, bukan dalam pengertian materi melainkan hasil ciptaan-Nya yang didalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang aksiomatik berupa hukum alam (sunnâtullah). Prinsip ini dalam ilmu kalam dikenal dengan sikap qadariy. Lalu,  teologi. Pemahaman manusia yang ada dalam kerangka relasi-relasi ideasional tidak bersifat positifistik  atau materialistik, melainkan realitas ini dipandang sebagai sesuatu yang tanpa makna atau tujuan.

            Pandangan tauhid tadi dapat dijelaskan bagaimana seharusnya manusia memposisikan dalam lingkungan alam semesta, dan bagaimana semestinya alam diperlakukan. Terhadap alam, tugas manusia tidak hanya mengeruk kekayaan alam sebagaimana yang dilakukan Barat yang kapitalistik, tetapi juga memelihara keharmonisan dan keseimbangannya. Keseimbangan kosmologi dapat terjaga kalau manusia dapat berlaku secara adil dan amanah terhadap alam. Karena dalam  adil tersirat pengertian keseimbangan (tawâzun).

Secara lebih operasional, sikap adil terrefleksikan pada tetap memperhatikan keseimbangan kosmologis ketika manusia melakukan eksplorasi dan eksploitasi terhadap kekayaan alam. Eksplorasi dan eksploitasi yang dilakukan harus dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga keseimbangan alam tetap terjaga. Berkenaan dengan bahasan tentang alam ini, secara empiris telah terjadi persoalan serius berupa krisis lingkungan di dunia Islam.

            Masih berkaitan hubungan Tuhan, manusia, dan alam dalam perspektif dakwah, tanggung jawab manusia pada dasarnya berkenaan dengan fungsi dan tugasnya dalam tiga dimensi hubungan (relasi)-nya tersebut, sesuai dengan kapasitas dan keberadaannya masing-masing pribadi di tengah-tengah masyarakat. Baik itu berkaitan dengan hubungan secara vertical, yakni hablumminallah, maupun hubungan secara horizontal, yakni hablumminnas, yang tersirat dalam Surat Ali Imran (3) ayat 112, sebagai berikut:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ(112)

Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.

            Sayyid Quthub, berkenaan dengan suart Ali Imran ini, membagi Surat Ali Imran menjadi empat segmen, dan segmen keempat dari keempat segmen itu adalah bahwa Surat Ali Imran melukiskan keadaan kaum muslimin dalam berhubungan dengan Tuhannya. Juga menggambarkan merambatnya iman ke dalam hati mereka ketika mereka menghadapi ayat-ayat Allah di alam semesta, dan ketika menghadap Tuhannya dengan do’a yang khusyu dan penuh rasa takut. Selain itu, dilukiskan pula bagaimana Tuhan mereka mengabulkan do’a mereka dengan memberi mereka ampunan dan pahala yang bagus, dan bagaimana Dia menghinakan keadaan orang-orang kafir dengan kesenangan duniawi mereka yang amat sedikit nilai.[5]

Secara konteks makro, kegiatan dakwah bertanggungjawab atas keserasian secara sinergis bagaimana menempatkan masing-masing dimensi pada posisi dan fungsinya secara tepat dan benar sesuai dengan cara pandang al-Qur-an tentang hal itu. Selanjutnya agar mempunyai wawasan tentang pemahaman Islam sebagai sistem nilai yang komprehensif, diperlukan pengetahaun dan pemahaman yang memadai perihal keyakinan dan pandangan dasar al-Qur-an mengenai hidup dan kehidupan. 

Sebagaimana tujuan utama diturunkannya al-Qur-an, yaitu untuk mempengaruhi, mengarahkan dan memberi pedoman bagi tingkah laku manuisa –termasuk didalamnya berkaitan dengan tiga dimensi hubungan manusia-, penjelasan serta mempertegas antara kebenaran (al-haqq) yang perlu ditempuh, dan ke-bâthil-an[6] yang harus  dihindari.  Dimana mukhâthab utama al-Qur-an adalah manusia, sehingga tema sentral yang dibicarakannya secara garis besarnya menyangkut tiga dimensi hubungan manusia, yakni: (a) Allah atau Tuhan (khâliq sebagai hubungan vertikalnya); (b) manusia, dan (c) alam semesta (sebagai sesama makhluq dan hubungan horizontalnya). Kendati hakikat Allah secara dzâtiyah tidak dibahas dalam al-Qur-an, namun posisi Allah berdiri di atas semua doktrin ajaran al-Qur-an. Tanpa Allah, tidak akan ada sesuatu pun yang bisa berdiri sendiri. Ia merupakan integritas dari setiap wujud, terutama manuisa, baik secara individual maupun sosial.

B. Interaksi Sosial Perspektif Al-Qur-an
Pandangan al-Qur-an yang kaitannya terhadap interaksi manusia pada dasarnya terdapat tiga relasi, yaitu hubungan dengan Tuhan (interaksi transendental), hubungan dengan sesama manusia (interaksi sosial), dan hubungan dengan alam (interaksi fungsional), yang menjadi doktrin Islam dan sekaligus menjadi pandangan dunia (weltanschaung) yang memberikan penjelasan secara  holistik tentang realitas interkasi.

Ada banyak ayat yang berkaitan dengan interkasi ini, yaitu interaksi transendental (hubungan manusia dengan Tuhan)  seperti dalam QS. 8:124),[7] interaksi sosial (hubungan manusia dengan sesama) diantaranya berhubungan dengan orang tidak dilarang selama tidak memusuhi Allah (QS. 60:7,8,9), larangan mengambil sahabat orang yang memusuhi agama (QS.60:9), perintah menjaga hubungan silaturahim (QS.4:1), berbuat ma’ruf (QS.2:180,228,229,231-236,240;3:104,110114;4:114,7:157,199;9:67,71,112;22:41), dan hubungan Timbal balik dengan saudara dan persaudaraan diantara muslim (QS.8:72,75;9:71;49:10).

Khususnya yang terkait dengan hubungan antara sesama manusia (interaksi sosial), manusia dalam kapasitas dan keberadaannya baik sebagai makhluk secara individual maupun makhluk sosial, yang secara jelas dinyatakan dalam terminologi  hablumminnas (hubungan secara horizontal), di dalam al-Qur-an terdapat  beberapa indikasi yang menyebabkan terjadinya hubungan sosial, diantara adalah sebagai berikut:
      
      Dalam tingkat sosial, konsekuensi ajaran agama dapat dilihat pada bagian-bagian interaksi yang dilakukan dalam kelompok agama dimana didalamnya terjadi interaksi sesama anggotanya yang merasa diikat oleh kesamaan pada beberapa aspek yang mereka yakini. Menurut Jalaluddin Rakhmat,[8] dimensi agama pada aspek sosial sebagai konsekuensial dapat kita lihat –misal- pada Asyuara, haji dan sebagainya. Dimana setiap individu merasa bagian dari anggota kelompok keagamaannya.

Dari sisi lain konsekuensial ajaran agama adalah dalam bentuk gerakan dakwah.[9] Pada kontek ini sebagai konsekuensial ajaran agama dalam aspek anggung jawab, secara  khusus seorang muslim memiliki tanggung jawab moral untuk hadir ditengah-tengah kehidupan sosial masyarakatnya untuk merealisasikan nilai-nilai pesan Ilahi, yaitu menyatakan dan menyerukan al-khayr,  melaksanakan dan menganjurkan yang al-ma’ruf, [10]dalam  kompleksitas kehidupan masyarakat manusia dengan berbagai konflik kepentingan (complict of interest).

 Akumulasi dari berbagai kepentingan yang diperjuangkan dengan tidak menghiraukan baik atau buruk, benar atau salah adalah terjadinya penyimpang-penyimpangan sosial baik penyimpangan dalam wujud pembangkangan individu atau penyimpangan yang dilakukan secara kolektif, yang berakibat terbentuknya tatanan kehidupan yang tidak berimbang, kehidupan yang tidak memperhatikan hak-hak orang lain, dan kehidupan yang tidak berkeadilan. 

Dalam aspek ini interaksi sosial yang dibangun atas dasar tanggung jawab (dakwah) ini sebagai konsekuensial ajaran agama yang menganjurkan kepada muslim untuk melaksanakannya sebagai usaha untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dan mengalahkan perilaku yang tercela yang mengakibatkan kehancuran umat manusia, Islam dalam hal ini memberikan formulanya dengan amar ma’ruf nahi munkar[11] yang berperan sebagai kontrol sosial dalam perjalanan kehidupan masyarakat. Bahkan lebih dari itu, amar ma’ruf nahi munkar sekaligus sebagai perintah kepada setiap individu yang berada ditengah-tengah kehidupan masyarakat.

Esensi dari amar ma’ruf nahi munkar[12] sebagai interaksi sosial yang dilakukan oleh para subjek dakwah (da’i) adalah menentang penyimpang-penyimpangan sosial baik penyimpangan dalam wujud pembangkangan individu terhadap kehendak Allah Swt. dalam urusan peribadatan, dan mua’malah maupun penyimpangan sosial dalam perilaku bersama yang jauh dari garis risalah yang mencakup kepentingan individu maupun masyarakat serta penyimpangan politik dalam bentuk  kondisi pemerintahan zalim yang tercemin dalam diri tiran-tiran politik yang menindas orang-orang lemah, yang menyebabkan pemerintah berubah menjadi praktek-praktek penindasan dan permusuhan negara terhadap rakyat dengan maksud mempertahankan kekuasaan dan sistem pemerintahan yang dianggap menguntungkan sekelompok manusia. Juga penyimpangan politik ekonomi yang terlihat dari sitem politik yang dibangun atas prinsip monopoli, manipulasi, kolusi, riba, korupsi, suap dan perampasan hak-hak orang kecil, orang-orang yang lemah dan cara-cara zalim lainnya.[13]

           Dengan demikian, dapat dikatakan apabila terealisasikan amar ma’ruf nahi munkar akan dapat mengangkat derajat dan keutamaan masyarakat.[14] Lebih dari itu, Ahmad Watik Pratiknya menyatakan bahwa amar ma’ruf [15] merupakan “rehumanisasi”, yaitu mengembalikan kedudukan dan derajat manusia (sebagai sebaik-baiknya makhluk) dari berbagai kecenderungan degradasi kemanusiaan. Sementara nahi munkar dikatakan sebagai usaha pembebasan atau “liberasi”, yaitu memederkakan manusia dari berbagai bentuk keterikatan atau keterjajahan manusiawi (pembebasan dari keterikatan pada selain Allah).[16]

Bertolak dari uraian di atas, melakukan interaksi sosial dalam amar ma’ruf dan nahi munkar dalam sisi keyakinan adalah kewajiban bagi setiap individu dan kolektif bagi seorang muslim. Tentunya masih terlalu banyak contoh yang dapat diketengahkan yang terkait dengan interkasi konsekuensial, seperti : melakukan shalat berjamaah (baik shalat lima waktu, jum’ah, idul fitri, idul adha, gerhana dll), menyantuni fakir miskin dan anak yatim, melakukan pengajaran dan lain sebagainya. Contoh ayat lain yang akan berdampak pada adanya konsekuensial dari ajaran agama adalah ayat yang menyatakan bahwa sesama muslim adalah bersaudara.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ(10)
Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat. (QS. Al-Hujarat:10).

C. Faktor Penyebab Interaksi Sosial
 Islam telah memberikan pandangan yang sistematis dan komprehensif tentang hubungan Tuhan, manusia dan alam. Sementara faktor-faktor yang menyebabkan terjadi intekasi sosial adalah (1) faktor konsekuensial ajaran agama, yang dalam kacamata sosiologis merupakan faktor sugesti dan identifikasi; (2) faktor keluar atau nasab; (3) faktor mutual simbiosis atau hubungan yang saling mnguntungkan.

            Salah satu faktor yang menjadi penyebab terjadinya interaksi sosial dalam alqur’an adalah disebabkan oleh ikatan persaudaraan (nasab atau keluarga). Diantara ayat yang menunjukkan mengenai hal ini adalah sebagai berikut:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا(1)

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.[17]

Dalam pandangan Quraish Shihab, ayat di atas memberikan gambaran bahwa stelah jelas persoalan kitab suci yang merupakan jalan menuju kebahagiaan, dan jelas pula azas kegiatan yaitu tauhid, maka tentu saja diperlukan persatuan dan kesatuan dalam azas itu. Surat An-Nisa ini mengajak agar senantiasa menjalin hubungan kasih sayang antar seluruh manusia.[18]
وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ(21)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.[19]

Hubungan sosial dipergunakan untuk menggambarkan suatu keadaan baik itu dua orang atau lebih terlibat dalam suatu  proses perilaku. Bahkan dalam pandangan interaksionisme-simbolis yang disampaikan oleh Blumer yang dimaksud dengan interaksi (hubungan) adalah berbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lainnya.[20] Proses perilaku tersebut terjadi berdasarkan tingkah laku para pihak yang masing-masing memperhitungkan perilaku pihak lain dengan cara yang mengadung arti bagi masing-masing. Dengan demikian, maka hubungan sosial berisikan kemungkinan bahwa para pribadi yang terlihat dalamnya akan berperilaku dengan cara yang mengandung arti serta ditetapkan terlebih dahulu.

Sebuah hubungan sosial mungkin bersifat transitor atau mempunyai derajat keteraturan yang berbeda-beda. Artinya, mungkin terdapat pengulangan perilaku yang terkait dengan arti subyektifnya sehingga memang diharapkan. Akan tetapi untuk menghindarkan terjadinya kesan yang keliru, perlu dicatat bahwa hal itu hanya merupakan bukti adanya kemungkinan bahwa suatu bentuk perilaku tertentu akan terjadi halmana membuktikan adanya suatu hubungan sosial.

Arti suatu hubungan sosial dapat disepakati atas dasar persetujuan mutual. Artinya, para pihak yang terlibat dalam suatu hubungan membuat perjanjian mengenai perilakunya di masa depan. Dengan demikian maka setiap pihak dalam keadaan normal dan selama dia berperilau rasional, akan dianuti oleh pihak lain dengan siapa dia berhubungan dan akan menyesuaikan diri dengan pemahamannya terhadap kesepakatan yang telah ada.

Sebuah hubungan sosial, baik yang bersifat komunal ataupun agregatif, mungkin bersifat terbuka bagi kalangan luar. Apabila ikut sertanya pihak-pihak tersebut dalam orientasi perilaku sosail mutual yang relevan bagi arti subyektifnya, tidak dilarang oleh wewenang yang berkuasa. Hubungannya bersifat tertutup, kalau hal itu dilarang, dibatasi atau terikat p ada syarat-syarat tertentu. Sifat keterbukaan atau tertutupnya hubungan sosial tertentu, mungkin, didasarkan pada sikap-sikap tradisional atau afektif, atu hal  itu mungkin dilandaskan pada niali-nilai atau kebiasaan.

Perkembangan hubungan sosial menjadi ikatan solidaritas atau perwakilan, tergantung pada kondisi-kondisi tertentu. Salah satu kondisi yang menentukan adalah sampai sejauh manakah perilaku kelompok diarahkan pada konflik dengan kekerasan atau kedamaiana sebagai tujuan. Selanjutya terdapat keadaan-keadaan khusus yang mungkin mempengaruhinya. Sudah tentu bahwa perkembangan tersebut tidak begitu tampak mencolok pada kelompok-kelompok yang mencapai tujuannya secara damai.

Sementara berlangsungnya suatu proses interaksi didasarkan pada berbagai faktor. Di antaranya, faktor imitasi, sugesti, identifikasi dan simpati. Faktor-faktor tersebut dapat bergerak sendiri-sendiri secara terpisah maupun dalam keadaan tergabung. Faktor sugesti berlangsung apabila seseorang memberi suatu pandangan, atau suatu sikap yang berasal dari dirinya yang kemudian diterima oleh pihak luar. 

Jadi proses ini sebenarnya hampir sama dengan imitasi. Akan tetapi titik tolaknya berbeda. Sugesti dapat terjadi karena fihak yang menerima dilanda emosi, yang bias menghambat daya fikir secara rasional. Mungkin proses sugesti terjadi apabila orang yang memberikan pandangan adalah orang yang berwibawa, atau mungkin karena sifatnya yang otoriter. Hal ini mungkin saja terjadi, bahwa sugesti disebabkan yang memberi pandangan atau sikap merupakan bagian terbesar dari kelompok yang bersangkutan atau masyarakat.

            Identifikasi merupakan kecenderungan-kecenderungan atau keinginan-keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi sama dengan fihak lain. Identifikasi sifatnya lebih mendalam dari pada imitasi. Oleh karena kepribadian seseorang dapat terbentuk atas dasar proses ini. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (secara tidak sadar), maupun dengan disengaja.

Proses simpati merupakan suatu proses di mana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada simpati adalah keinginan untuk memahami  pihak lain dan untuk bekerjasama dengannya. Inilah perbedaan utama dengan identifikasi yang di dorong oleh keinginan untuk belajar dari pihak lain yang dianggap kedudukannya lebih tinggi dan harus dihormati, karena mempunyai kelebihan-kelebihan atau kemampuan-kemampuan tertentu yang patut dijadikan contoh. Proses simpati akan dapat berkembang di dalam suatu keadaan, di mana faktor saling mengerti terjalin.
            
Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor-faktor minimal yang menjadi dasar bagi berlangsungnya proses interaksi sosial, walaupun di dalam kenyataannya proses tadi memang sangat kompleks. Sehingga kadang-kadang sulit mengadakan pembedaan tegas antara faktor-faktor tersebut.[21] Akan tetapi dapatlah dikatakan bahwa imitasi dan sugesti terjadi lebih cepat. Namun pengaruhnya kurang mendalam, bila dibandingkan dengan identifikasi dan simpati yang secara relatif agak lebih lembat proses berlangsungnya.
                       

DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur-an al Karim

Fazlur Rahman. 1983. Tema Pokok al-Qur-an, Bandung: Pustaka.

Murtadha Muthahari. 1989. Pandangan Dunia Tauhid (Seri Muthahari 2), terj. Agus Effendi, Bandung: Muthahari.

M. Quraish Shihab, 2000. Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati.

Sayyid Quthub, 2001. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani.

Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press.

Soerjono Soekanto. 2002. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi, Jakarta: Rajawali Press.

Zaim Saidi. 2000. Islam Tradisional dan Krisis Lingkungan: Pandangan Seorang Aktivis, dalam jurnal Islamika, nomor 3, Januari-Maret.


[1] Lihat Q. Surat al-Anbiya (21):107, ayitu sebagai berikut: وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ(107)
[2] Lihat Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1983), hal. 34.
[3] Islmail Razi Al-Faruqi, Tauhid: It’s Implication for Thought and Life, (Pensylvania: International Institute of Islamic Thought, 1971), hal. 37.
[4] Pengertian pandangan dunia tauhid secara memadai dapat lihat dalam buku kecil karya Murtadha Muthahari, Pandangan Dunia Tauhid (Seri Muthahari 2), terj. Agus Effendi, (Bandung: Muthahari, 1989), hal. 19-21.
[5] Sayyid Quthub, Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Jilid 2. Jakarta: Gema Insani, 2001, hal. 107
[6] Lihat isyarat Q. Surat al-Baqarah (2):185 yang berbunyi sebagai berikut:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْءَانُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ(185)
[7] QS. 8:124, berbunyi:
وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ(124)
[8]  Lihat Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar, Bandung: Mizan. 2003, hal. 33.
[9] Istilah-istilah dakwah dalam al-Qur’an yang dipandang paling populer adalah ‘yad’una ila al-khayr, ya’muruna bi al-ma’ruf, dan ‘yanhauna ‘an al-munkar.
[10] وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ(104)
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.
[11] Amar ma’ruf nahi munkar merupakan istilah yang berasal dari ungkapan al amru bi al ma’rufi wa alnahyu ‘an almunkari yang ditransferkan dari ayat al-Qur’an  ya’muruna bi alma’rufi wa yanhauna ‘an almunkari  yang seringkari dikemukakan dalam al-Qur’an. Amar ma’ruf nahi munkar adalah dua istilah kembar yang hampir tidak ditemui pemakaiannya secara terpisah. Jarang sekali ditemukan istilah tersebut dipakai secara sendiri-sendiri. Kedua istilah ini sudah meng-Indosesia dalam literatur keagamaan Islam. Lihat, Dra. Djawaher Chaerani, Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Al-Qur’an, laporan Penelitian tidak diterbitkan, Padang: Imam Bonjol, 1997/1998, hal. 2.
[12] Ma’ruf  adalah semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan kebaikannya atau sesuatu yang menunjukkan kebaikan. Sedangkan munkar, ialah semua perbuatan yang pelakunya mengetahui akan keburukannya  atau sesuatu yang menunjukkan kepada keburukan. Artinya bahwa perbuatan baik (ma’ruf) adalah perbuatan yang pelakunya berhak mendapat pujian (yastahiq al-madh). Sebaliknya perbuatan jahat (al-qabih) apelakunya berhak mendapat celaan (yastahiq al-zamm). Lihata Qadhi Abd. Jabbar dalam Djawaher Chaerani, Amar Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Al-Qur’an, laporan Penelitian tidak diterbitkan, Padang: Imam Bonjol, 1997/1998, hal. 2.
[13] Muhammad Husain Fadlullah, Islam dan Logika Kekuatan, Penterjemah Afif Muhammad, judul asli  Al-Islam wa Mantiq al-Quwwah,  Bandung: Mizan, 1995, Cet. ke-1, hal. 39.
[14] Salman Audah, Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Jakaerta:Pustaka al-Kausar, 1993, hal. 11.
[15] Al-ma’ruf  artinya yang sudah diketahui, berasal dari kata ‘arafa artinya ‘alima yaitu mengetahui. Seorang yang arif  adalah seorang yang tahu banyak hal. Dan al-irfan adalah al-‘ilmu  artinya ilmu pengetahuan. Sedangkan al-‘urf  atau al-‘irf artinya ialah al-sabr yaitu sabar, karena orang yang tahu, berilmu, bisanya sabar dalam menghadapi segala sesuatu hal. Al-ma’ruf  adalah semua hal yang diketahui oleh diri manusia dan ia merasa senang dan tenang,  sesuatu yang diketahui orang banyak dan jika mereka melihatnya mereka tidak menolaknya.
[16] Ahmad Watik Pratiknya, Gerak Dakwah Muhammadiyah Menatap Masa Depan, PP Muhammadiyah Majelis Tabligh, Yogyakarta, 1409 H, hal. 24.
[17] Lihat QS. An-Nisa [4]:1, yang berbunyi sebagai berikut:
[18] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah,  Jakarta: Lentera Hati, 2000, hal. 313.
[19] Lihat QS. Ar-Rum [30]:21
[20] Lihat Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer,  Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hal. 264.
[21] Soerjono Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 70.

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post