Berlindung Dalam Kesundaan

Catatan DHIPA GALUH PURBA

SAYA bersyukur dapat bergaul dengan berbagai suku yang ada di dunia ini. Atas dorongan itulah saya tertarik untuk menanggapi artikel H. Usep Romli yang berjudul “Kenapa tak Boleh Berbahasa Sunda?” (“PR”/04/05/05).

Usep Romli mengomentari sebuah diskusi tanpa menghadiri diskusi. Hal itu diakui beliau sejak paragraf awal tulisannya. Keberangkatan Usep berdasarkan tulisan Ahda Imran yang berjudul “Etika, Seni, dan Argumentasi Anti Klimaks” (Khazanah “PR”/28/5).

Ceritanya hampir mirip dengan artikel Aminudin TH Siregar (Ucok) di sebuah koran nasional. Ucok mengulas persidangan kasus karya Tisna Sanjaya, tanpa menghadiri sidang tersebut. Kemudian—masih di surat kabar yang sama—Yusuf Affendi menjawab pandangan Ucok, seraya menjelaskan jalannya persidangan kasus pembakaran “Special Prayer for the Death”. Padahal seharusnya Yusuf memberikan argumen intelek atas tuduhannya pada karya Tisna Sanjaya.

Saya juga sama-sama tidak hadir dalam diskusi yang digelar di Taman Budaya Jawa Barat tersebut (23/05). Sebuah komentar diskusi yang ditulis oleh orang tidak ikut diskusi, sangat layak dikomentari lagi oleh orang yang tidak ikut diskusi pula. Bedanya, saya mewawancarai dulu Isa Perkasa, kurator acara diskusi, dan beberapa orang yang hadir saat diskusi berlangsung. Tak hanya itu, saya pun mengejar-ngejar Ahda Imran untuk meminta rekaman diskusi.

Ruang diskusi dan situasi dalam angkot, tentu saja sangat jauh berbeda. Sopir yang kebetulan orang Batak, Jawa, atau lainnya, belum pernah diprotes oleh penumpang orang Sunda, meskipun mereka berbicara bahasa Batak. Tentu saja, karena perbincangan mereka tidak connect dengan penumpang. Dalam arti, pada saat itu tidak ada komunikasi antara sopir angkot dan penumpang.

Namun bahasa sopir akan segera berubah ketika menagih ongkos kepada penumpang. Sopir selalu menggunakan bahasa yang bisa dimengerti oleh lawan bicaranya. Sopir juga sudah sangat mengerti makna komunikasi.

Lantas, benarkah tuduhan yang dilontarkan Usep Romli terhadap Ucok dan Hawe Setiawan? Setelah berulang-ulang memutar rekaman diskusi, saya menyimpulkan bahwa tulisan Usep sangat ngawur dan mengada-ada. Tidak jauh beda dengan ngawurnya paparan Yusuf pada diskusi tersebut.

Tidak ada yang membenci bahasa Sunda! Pembicara pertama, Dr. Setiawan Santana, mengungkap gagasannya dengan diselingi bahasa Sunda. Seperti: ngoprek lukisan.

Begitupun dengan Ucok. Sebagai warga yang tinggal di Bandung, tampaknya beliau sudah mempelajari bahasa Sunda sedikit demi sedikit. Terbukti dalam pengungkapan idenya, Ucok sempat menggunakan bahasa Sunda, seperti: Ceuk maneh kitu, kitu we. Ceuk urang kieu, kieu we. Baik Setiawan atau Ucok, hanya menggunakan bahasa Sunda sebagai selingan, karena beliau menyadari keragaman latar belakang audience. Ada yang mengerti bahasa Sunda, ada pula yang tidak mengerti.

Yusuf Affendi datangnya terlambat satu jam lebih. Beliau baru tiba di meja pembicara—setelah Setiawan dan Ucok mengakhiri presentasinya. Tanpa basa-basi semisal minta maaf atas keterlambatannya, Yusuf langsung ngadadarkeun masalah seni dan etika kesundaan.

Mulanya Yusuf menggunakan bahasa Indonesia. Memperkenalkan statusnya; mengenang kedekatannya dengan Raden Saleh; mengakui ketidakmenarikan pemikirannya untuk zaman sekarang; dan mengatakan tentang dirinya yang masih harus banyak belajar.

Untaian kalimat Yusuf terkesan grogi, seperti tidak siap untuk jadi pembicara. Tidak lama kemudian—seperti juga yang ditulis Ahda Imran—Yusuf kehilangan fokus. Selain itu, bahasanya pun berubah total, menjadi bahasa Sunda.

Saya punya penafsiran, jangan-jangan Yusuf sengaja melarikan diri dan berlindung di bawah kesundaan dengan menggunakan bahasa Sunda. Ia sudah kumeok memeh dipacok, untuk beradu argumentasi dengan Setiawan atau Ucok. Ia berbicara ngaler-ngidul; Ema, Nyai, Warung, Sastra, Teater, Film, dan sebagainya.

Hawe, yang pada saat itu hanya jadi pendengar, menyarankan agar Yusuf tidak membesar-besarkan kesundaan—Hawe tidak mempersoalkan penggunaan bahasa Sunda, baik dalam diskusi atau yang dilaporkan Ahda.

Saya memandang sikap Hawe sangat wajar, karena Yusuf memang memanfaatkan bahasa Sunda atau kesundaan untuk melindungi diri, menjatuhkan Ucok, serta memvonis karya Tisna bukan seni. Yusuf menjelaskan etika kesundaan, sekaligus ia langgar etika tersebut. Dan tampaknya Yusuf lupa, bahwa Tisna Sanjaya adalah urang Cigondewah, urang Sunda.

Jika Yusuf mau menggunakan bahasa Sunda tanpa batas, Yusuf harus konsisten memakainya di ruang pengadilan, ruang kuliah, ruang keluarga, di mana pun dan kapan pun. Yusuf juga harus menulis artikel-artikel seni rupa dalam bahasa Sunda—Selama ini saya tidak pernah membaca tulisan Yusuf dalam bahasa Sunda, baik itu di Mangle, Galura, Kujang, atau media massa Sunda lainnya.

*

USEP Romli menulis bahwa Ucok mendadak berdiri ketika mendengar Yusuf berbicara bahasa Sunda. Itu tidak benar! Ucok, Setiawan, Hawe dan seluruh peserta diskusi, tidak ada yang bereaksi ketika Yusuf mengubah bahasa Sunda. Selama 15 menit, semuanya setia mendengarkan paparan Yusuf dalam bahasa Sunda. Yusuf berbicara etika Sunda, tetapi lupa ngaragap hate batur.

Lantas, apa yang menyebabkan Ucok berdiri? Saya yakin, Ucok merasa kecewa ketika mendengar kalimat: “Taman Budaya mah lahan urang Sunda. Lahan urang!” Yusuf tidak sadar, bahwa semua yang ada di langit dan bumi, hanyalah milik Alloh. Bukan milik urang. Benar yang diungkapkan Wawan Husein—salah satu peserta disusi, orang Sunda—bahwa siapapun tidak meminta untuk lahir di Sunda, Jawa, Bali, Batak, Amerika, atau lainnya. Saya bisa merasakan luka hati, dalam alunan Pupuh Asmaranda yang dilantunkan Wawan Husein.

Usep Romli juga seharusnya tahu, bahwa yang medal sila bukan Ucok. Justru Yusuf sendiri yang mabur ninggalkeun pakalangan. Ucok hanya protes atas ucapan Yusuf yang tidak beradab. Sedangkan Yusuf seperti bingung menjawab lima pertanyaan dari Hawe. Bahkan Yusuf hampir olab dengan pertanyaan peserta lainnya. Ia memilih ngejat ti pakalangan, sebelum diskusi usai. Yusuf lupa, bahwa Raja Sunda memilih gugur di pangperangan, dari pada harus mundur sasiku, ngejat satunjang beas.

Sekali lagi, dalam diskusi pro-kontra karya Tisna Sanjaya, tidak ada yang membenci bahasa Sunda—apalagi budaya Sunda. Maka dari itu, wahai sahabat-sahabat orang Sunda, Batak, Jawa, Minang, dan semuanya; janganlah kita terpancing untuk saling memusuhi satu sama lain, hanya karena segelintir orang yang tidak nyatria dan suka mengadu domba. Mari kita sama-sama merenungi al-Qur-an, surat al-Huzarat ayat 13. Kita adalah saudara.***


Dimuat di lembar Khasanah HU. Pikiran Rakyat, pada 11 Juni 2005

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post