Sensor Diri dan Lembaga Sensor Film

Oleh M. SUDAMA


IBADAH puasa seperti yang dilaksanakan pada Ramadhan lalu bisa menjadi ajang pelatihan sensor diri agar lebih peka lagi dalam memilah hal-hal negatif. Terkait dengan arus teknologi informasi yang hampir tidak terbendung, sensor diri merupakan pertahanan terakhir yang menjadi andalan. Sensor diri untuk aneka warna tayangan dari ratusan stasiun televisi yang leluasa memasuki ruang tamu hingga kamar tidur. Sensor diri untuk film-film yang beredar di bioskop, toko-toko DVD, dan internet. Sebab fakta di  lapangan menunjukkan bahwa  film yang melewati Lembaga Sensor Film (LSF) maupun yang tidak singgah di LSF, bisa didapatkan dengan mudah dan murah meriah.

Bahkan ketika ada film yang dinyatakan tidak lulus sensor, justru film tersebut beredar bebas di tengah masyarakat dalam berbagai versi. Misalnya dalam bentuk DVD yang dijual bebas. Dan seandainya aparat penegak hukum sanggup menertibkan film-film  tidak lulus sensor di toko DVD, masih bisa dicari pula di situs berbagi video semisal youtube. Maka  peran LSF dalam melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film, mustahil berhasil tanpa diikuti oleh usaha penguatan sensor diri pada setiap individu.

LSF kerap disalahkan ketika meloloskan film yang dianggap tidak mendidik. Padahal, jika mencermati kondisi saat ini, baik diloloskan atau tidak diloloskan oleh LSF, film tersebut bisa diakses dengan mudah dan murah. Mungkin hal itulah yang memicu munculnya wacana pembubaran LSF.

Tentu bukan suatu solusi. Sederhana saja, dengan adanya LSF, kondisi perfilman sudah memprihatinkan, apalagi kalau tidak ada LSF. Sebagai contoh, Majelis Ulama Indonesia (MUI) kerap menyalahkan LSF ketika meloloskan film tidak mendidik. Tapi MUI menolak tegas wacana pembubaran LSF.

Artinya, keberadaan LSF tetap dibutuhkan. Bahkan kalau menelisik amanat UU Perfilman tahun 2009, posisi LSF bukan menjadi semacam ”polisi moral”, tetapi diharapkan hadir sebagai lembaga yang turut membangun peradaban bangsa. Bukan hanya terpaku pada adegan erotis dan berdarah-darah. LSF pun perlu lebih tajam dalam membaca substansi sebuah film. Perlu lebih teliti dalam mempertimbangkan pengaruh film terhadap keberadaan local genius dan local colour  bangsa Indonesia.



Tentu saja LSF tidak serta-merta langsung menolak karya para insan perfilman, khususnya di dalam negeri, jika dianggap tidak layak untuk dipertontonkan. Sebab, di sisi lain LSF juga dituntut untuk turut serta memajukan perfilman nasional. Ada opsi dialog yang bisa ditempuh antara LSF dengan produsen film nasional, sesuai dengan amanat UU Perfilman 2009. Hal ini lebih menegaskan lagi, bahwa LSF bukan menjadi lembaga tukang jagal kreativitas insan perfilman, melainkan mitra bagi para produsen film. Itulah sebabnya di dalam kelembagaannya, LSF perlu melibatkan anggota yang memahami skenario, mengerti alur,  tahu plot, dan mengenal dunia film.

            Berdiri di antara masyarakat dan produsen film, LSF harus turut serta dalam membangun masyarakat Indonesia yang apresiatif, cerdas, dan menumbuhkan kebanggaan akan nilai-nilai budaya demi mempertahankan persatuan Indonesia. Untuk mencapai hal itu, langkah-langkah yang bisa ditempuh oleh  LSF diantaranya menjalin hubungan harmonis dengan masyarakat, insan perfilman, penggiat perfilman, dan pengusaha perfilman dalam menjalankan penyensoran, dengan  bersikap terbuka, transparan, dan selalu membuka ruang untuk berdialog ketika memecahkan suatu permasalahan.

Kaitannya sebagai mitra bagi para produsen film nasional, LSF juga harus lebih mempermudah birokrasi dalam penyensoran film, dan meningkatkan kualitas penelitian dan penilaian. Kalau bisa dipermudah, kenapa harus dipersulit? Dengan semangat itu, maka birokrasi dalam penyensoran bisa lebih disederhanakan. Namun tidak berarti sederhana dalam penelitian dan penilaiannya. Dengan diberlakukannya sistem bekerja penuh waktu, tidak ada alasan bagi LSF untuk tidak teliti dalam menilai film. LSF yang dituding sebagai ”sarang pungli”, harus intropeksi diri. Kalau memang terbukti banyak pungli sebagaimana disampaikan oleh salahseorang sineas film senior, maka pungli itu harus dimusnahkan di dalam proses penyensoran.

Sementara itu, untuk mengedukasi masyarakat, LSF perlu merekomendasikan film-film bermutu, berdasarkan hasil penelitian dan penilaian terhadap film. Dalam memilih film bermutu, LSF bisa melakukannya dengan selektif. Ketika masyarakat sudah dekat dengan LSF, lalu LSF merekomendasikan film bermutu, maka dipastikan masyarakat akan menyambutnya dengan baik.

LSF juga perlu membuat database yang lengkap dan terpadu, berkenaan dengan informasi film-film yang sudah dinyatakan lolos sensor. Website LSF perlu diperbaiki agar lebih friendly, dengan dilengkapi link ke media sosial seperti facebook, twitter, instagram, dan lain-lain. Hal ini  sangat penting untuk menunjukkan  sikap LSF terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan mendukung keterbukaan informasi.

Dan tentu saja LSF harus pro aktif bekerjasama dengan lembaga lain atau perorangan untuk berbagai kegiatan dalam meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap film. Di dunia maya, misalnya, ada banyak blogger yang seccara sukarela turut melakukan penyensoran film, dengan cara merekomendasikan film-film bermutu. Mereka perlu dirangkul dan didengar suaranya untuk lebih mengukuhkan peran LSF di tengah masyarakat. Dengan adanya sinergitas yang harmonis antara berbagai pihak, bisa dipastikan dapat menemukan berbagai solusi dalam memajukan film nasional dan meningkatkan apresiasi masyarakat Indonesia.***


Dimuat di Harian Pagi TRIBUN JABAR, 29 Juli 2015

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post