Catatan Kecil Dhipa Galuh Purba
Bangun tidur kuterus mandi
Tidak lupa menggosok gigi…
Terkadang merasa bosan dengan kegiatan sehari-hari. Menjemukan. Namun
apapun yang terjadi, tetap harus dijalani. Demi menggapai cita-cita. Demi
meraih angan-angan. Demi mewujudkan segala impian. Hidup ini memang perjuangan.
Dan setiap perjuangan tentu memerlukan pengorbanan. Hidup ini memang sukar,
tapi tidak terlalu sulit. Hidup ternyata gampang, tapi tidak terlalu mudah.
Seiring dengan berjalannya waktu. Apa yang dijalani dalam keseharian,
tidak selalu sama dengan hari-hari lain. Bahkan sesuatu yang tidak direncakan,
ada kalanya ditemui. Hidup memang penuh misteri. Dan menurut filusuf, jika
hidup tanpa misteri, maka hidup ini akan terasa hambar dan tidak menarik.
Entahlah. Tapi memang begitu adanya. Seperti juga kegiatan rutinitas yang dijalani
dalam keseharian.
Hari Selasa di belantara Kota Bandung. Tidak seperti halnya di kampung
halaman, Panjalu, Ciamis. Kalau bangun tidur itu, selain mendengar adzan Subuh,
pasti bersamaan pula dengan lengkingan kongkorongok
ayam jantan dari setiap penjuru. Ditambah lagi dengan ‘bisik-bisik’ Mang Sarif yang
tengah mempersiapkan diri untuk pergi ke pasar dalam rangka memasarkan produk toge dan kacambah.
Di Bandung sangat berbeda. Teramat beda. Tidak ada suara kokok ayam
jantan. Tak ada suara Mang Sarif. Tapi harus mencoba menikmati suara tukang
odading, tukang bacang, atau tukang koran yang punya gaya dan ciri khas masing-masing.
Sekitar jam 05.30 WIB, saya baru bangun tidur.
Bangun tidur kuterus mandi… Ah, itu hanyalah rumpaka dalam lagu anak-anak. Saya tidak mau jadi anak-anak.
Makanya bangun tidur, hanya mencuci muka. Selanjutnya menyalakan kompor minyak
tanah, memasak air, dan membuat secangkir kopi. Bukan secangkir, tapi segelas.
Menurut pendapat beberapa kawan yang hobi merokok, katanya kofi dapat
menghancurkan nikotin di dalam tubuh. Saya mencoba untuk percaya, walau dalam
hati agak ragu-ragu. Tapi kalaupun kofi malah akan membahayakan tubuh, saya
akan tetap meminumnya. Itu pasti. Sebab merokok tanpa minum kofi bagaikan hidup
tanpa cinta. Dan saya tidak mau hidup tanpa cinta. Maka dari itulah, setiap
pagi saya mengkolaburasikan air kofi dan sebatang rokok.
Setelah 15 menit menikmati kofi dan merokok, barulah mampir ke kamar
mandi. Tidak terlalu lama. Paling hanya menggosok gigi, buang air, mandi
(kadang tidak), dan wudhu. Tidak akan diceritakan secara detail di kamar mandi
karena menyangkut urusan pribadi yang sangat rahasia. Tidak mungkin
menceritakan bagian mana saja yang dicuci secara terperinci. Itu sangat
berbahaya, takut dianggap tulisan porno.
Keluar dari kamar mandi, masuk kamar tidur. Walau selimut seperti yang
memanggil-manggil, namun saya mencoba untuk bertahan. Saya memilih untuk
mengganti baju, kadang-kadang mengenakan lagi baju bekas hari kemarin, atau kalau
masih bersih, baju yang mangkuknya pun
tidak apa-apa. Bahkan tidak masalah mengenakan baju yang hari lusa.
Jam tujuh kurang lima menit, barulah bersiap-siap berangkat kuliah.
Untung punya sahabat bernama Si Centil, sebuah motor yang lebih pantas diberi
merek ‘salju’ (asal maju). Sengaja diberi nama Si Centil. Sebab ulahnya
terkadang sangat centil. Tiga hari sebelumnya, ketika saya membonceng seorang
mahasiswi fakultas Tarbiah, tiba-tiba ban belakangnya mendadak bocor. Padahal
ban luarnya memang sudah gundul.
Tapi itu tak seberapa parah dibandingkan dengan ‘tragedi’ satu tahun
yang lalu. Masih terbayang dalam ingatan, ketika pada suatu hari disuruh
mengantar Neng Dewi, adiknya tetangga kakak. Tepat di perempatan Simpang Lima
(maksud perempatan di sini artinya adalah simpang jalan yang lebih dari tiga.
Di kampung saya biasa disebut perempatan, walaupun simpang enam). Tapi itu
tidak terlalu penting untuk dibahas. Yang jelas di sanalah tiba-tiba Si Centil
mendadak mati. Mogok sama sekali. Walau sudah dicoba membetulkan letak kaca
spion atau membuka pentil ban, tetap saja Si Centil tak bisa hidup. Benar-benar
apes. Neng Dewi sampai cemberut, dan hingga detik ini pula, Neng Dewi tak
pernah mau lagi diantarkan saya.
Waktu itu Neng Dewi naik angkot (tanpa membuka helmnya). Sedangkan saya
mendorong Si Centil ke bengkel terdekat. Lalu Si Centil diperiksa oleh montir. Menurut
keterangan montir, Si Centil itu tidak ada masalah. Tentu saya mengatakan bahwa
Si Centil tak bisa hidup. Tapi dengan entengnya, montir berkata, “ Jelas tidak
akan hidup, sebab bensinnya kosong.”. Sesudah itu, memang saya baru ingat,
bahwa selama dua hari, saya tidak pernah membeli bensin. Bukan apa-apa, saya
punya utang rokok sama tukang bensin eceran langganan, bekas taruhan liga
Italia.
Dari Ranggon Panyileukan ke Cipadung, jaraknya memang tidak terlalu
jauh. Dalam jangka waktu lima menit, dijamin bisa sampai. Bahkan kalau
mengemudikan Si Centil dengan kecepatan 120KM/ Jam, sepertinya dalam jangka
waktu satu menit lebih tiga detik pun saya akan lebih cepat sampai ke Rumah
Sakit Al-Islam. Tapi belum pernah dicoba, dan memang Insya Alloh tak akan
pernah untuk mencobanya, walau ditolak cinta sekalipun.
Tidak usah terlalu heran, jika saya sering kesiangan datang ke kampus. Kawan-kawan
pun sudah maphum akan hal itu. Namun saya tidak merasa terlalu bangga. Maka
dari itu, di dalam kelas pun saya tidak suka banyak bicara.
Sepulang kuliah, saya langsung menuju Ranggon Panyileukan. Sebelumnya
mampir dulu ke warung makan terdekat dan termurah. Biasanya saya suka makan di
warteg Cipadung, dari gerbang kampus, beberapa meter ke arah kanan. Bukan
apa-apa. Selain masakannya enak, ditambah dengan pelayannya yang mempesona.
Nining namanya. Ia adalah gadis Tegal. Orang Sunda bilang, Nining itu orang
Jawa. Padahal saya juga orang Jawa, tepatnya Jawa Barat.
Kawan saya mengingatkan untuk tidak jatuh cinta kepada Nining. Menurut
mitos sebagian orang tua, laki-laki Sunda tidak boleh menikah dengan wanita
Jawa. Tapi kalau laki-laki Jawa, katanya sangat bagus jika menikah dengan
mojang Sunda. Dasar, mitos yang sangat merugikan. Saya tidak percaya, sebab
tidak ada dalam Al-Qur-an atau Hadits. Atau mungkin juga ada hubungannya dengan
sejarah ‘Palagan Bubat’. Entahlah. Meski begitu, saya tetap menuruti saran
kawan. Saya tidak akan pernah bercita-cita menikahi Nining, karena Nining akan
segera menikah dengan pacarnya dalam waktu dekat ini.
Saya menyalakan komputer dan mulai menulis naskah ‘Heureuy Bandung’ untuk dikirimkan ke Koran GALAMEDIA. Meski untuk
dimuat hari Kamis, tapi dari hari Selasa, naskahnya sudah harus saya kirimkan
ke redaksi. Jika tidak, saya tidak akan mendapat honorarium tulisan. Sedangkan
hidup saya hanya tergantung pada honor tulisan di media massa. Tiada hari tanpa
mengarang. Saya yakin, mengarang cerita lebih baik daripada mencuri.
Bersamaan dengan adzan Dzuhur, saya segera mengkopi naskah ke disket,
dan segera berangkat. Tidak langsung ke redaksi Galamedia. Saya belok dulu ke
Komplek Nuansa Mas, menuju kantor ESA Production, sebuah production house yang cukup
ternama. Sebenarnya saya tidak ada kepentingan yang terlalu mendesak. Di ESA
Production, saya hanya merevisi skenario. Setelah naskah beres, mestinya tidak
usah banyak ikut campur urusan di lapangan. Tapi karena saya mau numpang makan
siang, maka saya terpaksa mencari-cari alasan untuk datang. Saya hanya bertanya
kepada sutradara, Bang Amrin Lubis, “Bang, ada yang harus diubah lagi naskahnya?”
Hanya itu saja. Dan saya sudah sangat tahu jawaban yang akan terlontar dari Bang
Amrin. “Tidak ada. Kalau ada yang perlu direvisi, pasti akan saya suruh unit
untuk nelepon kamu.” Itulah jawabannya. Dan saya mengambil nasi bungkus, sambil
berkata pada pimpro, Meidi Irianto, “Banyak pemain cewek baru yang mau ikut
main di ESA. Uhh… cakepnya minta ampun. Tingginya juga hampir 2 meter kalau
pakai kursi.” Begitu kata saya sambil membuka nasi bungkus.
Kemudian saya menuju redaksi HU. Galamedia
di Jl. Sekelimus, Bandung. Sebelumnya, saya mampir dulu ke redaksi majalah Seni Budaya Cangkurileung, yang lokasi
kantornya berdekatan dengan Galamedia.
Di redaksi Majalah Seni Budaya, saya
mengambil honor tulisan dan menyerahkan tulisan baru untuk dimuat di edisi yang
akan datang. Dari sana, barulah menuju redaksi Galamedia untuk menyerahkan
naskah “Heureuy Bandung” beserta naskah-naskah lainnya kepada Pak Tarlin
Sukandar.
Saya tidak berlama-lama di
redaksi Galamedia. Langsung saja
menuju ke Jl. Lodaya 19, kantor Redaksi Majalah Mangle. Saya menyerahkan beberapa judul naskah untuk dimuat di
Majalah Mangle. Tapi hari Selasa belum saatnya mengambil honor. Biasanya saya
mengambil honor Mangle pada hari
Kamis. Di kantor redaksi, saya ngobrol dulu dengan redaktur Mangle Remaja, Dadan
Sutisna. Tema obrolannya selalu bervariasi, dari mulai masalah sastra Sunda
sampai calon pacar.
Dari Majalah Mangle, berangkat lagi ke redaksi kantor KSM Kudjang, untuk meminta koran edisi terbaru.
Ya, meminta, bukan membeli. Sebab saya menulis cerita bersambung “Gehger Raja
Dzulkarnaen” di KSM Kudjang. Saya
tidak dikasih honor untuk tulisan tersebut. Tapi tidak masalah, karena saya
menulis bukan untuk menghonor. Cukuplah dikasih koran saja.
Dari KSM Kudjang, saya pulang. Tapi sekali lagi, saya mampir dulu ke
redaksi KSM Giwangkara. Bukan mau apa-apa,
hanya mau minta koran terbaru. Di Giwangkara pun saya menulis cerita bersambung
“Mustika Lana” dan sama halnya dengan di KSM Kudjang, tidak mendapatkan honor.
Tepat dengan waktunya shalat Asar, saya sudah sampai di Ranggon
Panyileukan. Tidak usah disebutkan kalau saya melaksanakan solat Asar. Yang
penting, jam tersebut, setelah solat Asar,
selalu saya gunakan untuk tidur. Nyenyak. Tapi jarang bermimpi indah.
Padahal saya sangat menginginkan sebuah cerita dalam mimpi. Sayangnya mimpi
saya kurang bervariasi. Kalau tidak mimpi dikejar anjing, biasanya saya mimpi
berjumpa dengan Neng Rina, mantan pacar yang kini entah di mana. Itulah
sebabnya, saya sangat menyukai lagu berjudul ‘Where Are You Now’, ‘Kembalilah’,
dan ‘Jol Anjeun Datang Deui’.
Menurut keterangan kakek di kampung, tidur pada waktu sareupna sangat pamali. Dan memang saya tidak suka melakukannya. Pada wanci sareupna adalah waktu saya untuk
bangun tidur. Saya langsung mandi, dan bersiap-siap melaksanakan solat Magrib.
Tak usah dibahas tentang cara shalat saya. Yang penting, sejak dulu saya
melaksanakan solat Magrib sebanyak tiga rakaat. Tidak lebih dan tidak kurang.
Saya harus makan. Seperti biasanya, saya menuju warteg, lalu makan dengan
tidak terlalu lahap. Sebab, menurut para pakar seks, kekuatan seorang laki-laki
itu bisa diukur dari bagaimana caranya makan. Kalau makannya lahap dan tergesa-gesa,
maka laki-laki itu dipastikan pula akan terlalu cepat selesai dalam bercinta.
Makanya saya membiasakan diri untuk makan dengan lambat. Bahkan sangat lambat.
Terutama kalau kebetulan makan di hadapan seorang wanita. Tapi kalau tak ada
siapa-siapa sih… apalagi dengan perut yang keroncongan, saya makan dengan
sewajarnya, sekitar 2 menit.
Malam hari. Setelah melaksanakan solat Isya, saya menyambungnya dengan
shalat hajat. Ini bukan ria, tapi syiar. Shalat itu sangat penting. Bahkan shalat
di malam hari, ternyata memiliki makna yang begitu dalam. Tak akan diceritakan
terlalu jauh. Yang pasti, kalau saya sudah melaksanakan solat Isa dan sholat
hajat, maka pikiran saya akan menjadi tenang, damai, dan sejuk. Imajinasi bisa
terbang ngalingling wiati, ngalanglang jomantara.
Dalam kesunyian tengah malam, saya mulai menyalakan lagi komputer. Saya
menulis segala macam yang ingin saya curahkan. Dari mulai tugas kuliah sampai
tugas untuk mempertahankan hidup. Sampai saatnya terdengar adzan Subuh, saya
tak beranjak dari hadapan komputer. Saya menulis dan menulis. Derita, cinta,
perjuangn, pengorbanan, pengabdian, harapan, cita-cita, dan semuanya yang ada
dalam benak saya, tercurah pada berbagai tulisan. Dari mulai Cerpen Sunda, Cerpen Indonesia, Sajak Sunda,
Sajak Indonesia, Novel Sunda, Novel Indonesia, Skenario Sinetron, surat yang akan dikirimkan, surat yang tidak akan pernah dikirimkan sampai
kepada surat-surat yang akhirnya harus terkubur.
Bersama lengkingan merdu adzan Subuh, saya pun menghentikan
‘penjelajahan’. Sejenak, saya bersujud di atas sajadah, menghadap Allah SWT,
seraya menyerahkan segala yang sudah terjadi, sedang terjadi, dan yang akan
terjadi dalam hidup saya. Lalu saya tertidur di atas sajadah. Membiarkan jiwa
saya untuk berkelana demi kasih saya pada raga. Istirahat. Berdo’a. Tidur.
Mimpi. Menanti cerita selanjutnya yang akan saya jalani. Semangat dalam jiwa,
semoga tak akan pernah sirna. Akan saya titi betapa pun jembatan penuh liku. Mudah-mudahan
selamanya saya yakin dan percaya, bahwa Allah tempat saya berlindung dan
memohon pertolongan. Saya sangat yakin dan percaya, bahwa…sesudah kesulitan
pasti akan ada kemudahan, Aamiin yaa robbal a’lamiin.***
Ranggon Panyileukan, 2002
Komentar