Oleh Dhipa
Galuh Purba
Beruntung Bandung memiliki sastrawan dan
pencipta lagu yang piawai meracik lirik dan memanggungkan senandung. Nama
Bandung melambung melalui lantunan lagu, dari jenis kawih, tembang, katem,
sampai bandungan. Berbagai tema diangkat dalam rumpaka (lirik/syair) yang
berkenaan dengan Bandung .
Tentu saja ada yang romantis, mengenang masa
lalu, penuh keindahan, keprihatinan, kekhawatiran, optimisme, dan ada pula yang
melontarkan kritik tajam. Pada dasarnya, jelas sekali terciptanya lagu-lagu
tentang Bandung
berangkat dari kecintaan para seniman terhadap Bandung .
Tentu saja ada nama-nama lain yang
melahirkan sanggian lagu bertema Bandung, misalnya Machjar Angga Kusumadinata,
Sambas Mangundikarta, Nano S, Ubun Kubarsyah, Yoyo Risyaman, Ujang Suryana, OK
Yaman (Barmara), dan Apung S Wiratmadja. Rata-rata mereka pun pandai menulis
rumpaka. Lagu "Jalan Braga", "Babakan Siliwangi",
"Bale Endah", "Bandung-Lembang", dan "Isola"
adalah ciptaan Nano S yang rumpaka-nya ditulis sendiri oleh Nano S. Lagu katem
yang bercerita tentang Bandung berjudul Dalem Bandung (Rumpaka Deddy Windyagiri).
Jika Nano S membuat racikan katem, Ubun
Kubarsyah melahirkan bandungan. Lagu bandungan yang bertema Bandung di antaranya "Cikapundung"
(rumpaka Syahir Syahri), "Bandung Alum Nguyung", dan "Nyawang
Bandung" (rumpaka Eddy D Iskandar).
Lagu "Peuyeum Bandung" ditulis dan
disanggi oleh Sambas Mangundikarta. Lagu "Kabaya Bandung",
"Jalan Cihampelas", "Oncom Bandung", "Patepung di
Dayeuh Bandung" adalah lagu ciptaan Ujang Suryana. Lagu "Di Bandung
Kidul Hate Ngancikna", "Mojang Bandung", "Pasini di Dayeuh
Bandung", "Pileuleuyan Dayeuh Bandung" adalah ciptaan Yoyo
Risyaman. Lagu "Bandrek Bandung" adalah ciptaan Barmara. Pergolakan
batin Apung S Wiratmadja mengenai nasib Bandung bisa disimak dalam buku Lagu
Liwung Urang Bandung yang memuat puluhan dangding dan dua judul sawer.
Karya sastra
Hampir semua rumpaka lagu-lagu di atas layak
disebut karya sastra karena di dalamnya mengandung tema yang jelas, rasa
penulis, nada atau sikap penulis, dan amanat. Jika diselami, isinya akan terasa
mengandung wirahma, wirasa, dan purwakanti, baik purwakanti sejenis pangluyu,
maduswara, cakraswara, laras purwa, laras wekas, laras madya, margaluyu, maupun
yang lain.
Rumpaka "Bandung Bermartabat"
(ciptaan Nana) tidak termasuk dalam kategori karya sastra karena tampaknya
hanya merupakan rumpaka "pesanan" untuk menyukseskan program
"bermartabat", tidak mencerminkan rasa atau sikap penulisnya. Berbeda
dengan lagu bandungan berjudul "Cikapundung", "Bandung Alum
Nguyung", dan "Nyawang Bandung" yang jelas merupakan refleksi
kejujuran seorang penulis rumpaka dalam memandang Bandung, mengenang Bandung,
dan mengkritik Bandung dengan segala kecintaannya.
Wajah murung Bandung
Sampailah pada usia Bandung yang ke-198 tahun ini. Lagu-lagu
tentang Bandung
tetap mengalun dengan merdu meski wajah Bandung
kian sendu. Peuyeum (tape) Bandung ,
oncom Bandung ,
dan bandrek Bandung
semakin tersisih oleh makanan dan minuman impor. Kabaya (kebaya) Bandung pun hanya bisa
dijumpai pada acara pernikahan atau seremoni lainnya yang langka. Terbilang
jarang menyaksikan mojang Bandung
yang sehari-hari merasa bangga mengenakan kabaya Bandung .
Nama Jalan Braga atau Jalan Cihampelas
kemungkinan akan diganti. Entah apa pertimbangannya, Pemerintah Kota Bandung
begitu bersemangat mengganti nama-nama jalan yang sudah akrab dengan
masyarakat, dan tentunya memiliki nilai historis. Seandainya ada lagu berjudul
"Jalan Kiaracondong", tentu saja ia akan kebingungan mencari letak
jalan tersebut. Padahal, daripada menghambur-hamburkan anggaran untuk mengganti
nama jalan, lebih baik digunakan untuk memperbaiki jalan-jalan yang sudah
rusak.
Di mana pagunungan (pegunungan) Bandung seperti dalam
lagu Mang Koko? Bandung
kini tak lagi hijau karena pohon-pohon rindang ditebang, diganti dengan
bangunan menjulang yang bermimpi mencakar langit. Wajar jika datang musim
hujan, banjir melanda Bandung .
Sebaliknya, pada musim kemarau, kekeringan merajalela. Sama sekali bukan salah
hujan yang terlalu deras atau terlalu lambat turun ke bumi.
Kemacetan lalu lintas, kesemrawutan tata
ruang, kebudayaan, dan kesenjangan sosial masih menjadi persoalan utama yang
mayung Bandung .
Mungkinkah Dedy Windyagiri akan tetap memilih Dalem Kaum sebagai tempat
pertemuan sepasang kekasih yang sekian lama berpisah, seperti dalam rumpaka
katem "Dalem Kaum"? Apakah Yoyo Rismawan akan tetap memilih Dayeuh
Bandung sebagai tempat mengikat sepakat, seperti dalam lagu "Pasini di
Dayeuh Bandung "?
Masihkah ada heureuy (bercandaan) Bandung
yang penuh kesopanan seperti dalam lagu"Reumbeuy Bandung"?
Mari merenung untuk Bandung , lalu bertarung demi mewujudkan Bandung menjadi kota adiluhung.
DHIPA GALUH PURBA Penyiar Acara Sasakala Tatar Sunda di
Sebuah Radio Swasta dan Mengajar di UIN
Sunan Gunung Djati, Bandung
Dimuat di KOMPAS JABAR, Sabtu,
18 Oktober 2008
Komentar