Suatu Hari di Tahun 2002; Pahit Getir Seorang Penulis Pemula



Catatan Kecil Dhipa Galuh Purba

Bangun tidur kuterus mandi
Tidak lupa menggosok gigi…

Terkadang merasa bosan dengan kegiatan sehari-hari. Menjemukan. Namun apapun yang terjadi, tetap harus dijalani. Demi menggapai cita-cita. Demi meraih angan-angan. Demi mewujudkan segala impian. Hidup ini memang perjuangan. Dan setiap perjuangan tentu memerlukan pengorbanan. Hidup ini memang sukar, tapi tidak terlalu sulit. Hidup ternyata gampang, tapi tidak terlalu mudah.

Seiring dengan berjalannya waktu. Apa yang dijalani dalam keseharian, tidak selalu sama dengan hari-hari lain. Bahkan sesuatu yang tidak direncakan, ada kalanya ditemui. Hidup memang penuh misteri. Dan menurut filusuf, jika hidup tanpa misteri, maka hidup ini akan terasa hambar dan tidak menarik. Entahlah. Tapi memang begitu adanya. Seperti juga kegiatan rutinitas yang dijalani dalam keseharian.

Hari Selasa di belantara Kota Bandung. Tidak seperti halnya di kampung halaman, Panjalu, Ciamis. Kalau bangun tidur itu, selain mendengar adzan Subuh, pasti bersamaan pula dengan lengkingan kongkorongok ayam jantan dari setiap penjuru. Ditambah lagi dengan ‘bisik-bisik’ Mang Sarif yang tengah mempersiapkan diri untuk pergi ke pasar dalam rangka memasarkan produk toge dan kacambah.

Di Bandung sangat berbeda. Teramat beda. Tidak ada suara kokok ayam jantan. Tak ada suara Mang Sarif. Tapi harus mencoba menikmati suara tukang odading, tukang bacang, atau tukang koran yang punya gaya dan ciri khas masing-masing. Sekitar jam 05.30 WIB, saya baru bangun tidur.

Bangun tidur kuterus mandi… Ah, itu hanyalah rumpaka dalam lagu anak-anak. Saya tidak mau jadi anak-anak. Makanya bangun tidur, hanya mencuci muka. Selanjutnya menyalakan kompor minyak tanah, memasak air, dan membuat secangkir kopi. Bukan secangkir, tapi segelas. Menurut pendapat beberapa kawan yang hobi merokok, katanya kofi dapat menghancurkan nikotin di dalam tubuh. Saya mencoba untuk percaya, walau dalam hati agak ragu-ragu. Tapi kalaupun kofi malah akan membahayakan tubuh, saya akan tetap meminumnya. Itu pasti. Sebab merokok tanpa minum kofi bagaikan hidup tanpa cinta. Dan saya tidak mau hidup tanpa cinta. Maka dari itulah, setiap pagi saya mengkolaburasikan air kofi dan sebatang  rokok.

Setelah 15 menit menikmati kofi dan merokok, barulah mampir ke kamar mandi. Tidak terlalu lama. Paling hanya menggosok gigi, buang air, mandi (kadang tidak), dan wudhu. Tidak akan diceritakan secara detail di kamar mandi karena menyangkut urusan pribadi yang sangat rahasia. Tidak mungkin menceritakan bagian mana saja yang dicuci secara terperinci. Itu sangat berbahaya, takut dianggap tulisan  porno.

Keluar dari kamar mandi, masuk kamar tidur. Walau selimut seperti yang memanggil-manggil, namun saya mencoba untuk bertahan. Saya memilih untuk mengganti baju, kadang-kadang mengenakan lagi baju bekas hari kemarin, atau kalau masih bersih, baju yang mangkuknya pun tidak apa-apa. Bahkan tidak masalah mengenakan baju yang hari lusa.

Jam tujuh kurang lima menit, barulah bersiap-siap berangkat kuliah. Untung punya sahabat bernama Si Centil, sebuah motor yang lebih pantas diberi merek ‘salju’ (asal maju). Sengaja diberi nama Si Centil. Sebab ulahnya terkadang sangat centil. Tiga hari sebelumnya, ketika saya membonceng seorang mahasiswi fakultas Tarbiah, tiba-tiba ban belakangnya mendadak bocor. Padahal ban luarnya memang sudah gundul.

Tapi itu tak seberapa parah dibandingkan dengan ‘tragedi’ satu tahun yang lalu. Masih terbayang dalam ingatan, ketika pada suatu hari disuruh mengantar Neng Dewi, adiknya tetangga kakak. Tepat di perempatan Simpang Lima (maksud perempatan di sini artinya adalah simpang jalan yang lebih dari tiga. Di kampung saya biasa disebut perempatan, walaupun simpang enam). Tapi itu tidak terlalu penting untuk dibahas. Yang jelas di sanalah tiba-tiba Si Centil mendadak mati. Mogok sama sekali. Walau sudah dicoba membetulkan letak kaca spion atau membuka pentil ban, tetap saja Si Centil tak bisa hidup. Benar-benar apes. Neng Dewi sampai cemberut, dan hingga detik ini pula, Neng Dewi tak pernah mau lagi diantarkan saya.

Waktu itu Neng Dewi naik angkot (tanpa membuka helmnya). Sedangkan saya mendorong Si Centil ke bengkel terdekat. Lalu Si Centil diperiksa oleh montir. Menurut keterangan montir, Si Centil itu tidak ada masalah. Tentu saya mengatakan bahwa Si Centil tak bisa hidup. Tapi dengan entengnya, montir berkata, “ Jelas tidak akan hidup, sebab bensinnya kosong.”. Sesudah itu, memang saya baru ingat, bahwa selama dua hari, saya tidak pernah membeli bensin. Bukan apa-apa, saya punya utang rokok sama tukang bensin eceran langganan, bekas taruhan liga Italia.

Dari Ranggon Panyileukan ke Cipadung, jaraknya memang tidak terlalu jauh. Dalam jangka waktu lima menit, dijamin bisa sampai. Bahkan kalau mengemudikan Si Centil dengan kecepatan 120KM/ Jam, sepertinya dalam jangka waktu satu menit lebih tiga detik pun saya akan lebih cepat sampai ke Rumah Sakit Al-Islam. Tapi belum pernah dicoba, dan memang Insya Alloh tak akan pernah untuk mencobanya, walau ditolak cinta sekalipun.

Tidak usah terlalu heran, jika saya sering kesiangan datang ke kampus. Kawan-kawan pun sudah maphum akan hal itu. Namun saya tidak merasa terlalu bangga. Maka dari itu, di dalam kelas pun saya tidak suka banyak bicara.

Sepulang kuliah, saya langsung menuju Ranggon Panyileukan. Sebelumnya mampir dulu ke warung makan terdekat dan termurah. Biasanya saya suka makan di warteg Cipadung, dari gerbang kampus, beberapa meter ke arah kanan. Bukan apa-apa. Selain masakannya enak, ditambah dengan pelayannya yang mempesona. Nining namanya. Ia adalah gadis Tegal. Orang Sunda bilang, Nining itu orang Jawa. Padahal saya juga orang Jawa, tepatnya Jawa Barat.  

Kawan saya mengingatkan untuk tidak jatuh cinta kepada Nining. Menurut mitos sebagian orang tua, laki-laki Sunda tidak boleh menikah dengan wanita Jawa. Tapi kalau laki-laki Jawa, katanya sangat bagus jika menikah dengan mojang Sunda. Dasar, mitos yang sangat merugikan. Saya tidak percaya, sebab tidak ada dalam Al-Qur-an atau Hadits. Atau mungkin juga ada hubungannya dengan sejarah ‘Palagan Bubat’. Entahlah. Meski begitu, saya tetap menuruti saran kawan. Saya tidak akan pernah bercita-cita menikahi Nining, karena Nining akan segera menikah dengan pacarnya dalam waktu dekat ini.

Saya menyalakan komputer dan mulai menulis naskah ‘Heureuy Bandung’ untuk dikirimkan ke Koran GALAMEDIA. Meski untuk dimuat hari Kamis, tapi dari hari Selasa, naskahnya sudah harus saya kirimkan ke redaksi. Jika tidak, saya tidak akan mendapat honorarium tulisan. Sedangkan hidup saya hanya tergantung pada honor tulisan di media massa. Tiada hari tanpa mengarang. Saya yakin, mengarang cerita lebih baik daripada mencuri.

Bersamaan dengan adzan Dzuhur, saya segera mengkopi naskah ke disket, dan segera berangkat. Tidak langsung ke redaksi Galamedia. Saya belok dulu ke Komplek Nuansa Mas, menuju kantor ESA Production, sebuah production house  yang cukup ternama. Sebenarnya saya tidak ada kepentingan yang terlalu mendesak. Di ESA Production, saya hanya merevisi skenario. Setelah naskah beres, mestinya tidak usah banyak ikut campur urusan di lapangan. Tapi karena saya mau numpang makan siang, maka saya terpaksa mencari-cari alasan untuk datang. Saya hanya bertanya kepada sutradara, Bang Amrin Lubis, “Bang, ada yang harus diubah lagi naskahnya?” Hanya itu saja. Dan saya sudah sangat tahu jawaban yang akan terlontar dari Bang Amrin. “Tidak ada. Kalau ada yang perlu direvisi, pasti akan saya suruh unit untuk nelepon kamu.” Itulah jawabannya. Dan saya mengambil nasi bungkus, sambil berkata pada pimpro, Meidi Irianto, “Banyak pemain cewek baru yang mau ikut main di ESA. Uhh… cakepnya minta ampun. Tingginya juga hampir 2 meter kalau pakai kursi.” Begitu kata saya sambil membuka nasi bungkus.

Kemudian saya menuju redaksi HU. Galamedia di Jl. Sekelimus, Bandung. Sebelumnya, saya mampir dulu ke redaksi majalah Seni Budaya Cangkurileung, yang lokasi kantornya berdekatan dengan Galamedia. Di redaksi Majalah Seni Budaya, saya mengambil honor tulisan dan menyerahkan tulisan baru untuk dimuat di edisi yang akan datang. Dari sana, barulah menuju redaksi Galamedia untuk menyerahkan naskah “Heureuy Bandung” beserta naskah-naskah lainnya kepada Pak Tarlin Sukandar.

Saya tidak  berlama-lama di redaksi Galamedia. Langsung saja menuju ke Jl. Lodaya 19, kantor Redaksi Majalah Mangle. Saya menyerahkan beberapa judul naskah untuk dimuat di Majalah Mangle. Tapi hari Selasa belum saatnya mengambil honor. Biasanya saya mengambil honor Mangle pada hari Kamis. Di kantor redaksi, saya ngobrol dulu dengan redaktur Mangle Remaja, Dadan Sutisna. Tema obrolannya selalu bervariasi, dari mulai masalah sastra Sunda sampai calon pacar.

Dari Majalah Mangle, berangkat lagi ke redaksi kantor KSM Kudjang, untuk meminta koran edisi terbaru. Ya, meminta, bukan membeli. Sebab saya menulis cerita bersambung “Gehger Raja Dzulkarnaen” di KSM Kudjang. Saya tidak dikasih honor untuk tulisan tersebut. Tapi tidak masalah, karena saya menulis bukan untuk menghonor. Cukuplah dikasih koran saja.

Dari KSM Kudjang, saya pulang. Tapi sekali lagi, saya mampir dulu ke redaksi KSM Giwangkara. Bukan mau apa-apa, hanya mau minta koran terbaru. Di Giwangkara pun saya menulis cerita bersambung “Mustika Lana” dan sama halnya dengan di KSM Kudjang, tidak mendapatkan honor.

Tepat dengan waktunya shalat Asar, saya sudah sampai di Ranggon Panyileukan. Tidak usah disebutkan kalau saya melaksanakan solat Asar. Yang penting, jam tersebut, setelah solat Asar,  selalu saya gunakan untuk tidur. Nyenyak. Tapi jarang bermimpi indah. Padahal saya sangat menginginkan sebuah cerita dalam mimpi. Sayangnya mimpi saya kurang bervariasi. Kalau tidak mimpi dikejar anjing, biasanya saya mimpi berjumpa dengan Neng Rina, mantan pacar yang kini entah di mana. Itulah sebabnya, saya sangat menyukai lagu berjudul ‘Where Are You Now’, ‘Kembalilah’, dan ‘Jol Anjeun Datang Deui’.

Menurut keterangan kakek di kampung, tidur pada waktu sareupna sangat pamali. Dan memang saya tidak suka melakukannya. Pada wanci sareupna adalah waktu saya untuk bangun tidur. Saya langsung mandi, dan bersiap-siap melaksanakan solat Magrib. Tak usah dibahas tentang cara shalat saya. Yang penting, sejak dulu saya melaksanakan solat Magrib sebanyak tiga rakaat. Tidak lebih dan tidak kurang.

Saya harus makan. Seperti biasanya, saya menuju warteg, lalu makan dengan tidak terlalu lahap. Sebab, menurut para pakar seks, kekuatan seorang laki-laki itu bisa diukur dari bagaimana caranya makan. Kalau makannya lahap dan tergesa-gesa, maka laki-laki itu dipastikan pula akan terlalu cepat selesai dalam bercinta. Makanya saya membiasakan diri untuk makan dengan lambat. Bahkan sangat lambat. Terutama kalau kebetulan makan di hadapan seorang wanita. Tapi kalau tak ada siapa-siapa sih… apalagi dengan perut yang keroncongan, saya makan dengan sewajarnya, sekitar 2 menit.

Malam hari. Setelah melaksanakan solat Isya, saya menyambungnya dengan shalat hajat. Ini bukan ria, tapi syiar. Shalat itu sangat penting. Bahkan shalat di malam hari, ternyata memiliki makna yang begitu dalam. Tak akan diceritakan terlalu jauh. Yang pasti, kalau saya sudah melaksanakan solat Isa dan sholat hajat, maka pikiran saya akan menjadi tenang, damai, dan sejuk. Imajinasi bisa terbang  ngalingling wiati, ngalanglang jomantara.

Dalam kesunyian tengah malam, saya mulai menyalakan lagi komputer. Saya menulis segala macam yang ingin saya curahkan. Dari mulai tugas kuliah sampai tugas untuk mempertahankan hidup. Sampai saatnya terdengar adzan Subuh, saya tak beranjak dari hadapan komputer. Saya menulis dan menulis. Derita, cinta, perjuangn, pengorbanan, pengabdian, harapan, cita-cita, dan semuanya yang ada dalam benak saya, tercurah pada berbagai tulisan. Dari mulai Cerpen Sunda, Cerpen Indonesia, Sajak Sunda, Sajak Indonesia, Novel Sunda, Novel Indonesia, Skenario Sinetron, surat yang akan dikirimkan,  surat yang tidak akan pernah dikirimkan sampai kepada surat-surat yang akhirnya harus terkubur.

Bersama lengkingan merdu adzan Subuh, saya pun menghentikan ‘penjelajahan’. Sejenak, saya bersujud di atas sajadah, menghadap Allah SWT, seraya menyerahkan segala yang sudah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan terjadi dalam hidup saya. Lalu saya tertidur di atas sajadah. Membiarkan jiwa saya untuk berkelana demi kasih saya pada raga. Istirahat. Berdo’a. Tidur. Mimpi. Menanti cerita selanjutnya yang akan saya jalani. Semangat dalam jiwa, semoga tak akan pernah sirna. Akan saya titi betapa pun jembatan penuh liku. Mudah-mudahan selamanya saya yakin dan percaya, bahwa Allah tempat saya berlindung dan memohon pertolongan. Saya sangat yakin dan percaya,  bahwa…sesudah kesulitan pasti akan ada kemudahan, Aamiin yaa robbal a’lamiin.***


Ranggon Panyileukan, 2002

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post