Sensor Mandiri, dari Pra Produksi hingga Siap Saji

Oleh M. SUDAMA


Keluarga Yang Baik Membutuhkan Tontonan yang Baik
TERUTAMA di pedesaan, pada tahun 1980-an televisi masih sangat jarang. Hanya orang-orang tertentu yang di rumahnya mempunyai televisi. Itupun rata-rata masih hitam putih. Maka menonton tayangan televisi menjadi pengalaman yang langka dan “mahal”. TVRI adalah satu-satunya stasiun televisi yang bisa dinikmati. Jadi, meski tidak banyak yang punya pesawat televisi, tetapi jadwal tayangan begitu melekat di hati.

Anak-anak akan berembuk menentukan pintu rumah siapa yang akan diketuk, untuk bersama-sama menonton serial boneka Unyil atau klip lagu-lagu anak. Menonton bersama dengan bergembira, sesuai dengan klasifikasi usia tontonan. Anak-anak menonton tayangan yang cocok dikonsumsi oleh anak. Maka anak-anak pun mendendangkan lagu yang liriknya sesuai dengan usia anak. Lagu-lagu anak, yang kini disebut ”lagu odong-odong”, karena sampai hari ini diputar dengan volume tinggi pada kendaraan mainan balita. Itulah lagu lama anak-anak yang sulit tergantikan, karena kurang terjaganya re-generasi kreator lagu anak-anak.

Kini, hampir semua rumah dilengkapi televisi, termasuk di pedesaan. Berwarna pula. Ratusan stasiun televisi bersaing menawarkan berbagai mata acara yang menggairahkan mata. Mata anak-anak hingga mata lanjut usia. Lembaga Sensor Film (LSF) melakukan penyensoran terhadap berbagai mata acara yang akan disiarkan televisi. Untuk tayangan yang lolos sensor, sekaligus ditentukan pula klasifikasi usianya, yang mengacu pada UU Perfilman Tahun 2009, terutama Bab III, Pasal 7. Yakni, tayangan untuk  Semua Umur (SU), 13 Tahun Keatas, 17 Tahun Keatas, dan 21 Tahun Keatas.

Setiap hari, ada ratusan tayangan yang harus disensor oleh LSF, meliputi tayangan untuk berbagai stasiun televisi, bioskop, dan palwa (penjualan dan penyewaan dalam bentuk cakram DVD). Dari semua itu, sangat minim tayangan yang cocok untuk dikatagorikan sebagai tontonan SU, atau dalam kata lain layak untuk disaksikan oleh anak-anak yang berusia dibawah 13 tahun. Sebut saja hiburan yang mendidik untuk anak-anak. Selain Laptop Si Unyil, Si Bolang, dan beberapa judul film kartun, begitu sulit mendapatkan tontonan hiburan yang layak untuk anak-anak. Bahkan beberapa judul film kartun terpaksa dikatagorikan 13 tahun keatas, karena kontennya banyak mengandung kekerasan, yang dikhawatirkan akan ditiru oleh anak-anak.

Serial sinetron didominasi oleh tayangan untuk 13 tahun keatas dan 17 tahun keatas. Apalagi klip lagu anak, sangat jarang ditemukan lagi. Wajar jika dalam kompetisi menyanyi, anak-anak melantunkan lagu bertema remaja bahkan dewasa. Termasuk film untuk bioskop, film anak-anak hampir tidak nampak atau setidaknya terbilang jarang.

Minimnya produksi film anak dari para sineas Indonesia, sangat menguntungkan produsen film impor. Salahsatu indikasinya bisa terlihat jelas di tengah-tengah masyarakat. Anak-anak tergila-gila pada pernak-pernik yang bergambar Minion atau tokoh dalam film Frozen, misalnya. Padahal, pada tahun 1980-an, tokoh Si Unyil benar-benar menjadi tuan rumah di negeri sendiri, ketika anak-anak sangat bangga mengenakan kaos bergambar Si Unyil. Bandingkan sekali lagi dengan sekarang, ketika anak-anak begitu berbunga-bunga mengenakan baju, tas, sepatu, bahkan mukena yang bergambar Elsa dan Anna dalam tokoh film yang diproduksi Walt Disney Animation Studios.

Keluarga yang baik sangat membutuhkan tontonan yang baik. Sementara tradisi nonton bersama-sama dengan anggota keluarga sudah langka, apalagi nonton bareng tetangga. Sebab, pesawat televisi semakin mudah didapati. Di satu rumah bisa saja dilengkapi lebih dari satu pesawat televisi. Anak-anak menonton sendiri,  orangtua asyik sendiri. Padahal anak-anak masih perlu mendapat bimbingan dalam menentukan mata acara yang akan disaksikan. Jika ada anak-anak yang menonton tayangan televisi diatas jam 23, maka peran orangtua di tengah keluarga perlu dimainkan. Sebab, sudah tertera dalam aturannya, bahwa tayangan untuk 21 tahun, diperbolehkan diputar di televisi dengan syarat harus diatas pukul 23.00 WIB.





Bercermin Pada Tragedi Yuyun
MARI kita mengingat kembali sebuah tragedi di negeri ini yang terjadi beberapa bulan lalu. Manusia yang bernurani tentu akan turut berempati pada tragedi yang menimpa saudara kita, Yuyun. Seorang siswi kelas II SMPN 5 Satu Atap, Kecamatan Padang Ulak Tanding, Rejang Lebong, Bengkulu, yang menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan. Semoga almarhumah Yuyun mendapat tempat mulia di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa. Tragedi yang menimpa Yuyun benar-benar membuat bangsa ini terpukul. Bangsa Indonesia menangis. Sungguh biadab, bengis, keji: 14 orang pelaku pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun.

Ketika Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menemui para pelaku pemerkosaan tersebut, terungkaplah pengakuan 12 tersangka yang mengakui bahwa perbuatan bejat itu dipicu oleh  minuman keras. Selain itu, mereka, para tersangka, mengakui kecanduan nonton video porno. Mereka menonton video porno melalui DVD dan atau mengaksesnya dari internet melalui telepon genggam. Demikian sebagaimana yang dilaporkan portal berita kaltim.tribunnews.com.

Yuyun merupakan siswa yang cerdas, rajin, dan bersemangat. Setiap hari, Yuyun berjalan kaki dari rumahnya menuju sekolah. Jaraknya kurang-lebih 3 KM. Untuk menuju sekolah, Yuyun harus melewati areal perkebunan karet. Dari kondisi itu, kita bisa membayangkan minimnya sarana dan prasana transportasi di sana. Meski demikian, perkembangan teknologi informasi sudah beberapa langkah lebih maju. Buktinya, berdasarkan pengakuan para tersangka, mereka sudah terbiasa mengakses video porno di internet. Transportasi boleh minim, tapi jutaan konten tayangan sudah lebih cepat menembus areal perkebunan karet, hingga memasuki rumah-rumah penduduk, bahkan langsung ke dalam kamarnya masing-masing.

Para psikolog menyampaikan tanggapan mengenai pengaruh tontonan terhadap masyarakat. Anak-anak sangat mudah meniru perilaku yang disaksikannya, sehingga terjadilah berbagai macam kasus yang memprihatinkan. Sebelum mencuatnya kasus 2 April 2016 yang menimpa korban Yuyun, berbagai kasus kejahatan seks pernah terjadi, dan banyak diantara para pelakunya mengaku terinspirasi oleh tontonan yang pernah atau sering dilihatnya.

Film sering kali dijadikan semacam ”kambing hitam” ketika terjadi kasus asusila yang menghebohkan. Apalagi jika tiba-tiba si pelaku mengaku kecanduan nonton film. Bersahutanlah aneka hujatan masyarakat yang dialamatkan terhadap film. Mungkin benar si pelaku terinspirasi oleh film yang telah ia tonton, tetapi film seperti apa? film porno jelas tidak akan bisa mendapatkan Surat Tanda Lolos Sensor (STLS). Perilaku sadis dan berbagai warna jahiliyah sudah terjadi di muka bumi, jauh hari sebelum hadirnya tayangan film. Artinya, pengaruh negatif dari film memang ada, tetapi bukan satu-satunya pemicu tindak kejahatan. Tidak ada yang bisa menjamin jika tidak menonton film, ia tidak akan melakukan tindak kejahatan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah merilis hasil survei mengenai akses anak-anak terhadap pornografi yang mencapai 97%. Sungguh begitu longgar. Selain itu, tentu saja sangat berbahaya. Sebab, jika dikaitkan dengan pendapat para psikolog mengenai pengaruh tontotan terhadap perilaku, maka 97% anak-anak berpotensi melakukan perbuatan yang serupa dengan para pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap Yuyun. Sebagaimana telah diketahui, bahwa diantara para tersangka perbuatan keji terhadap Yuyun, usianya ada yang baru 16 tahun.

Usia 16 tahun menurut UU Perfilman No. 33 Tahun 2009, tergolong pada usia remaja. Sebagaimana dipaparkan dalam UU Perfilman Pasal 7, penggolongan usia penonton film  dikatagorikan: untuk penonton semua umur (SU), penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih, penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, dan  penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih. Adapun yang memiliki wewenang untuk menentukan penggolongan usia penonton adalah Lembaga Sensor Film (LSF), sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 8, huruf (a), Peraturan Pemerintah (PP) No. 18, Tahun 2014.

Untuk kaum remaja yang digolongkan pada usia 13 tahun keatas, dipaparkan dalam Pasal 34, PP 18, tahun 2014. Yakni, film dan iklan film digolongkan untuk penonton usia 13 (tiga belas) tahun atau lebih apabila memenuhi kriteria: (a). mengandung nilai pendidikan, budi pekerti, apresiasi, estetika, kreatifitas, dan pertumbuhan rasa ingin tahu yang positif; (b) berisi tema, judul, adegan visual serta dialog dan/ atau monolog yang sesuai dengan penonton berusia peralihan dari anak-anak ke remaja; dan/atau (c). tidak menampilkan adegan yang peka untuk ditiru oleh usia peralihan dari anak-anak ke remaja seperti adegan berbahaya serta adegan pergaulan bebas antar manusia yang berlainan jenis maupun sesama jenis.

Jadi, jika Er (16), tersangka pelaku pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun mengaku keranjingan menonton video porno, menjadi bukti betapa pentingnya membangun budaya sensor mandiri sejak dini. Untuk menanamkan sensor mandiri, tidak cukup hanya dilakukan oleh Er, melainkan dibutuhkan pula peran orangtua. Bagi yang memiliki anak seusia Er, atau yang berusia antara 13-16 tahun, kriteria tontonan yang layak untuk dikonsumsi adalah sebagaimana yang dipaparkan dalam Pasal 34, PP 18, tahun 2014.

Para tersangka lainnya ada yang berusia 17, 18, 19, dan 20 tahun. Kalau mengacu pada pasal 35 PP 14 Tahun 2014, disebutkan bahwa film dan iklan film digolongkan untuk penonton usia 17 (tujuh belas) tahun atau lebih apabila memenuhi kriteria: (a). mengandung nilai pendidikan, budaya, budi pekerti, apresiasi, estetika, dan/ atau pertumbuhan rasa ingin tahu yang positif; (b). berisi tema, judul, adegan visual serta dialog dan/ atau monolog yang sesuai dengan penonton berusia 17 (tujuh belas) tahun ke atas; (c). berkaitan dengan seksualitas yang disajikan secara proporsional dan edukatif; (d). berkaitan dengan kekerasan yang disajikan secara proporsional; dan/atau (e). tidak menampilkan adegan sadisme.

Ini juga merupakan salahsatu peringatan kepada para orang tua yang anak-anaknya mulai beranjak dewasa. Diperbolehkan menonton film yang berkaitan dengan seksualitas atau kekerasan, tetapi yang disajikan dengan proporsional dan edukatif, tetapi tetap tidak boleh menonton tayangan yang sadis. Misalnya, cerita tentang kesucian pernikahan, ketertarikan seorang pria kepada wanita atau sebaliknya yang dibalut dengan cinta kasih dan saling menjaga kehormatan, bagaimana bahayanya penyakit menular akibat dari pergaulan bebas, dan cerita-cerita positif lainnya. Dengan mengkonsumsi tayangan yang sesuai dengan kriteria usianya, rasanya tidak mungkin dapat mendorong atau menginspirasi seorang remaja yang beranjak dewasa untuk melakukan perbuatan tercela.

Bahkan tayangan untuk penonton berusia 21 tahun ke atas pun, tidak diperkenankan menampilkan tayangan yang menonjolkan pornografi. Sebagaimana yang bisa kita simak dalam pasal 36, PP No. 18, Tahun 2018, dipaparkan bahwa film dan iklan film digolongkan untuk penonton usia 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih apabila memenuhi kriteria: (a). judul, tema, adegan visual, dan/ atau dialog dan/ atau monolog yang ditujukan untuk orang dewasa; (b). tema dan permasalahan keluarga; (c). adegan visual dan dialog tentang seks serta kekerasan dan sadisme tidak berlebihan. Ingat, disebutkan bahwa seks serta kekerasan dan sadisme TIDAK BERLEBIHAN. Demikian pula, untuk penayangannya diatur sangat ketat, untuk televisi hanya  boleh ditayangan setelah pukul 23.00 sampai dengan pukul 03.00 waktu setempat. Sedangkan untuk pertunjukan hanya di gedung bioskop, kecuali untuk kegiatan apresiasi film atau pertunjukan film untuk tujuan pendidikan dan/ atau penelitian.

Dari semua paparan dalam PP No. 18 Tahun 2014, mengacu pada UU Perfilam 2009, yang secara tegas menolak segala bentuk penayangan film yang menonjolkan pornografi dan kekerasan. Lebih rincinya, sebagaimana disebutkan pada pasal  6, bahwa film yang menjadi unsur pokok kegiatan perfilman dan usaha perfilman dilarang mengandung isi yang:
  1. mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
  2. menonjolkan pornografi;
  3. memprovokasi terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antar-ras, dan/atau antargolongan;
  4. menistakan, melecehkan, dan/ atau menodai nilai-nilai agama;
  5. mendorong khalayak umum melakukan tindakan melawan hukum; dan/atau
  6. merendahkan harkat dan martabat manusia.

Ini berlaku untuk semua golongan usia. LSF tidak akan pernah meloloskan film yang mengandung hal-hal sebagaimana dipaparkan dalam pasal 6 UU Perfilman 2009. Bahkan untuk katagori usia 70 tahun keatas pun, LSF tidak akan pernah meloloskannya.

Jika untuk katagori 13+, 17+, dan 21+ sudah begitu ketat. Apalagi untuk tontonan semua umur. Dalam Pasal Pasal 33, PP No. 18 Tahun 2014, disebutkan bahwa film dan iklan film digolongkan untuk penonton semua umur apabila memenuhi kriteria:
  1. dibuat dan ditujukan untuk penonton semua umur dengan penekanan pada anak-anak;
  2. berisi tema, judul, adegan visual, serta dialog dan/atau monolog sesuai usia dan tidak merugikan perkembangan dan kesehatan fisik dan jiwa anak-anak;
  3. mengandung unsur pendidikan, budaya, budi pekerti, hiburan sehat, apresiasi estetika dan/atau mendorong rasa ingin tahu mengenai lingkungan;
  4. tidak mempertontonkan adegan kekerasan, baik fisik maupun dialog dan/atau monolog, yang mengakibatkan mudah ditiru/diikuti oleh anak-anak;
  5. tidak mempertontonkan adegan yang memperlihatkan perilaku atau situasi membahayakan yang mudah ditiru/diikuti oleh anak-anak;
  6. tidak mengandung adegan visual dan/atau dialog dan/ atau monolog yang dapat mendorong anak meniru perilaku seks, bersikap tidak sopan kepada orang tua dan/atau guru, memaki orang lain dan/ atau menggunakan kata-kata kasar serta adegan anti sosial seperti tamak, licik, dan/ atau dusta;
  7. tidak mengandung muatan yang membuat anak-anak percaya kepada klenik atau ilmu gaib/perdukunan, spiritual magis, mistis, dan tahayul yang bertentangan dengan norma agama;
  8. tidak mengandung adegan visual horor dan sadis; dan/atau
  9. tidak menampilkan adegan visual, dialog, dan/ atau monolog yang dapat mengganggu perkembangan jiwa anak seperti perselingkuhan, bunuh diri, perjudian, penggunaan narkotika dan zat adiktif lainnya.


Untuk film dan iklan film yang ditayangkan melalui televisi, selain ditentukan peruntukan usia penontonnya, ada pula regulasi yang mengatur jam tayang secara lebih rinci. Sebab, dalam UU Perfilman 2009, hanya mengatur jam tayang bagi tontotan usia 21 tahun keatas, yakni hanya boleh ditayangkan pada pukul 23.00 sampai dengan 03.00 waktu setempat. Dalam hal ini, klasifikasi usia yang telah diputuskan oleh LSF, disambut oleh lembaga penyiaran dengan cara menyesuaikan jam tayangnya.

Maka masyarakat pun perlu untuk mendukungnya dengan membangun budaya sensor mandiri. Misalnya, seseorang yang baru berusia 17-20 tahun, perlu memiliki kesadaran untuk tidak menyaksikan tontonan yang diperuntukkan bagi 21 tahun keatas. Di sinilah peran orang tua di rumah sangat signifikan untuk senantiasa memantau tontonan yang dikonsumsi oleh anggota keluarganya. Bagi anak-anak yang berusia 16 tahun ke bawah, masih memerlukan bimbingan orang tua dalam memilih dan memilah tayangan. Tidak membiarkan anak-anak menonton televisi pada pukul 23.00, merupakan salahsatu usaha dalam membangun sensor mandiri.

Demikian pula tayangan yang dihadirkan di bioskop. Para pengelola bioskop sudah mematuhi pengelompokan usia yang dikeluarkan oleh LSF, dengan mencantumkan penggolangan usia pada setiap film yang ditayangkan. Artinya, pengelola bioskop, tidak diperkenankan menjual tiket kepada penonton yang tidak sesuai dengan klasifikasi usia tontonannya. Masyarakat pun perlu memiliki kesadaran untuk senantiasa mematuhi penggolongan usia dalam menonton film di bioskop. Menonton film yang sesuai dengan katagori usianya.

Lantas, bagaimana dengan peredaran DVD dan konten internet? Inilah tantangan yang harus dihadapi bersama. LSF menyensor DVD yang akan disewakan dan atau diperjualkan (Palwa). Tidak jarang LSF menolak tayangan dalam palwa yang tidak sesuai dengan kriteria penyensoran. Bagi yang lolos sensor, LSF mengeluarkan Surat Tanda Lulus Sensor (STLS), yang disertai dengan penggolongan usia penontonnya. Maka dalam hal ini pun perlu ada kesadaran dari pengusaha palwa dan masyarakat pembeli, untuk senantia memperhatikan klasifikasi usia yang telah ditentukan LSF. Pengusaha palwa tidak diperkenankan menjual atau menyewakan DVD yang berisi konten 21 tahun kepada remaja, apalagi anak-anak. Demikian pula sebaliknya, para pembeli pun perlu menanamkan kesadaran untuk membeli atau menyewa DVD yang sesuai dengan usianya, terlebih lagi menontonnya.

Lalu, bagaimana dengan internet? Hampir tak bisa dibedakan lagi ketika di layar pesawat televisi menayangkan film yang disiarkan melalui stasiun televisi atau menggunakan internet. Terutama di tempat-tempat tertentu yang akses internetnya berjalan dengan stabil, sehingga tayangan tidak tersendat-sendat. Inilah generasi pesawat televisi yang merespon perkembangan teknologi informatika. Pesawat televisi tidak hanya bisa menangkap siaran dari stasiun penyiaran televisi, melainkan bisa terhubung langsung ke internet.

Persaingan untuk mencuri perhatian mata manusia semakin meruncing. Di layar yang sama, stasiun televisi harus bersaingan ketat dengan jutaan tayangan yang siap putar di internet. Jutaan portal dan vlog berlomba-lomba menampilkan tayangan memikat di dunia maya. Bahkan ada diantaranya yang secara khusus menampilkan konten aneka video yang diupload oleh masyarakat seantero jagat. Misalnya dalam situs berbagi video youtube. Jenis kontennya, ada yang berupa film, iklan film, news, dan lain sebagainya.

Beberapa waktu yang lalu, muncul juga sebuah situs yang menawarkan layanan streaming video dengan konten film dan tv series, yang dikenal dengan nama netflix. Sejak tahun 1997, Netflix sudah beroperasi di dunia maya. Ratusan ribu judul film dan tv series disediakan untuk para member. Dan beberapa waktu yang lalu, Netflix telah merambah ke Indonesia.

Maka muncullah pertanyaan: apakah film yang ditayangkan melalui situs netflix atau website sejenisnya harus disensor? Tentu jawabannya sudah begitu jelas sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman. Dalam Pasal 57 ayat (1) disebutkan bahwa setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/ atau dipertunjukkan wajib menperoleh surat tanda lulus sensor. Kemudian, dijelaskan dalam PP No. 18 Tahun 2014, bahwa yang dimaksud pertunjukkan film adalah pemutaran dan/ atau penayangan film yang diperuntukkan kepada umum melalui berbagai media. Lebih jelas lagi disebutkan pula pada Pasal 24 ayat (1), bahwa setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/ atau dipertunjukkan kepada khalayak umum wajib disensor terlebih dahulu oleh LSF.

Undang-undang telah menjawabnya dengan tegas, bahwa film dan iklan film yang memasuki wilayah teritorial Indonesia, baik melalui darat, laut, maupun udara, harus melewati proses penyensoran. Adapun media yang digunakan untuk penayangannya  mencakup media apapun yang bisa digunakan untuk pertunjukan atau penayangan film dan iklan film, termasuk media internet.

Kata ”wajib” yang ditegaskan dalam Undang-undang Perfilman dan PP Tentang LSF merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Dengan kata lain, jika prosedur tersebut tidak dilalui, maka pelaku kegiatan perfilman dan/ atau pelaku usaha perfilman bisa mendapatkan sanksi. Ini merupakan komitmen pemerintah dalam melindungi masyarakat dari pengaruh negatif film dan iklan film, sebagaimana dipaparkan dalam UU Perfilman Pasal 57, ayat (3).  Di sisi lain yang sama penting, pemerintah juga senantiasa berkomitmen untuk memajukan perfilman nasional.

Melalui LSF, sebuah film atau iklan film akan dinyatakan lulus atau tidak lulus sensor. Jika lulus sensor, akan diklasifikasikan katagori usia penontonnya. Bisa digolongkan untuk kalangan penonton Semua Umur (SU), penonton berusia 13+, penonton berusia 17+, atau penonton berusia 21+.

Bagaimana dengan film dan iklan film yang ditayangkan di internet? Meski sudah digolongkan peruntukan usia penontonnya, tetapi internet bisa diakses kapan saja dan dimana saja selama tersedia jaringannya. Di internet, film yang digolongkan untuk penonton berusia 21+ pun dapat ditonton pagi atau siang hari. Maka di sinilah pentingnya sensor mandiri. Dalam menjalankan sensor mandiri, tentu saja LSF perlu mendapat dukungan masyarakat. Peran orangtua, guru, tokoh masyarakat, dan elemen masyarakat lainnya, sangat dibutuhkan dalam mensyiarkan sensor mandiri. Terutama anak-anak, sangat membutuhkan bimbingan orang tua dalam memilih dan memilah sebuah tayangan yang akan disaksikan. Menonton film sesuai dengan peruntukkan usia penontonnya, dan tidak perlu ragu untuk menolak film yang tidak memiliki Surat Tanda Lulus Sensor (STLS).

Berdasarkan pengakuan para pelaku pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun, mereka mengaku keranjingan menonton video porno melalui DVD dan internet. Faktanya memang peredaran DVD begitu longgar, terlebih lagi akses internet.  Ketika handphone tersambung ke internet, siapapun dan anak seusia berapapun bisa dengan leluasa berselancar di dunia maya, dan menepi di situs-situs terlarang. Konten-konten negatif banyak bertebaran di dunia maya, disamping tentu saja tak sedikit yang positif. Tinggal bagaimana membangun kesadaran dalam memilih dan memilahnya, serta peran orang tua dalam membimbing anggota keluarganya.

Berkaitan dengan pelaku pemerkosaan dan pembunuhan Yuyun, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mengatakan bahwa orang tua pelaku pun terancam pidana 3 tahun penjara dan denda Rp 70 juta. Demikian seperti dilaporkan oleh situs berita tempo.co. Orang tua berkewajiban mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 26, butir (a) UU Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002. Jika begitu adanya, membimbing dan mengarahkan anak-anak dalam memilih dan memilah tontonan pun merupakan kewajiban. Sebab dengan membiarkan anak-anak menonton tayangan sesukanya, bisa saja tergolong suatu kelalaian orangtua.

Setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan/ atau dipertunjukkan wajib memperoleh surat tanda lulus sensor. Itulah amanat Pasal 57 ayat (1) UU Perfilman 2009. Maka, jika melihat tayangan pada media apapun yang tidak memiliki STLS, berarti tayangan tersebut ilegal. Dan tentu saja, LSF tidak akan pernah meloloskan konten pornografi yang diedarkan melalui media apapun. LSF hanya meloloskan film-film yang tidak bertentangan dengan amanat UU Perfilman 2009 dan PP No. 18 Tahun 2014.

Film tidak boleh hanya diwaspadai dari pengaruh negatifnya, karena pengaruh postifnya  justru lebih banyak. Banyak masyarakat penonton yang mendapatkan pengetahuan dan pengalaman berharga dari film yang ditonton. Film bermutu bisa menginspirasi masyarakat penontonnya untuk melakukan perilaku yang lebih baik. Lebih taat beribadah, lebih patuh kepada orang tua, mencintai sesama manusia, menghormati perbedaan, menumbuhkan rasa patriotisme, nasionalisme, dan berbagai hal positif lainnya.

Pengaruh positif dari film justru lebih dominan. Sebagai salah satu buktinya, hal itu telah diakui secara jelas dalam pemaparan dasar pertimbangan lahirnya UU Perfilman Tahun 2009. Dasar pertimbangan itulah yang senantiasa tertanam di benak seluruh anggota LSF dan Tenaga Sensor, dalam menjalankan amanat UU Perfilman Tahun 2009 dan PP No. 18 Tahun 2014.

Mari kita buka kembali, dalam dasar pertimbangan lahirnya UU Perfilman Tahun 2009, disebutkan bahwa film sebagai karya seni budaya, memiliki peran strategis dalam peningkatan ketahanan budaya bangsa dan kesejahteraan masyarakat lahir batin untuk memperkuat ketahanan nasional.

Selanjutnya, film juga diakui sebagai media komunikasi massa yang merupakan sarana pencerdasan kehidupan bangsa, pengembangan potensi diri, pembinaan akhlak mulia, pemajuan kesejahteraan masyarakat, serta wahana promosi Indonesia di dunia internasional.

Kemudian ditegaskan bahwa film dalam era globalisasi dapat menjadi alat penetrasi kebudayaan sehingga perlu dijaga dari pengaruh negatif yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila dan jati diri bangsa Indonesia.

Maka dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang LSF, rasa cinta terhadap film dan semangat untuk turut serta memajukan perfilman nasional selalu tertanam di benak anggota dan tenaga sensor. LSF tidak lagi memotong film atau iklan film, apabila terdapat adegan atau dialog yang bertentangan dengan kriteria penyensoran. Revisi terhadap film atau iklan film dilakukan oleh pemilik film.

Dengan mekanisme tersebut, tentu saja untuk ke depannya diharapkan seluruh film dan iklan film yang singgah ke LSF, bisa langsung lulus sensor, tanpa harus direvisi terlebih dulu. Dengan berjalannya mekanisme dialog antara LSF dan pemilik film, merupakan salah satu upaya dalam membangun masyarakat sensor mandiri.

Terwujudnya masyarakat sensor mandiri, sangat bergantung pada sejauh mana dukungan berbagai komponen masyarakat. Baik itu produsen film maupun para penikmat film. Sejak praproduksi, sebuah film sudah bisa disiapkan untuk ditonton oleh golongan usia tertentu. Apakah itu semua Umur, 13+, 17+, atau 21+.

Self Censorship perlu didasari oleh kesadaran dari para produsen film, untuk senantiasa turut berpartisipasi dalam membangun bangsa yang berkarakter. Sejak dalam proses penulisan skenario, seorang penulis sudah bisa melakukan sensor mandiri. Sutradara bisa melakukan sensor mandiri. Dan tentu saja yang paling berpengaruh adalah produser.

Ketika film sudah siap saji, masyarakat penonton diharapkan memiliki kesadaran untuk memilah dan memilih tontonan yang sesuai dengan klasifikasi usianya. Pemimpin keluarga dapat menyaring film-film yang diperkenankan memasuki rumahnya. Bahkan kalau merujuk pada UU No. 33 Tahun 2009, masyarakat itu diwajibkan mematuhi klasifikasi usia. Buka Pasal 46, huruf e, yang secara jelas disebutkan bahwa masyarakat berkewajiban mematuhi ketentuan tentang penggolongan usia penonton.

Jika peran film dikatakan sangat strategis, maka film harus benar-benar diusung menjadi sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan pembinaan akhlak mulia, bukan sekedar hiburan semata.***

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post