Oleh DHIPA GALUH PURBA
JIKA kisah Seribu Satu Malam merupakan kisah-kisah yang menyelematkan realita, maka pada Kisah Seribu satu + semalam adalah sebuah cerita di atas cerita. Bisa jadi, semua pembaca akan berpikir dengan extra keras dalam membaca buku ini.
Di samping tokoh-tokohnya yang cukup banyak, ditambah lagi dengan “pembongkaran” radikal antara dongeng dan fiksi – pun jika dicermati lebih teliti, ternyata bagian awal cerita ada di bagian akhir cerita. Ini adalah kreativitas pengarang, dalam mengafresiasi Kisah Seribu Satu Malam, tanpa terkesan menjadi plagiator.
Entah karena ada semacam “trauma psikologis” pada kenangan pahit di masa lalu, ketika Salman menulis Ayat-Ayat Setan (Saat itu, Salman diancam untuk dibunuh, dan darahnya dinyatakan halal), atau memang timbul secara murni tentang pandangannya terhadap kekuasaan Tuhan.
Refleksi tentang ku-Tuhanan dapat dicermati, pada penggambaran peperangan antara gelap dan terang yang kemudian dimenangkan oleh dunia terang. Kehidupan yang penuh kegelapan, bagaimanapun kuatnya, tetap bisa dihancurkan.
Menyusuri jalan cerita dan penokohan Harun dan Lautan Dongeng (HDLD), pembaca bisa terjebak pada sebuah pertanyaan; siapa yang menuturkan peristiwa? Aku, Rasid atau Harun? Hal itu bisa terjadi, karena si pengarang secara sadar menghadirkan dirinya, dengan cara menghadirkan orang yang menjadi tokohnya.
Dihidupkan seperti nyata, tetapi berusaha membuat kesan agar si pengarang tidak ada. Kendati banyak sekali tokoh dalam HDLD, tetapi konsistensi tokoh tetap terjaga, dari awal hingga akhir. Bahkan antara nama dan tokoh pun, ada keterikatan karakteristik yang tidak bisa dipisahkan.
Ada pengetahuan mengenai sains yang dimiliki oleh pengarang. Ketika mengamati adegan demi adegan disaat proses pembebasan dari dunia kegelapan, pengarang tidak lupa untuk mengatur bagaimana keberlangsungan tata surya di jagat raya.
Bulan tetap berputar pada porosnya. Logikanya yang gelap, pengarang menggunakan tanggal 15, dan berhadapan tanggal 1 pada saat terang benderang. Pengarang mengatur keberlangsungan matahari, bulan, bumi, dan lain sebagainya.***
Ranggon Panyileukan, 29 Safar 1426 H
Komentar