kutatap hamparan di tanah serambi mekah
tak kutemukan lagi, rona wajahmu nan riang
kepedihan, luka menyayat jiwa, warnai rona manusia
entah di mana rona wajahmu, Rona…Cut Rona
AMARAHKU: seandainya tsunami itu
nama seorang manusia, akulah yang akan mencabik-cabik dan membunuhnya. Jika ia
nama binatang, aku pula yang akan memburu dan menyembelihnya. Kalau nama
pepohonan, aku pun yang akan menebangnya, membakar, dan memakan abunya. Bahkan
meskipun ia nama sebangsa iblis, siluman, atau dedemit, akan kuratakan
semuanya! Apa lagi yang kutakuti saat
ini? Sebab, aku hanya takut kehilangan Cut Rona.
“Tsunami bukan
sebangsa makhluk yang bernyawa, kawan. Tsunami artinya gelombang laut yang
menerjang pelabuhan. Ia berasal dari bahasa Jepang, yang kemudian dipakai secara
internasional dalam ilmu kebumian. ” kata Ilham sambil menerawang ke arah
pantai. Sejak tadi, Ilham selalu mengomentari setiap ucapanku.
“Ya, aku tahu.
Tapi sebaiknya, kau tidak lagi mengomentari ucapanku. Biarkan aku mengumbar
amarahku, sebelum kita mati bersama-sama, di sini!” ucapku dengan nada
menggebu, membuat Ilham pun berdiam diri. Hanya kedua bola matanya yang tampak
memendam jutaan cerita, atas jutaan nyawa yang diterjang tsunami.
Jutaan,
menurut Ilham. Karena ia tahu betul jejak sejarah tsunami di jagat raya, sejak
masa silam. Betapa tidak, ia adalah seorang sarjana lulusan Geofisika dan Meteorologi ITB (Institut
Teknologi Bandung). Kata Ilham, tsunami
bukan untuk pertama kalinya terjadi, khususnya di bumi Indonesia. Sekitar tahun
1883, ketika Gunung Krakatau meletus, reruntuhannya menimpa laut, dan
mengakibatkan gelombang dahsyat yang menyapu pesisir Banten dan Lampung. Ribuan
nyawa pun melayang di tangan tsunami.
Bukan hanya
itu! Tsunami benar-benar telah merajalela di bumi Indonesia. Ilham punya
catatan penting mengenai tsunami, seperti yang terjadi pada tanggal 14 Agustus 1968 di Mapaga;
tanggal 23 Februari 1969 di pantai barat
Sulawesi; tanggal 19 Agustus 1977 di Pantai Sumba; tanggal 18 Juli 1979 di
Flores; 17 Juli 1998 di pantai barat laut
Papua Nugini, dan lain sebagainya.
Aku sudah
begitu muak mendengar cerita Ilham. Sejak di perjalanan, sepanjang Bandung
menuju Aceh, Ilham hampir tidak henti-hentinya menuturkan sejarah tsunami dan
lembaga-lembaga yang berkaitan dengan tsunami. Lalu apa gunanya Ilham menyebutkan bahwa pada tahun 1977 telah
dibentuk Kelompok Kerja Tsunami Indonesia? Apa manfaatnya juga, Ilham
menuturkan pekerjaan berbagai lembaga, yang begitu sibuk melakukan penelitian
tentang penyebab terjadinya malapetaka tsunami?
“Lembaga-lembaga
itu hanya bisa ngomong setelah semuanya terjadi, bukan ngomong sebelumnya!”
serangku.
“Tapi
orang-orang yang berada di lembaga-lembaga itu, hanya manusia biasa, kawan.”
Ilham selalu membelanya. Lembaga-lembaga itu, semacam Badan Meteorologi dan Geofisika
(BMG), Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumber
Daya Alam (P3TISDA), Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
(DVMBG), atau apapun namanya. Aku tetap berharap agar semuanya dibubarkan.
Percuma, kalau hanya pintar mengukur kekuatan gempa bumi, bukan mengingatkan
bahaya yang akan terjadi.
“Kau juga
bekerja di BMG, kan?” tanyaku.
“Ya, benar…”
jawabnya, dengan rona wajah yang tak pernah berubah. Ia tetap dingin dan kaku,
tanpa gairah.
“Lantas,
kenapa kau tidak mengetahui bahaya yang mengancam tanah kelahiranmu sendiri?
Kenapa?”
“Aku
seharusnya melakukan penelitian di sini. Tapi…”
“Tapi apa?”
aku penasaran.
“Saat itu, aku
tidak mendapatkan izin, karena alasan keamanan. Kau juga pasti tahu, ketika
tanggal 19 Méi 2003, darurat militer mulai diberlakukan lagi!” mata Ilham
berapi-api. Hal itu pun membuat gejolak amarahku meninggi, teringat sebuah
nama; GAM, Gerakan Aceh Merdeka.
Kenapa di
tanah air yang sudah merdeka ini, masih ada yang ingin merdeka? Atau memang
selama ini rakyat Aceh belum mengecap makna kemerdekaan? Lantas, apa sebenarnya
yang dimaksud dengan merdeka atau kemerdekaan? Hasan Di Tiro, jelas cucunya
Teuku Chik Di Tiro, pahlawan nasional yang ikut berjuang untuk meraih
kemerdekaan Indonesia. Seharusnya ia bisa menikmati kemerdekaan, yang telah
diperjuangkan oleh kakeknya. Sulit dipahami. Sehingga aku pun menjadi kurang
yakin, apakah aku termasuk orang yang merdeka atau tidak merdeka?
Tentang
merdeka, biarlah kusimpan dulu. Sebab, yang paling kusesalkan adalah peperangan
antar saudara di tanah merdeka. Pertanyaan anak kecil; Apakah tak ada jalan
lain untuk memecahkan persoalan, selain berperang? Kenapa, kenapa, dan kenapa?
Pernah
tersirat dalam lamunanku, seandainya di tanah serambi mekah ini tidak ada
peperangan antar saudara, mungkin saja Ilham bisa melakukan penelitian.
Sekurang-kurangnya Ilham dapat memperhitungkan, bahwa di Republik Indonesia Enol Kilometer ini akan terjadi
bencana yang dahsyat. Rona tak akan hilang. Keluarga Ilham pun, mungkin akan selamat.
“Kau harus
mengundurkan diri, dari pekerjaanmu, Ilham…!” bisikku, ketika pesawat akan
mendarat di Bandara Blang Bintang.
“Benar, itu
jalan terbaik bagiku. Kalau perlu, aku pun akan mengundurkan diri, dari
kehidupan ini…” begitu jawabnya.
*
BARU kali ini kurasakan betapa
kematian dianggap hal yang sangat biasa. Sejak aku turun dari pesawat, telah
kurasakan suasana duka menyelimuti Bandar Udara Blang Bintang. Aku dan Ilham
berpisah. Ia akan mencari jejak keluarganya, sedangkan aku mau menelusuri Cut
Rona.
Sepanjang
jalan menuju Lambaro, kusaksikan ribuan jenazah bergelimpangan dengan rona yang
sama. Tentu saja aku sangat sulit mencari Rona. Aku pun bingung, kepada siapa
mesti bertanya, karena rona-rona wajah manusia pun hampir sama.
Aku telah
sampai di halaman Hotel Medan, yang terletak di kawasan Banda Aceh. Seorang
lelaki setengah baya, tampak sedang termenung, sambil sesekali menengadah,
menatap langit yang semakin kelam. Aku segera
menghampirinya, seraya menanyakan
Cut Rona.
“Rona?” ia
malah balik bertanya.
“Ya, Cut
Rona…” jawabku sambil memperlihatkan secarik kertas, alamat Rona; Jln. Syiah
Kuala Komplek YPUI Banda Aceh. Tampak ia mengerutkan keningnya. Aku segera
mengerti, berkenaan dengan alamatnya yang kurang jelas. Kuperlihatkan lagi
alamat neneknya; Jln. Imam Bonjol Lorong Halia No. 25, Seuneubok Kec. Johar
Pahlawan, Kab. Meulaboh, Aceh Barat. Sayang, ia tetap menggelengkan kepala
dengan rona yang tak berubah. Ia menyandar pada bangkai perahu nelayan. Sejenak
aku mengerutkan kening, kenapa ada perahu yang parkir di depan Hotel Medan?
Setahuku jarak antara Hotel Medan dan pantai, kurang-lebih 10 KM.
Selanjutnya,
aku mencari Rona, mengikuti langkah kaki yang tiada terarah. Entah berapa
kampung, berapa desa, berapa kecamatan, telapak kaki ini mencium tanah-tanah
yang berbau kematian; Bireun, Blang Nibong, Sawang, Puluk, Kuta Krueng, Mata
Ulim, Glumpang, Pie, Blang Mee Pulo Klat, Pidie, Blang Nibong, Berungin, dan
entah apa lagi namanya. Tak lupa, aku pun mencoba mencari jejak Cut Rona ke Rumah
Sakit Pemda Cut Meutia, Lhokseumawe. Tak ada. Aku hanya menemui rona-rona wajah
yang sama, tetapi buka Rona.
*
KENANGAN
bersama Rona memaksaku untuk mengusir semua ingatan lainnya. Hanya Rona yang
memenuhi relung kalbuku, nafasku, detak jantungku, dan semua sumsum ingatanku.
Cinta dan Rona.
Pertama kali
aku mengenalnya, ketika tengah berlangsung kegiatan ta’aruf di kampus
IAIN Sunan Gunung Djati. Saat itu, aku dan Rona sama-sama mahasiswa baru
angkatan 2001. Aku diterima di Fakultas Dakwah, sementara Rona di Fakultas
Adab. Memang beda fakultas, tetapi mataku cukup jeli untuk menemukan seorang
mahasiswi istimewa, lain daripada yang lainnya. Bukan hanya kecantikannya yang
membuat mataku dan mata hatiku tertarik. Aku lebih benyak memperhatikan sisi
lainnya, seperti kecerdasan dan keberaniannya. Ia pernah berdebat dengan
seorang dosen aqidah-filsafat, ketika menemukan persoalan yang tidak
sesuai dengan keyakinannya.
Dorongan untuk
mengenalinya semakin kuat. Sampai akhirnya aku mendapat kesempatan untuk
menemuinya. Saat itu, aku langsung mengajak berkenalan, sambil mengulurkan
tangan, mengajak bersalaman. Awalnya Rona hanya mengangguk, tanpa menerima
uluran tanganku. Namun aku segera mengerti, ketika kulihat seulas senyum dari
bibirnya. Ia hanya tidak mau bersentuhan tangan, bukan menolak perkenalanku.
“Namaku Cut
Rona,” ucapnya.
“O ya? Saya Teungku Asep.” Aku pun
segera memperkenalkan namaku, sedikit
bergurau.
Sejak itulah
aku sering bertemu atau berpapasan dengan Rona, pada kegiatan ta’aruf.
Terkadang aku sengaja mencari-cari kesempatan, agar bisa menemuinya. Tak akan
banyak basa-basi, memang aku mulai jatuh cinta pada Rona. Kendati
demikian, aku berusaha untuk
memendamnya, khawatir akan merusak hubungan persahabatan. Berlarut-larut
kusembunyikan perasaanku. Namun, apapun adanya, aku tak bisa terus-menerus
membendungnya.
Bada subuh,
setelah menyelesaikan kegiatan muhasabah dan solat subuh, aku
menemuinya, hanya untuk mengatakan cinta. Meskipun mulanya sempat ragu, tetapi
rasa itu menggedor-gedor dada, agar mulutku segera berucap. Aku nekat, dan
siap menerima segala macam resiko yang
akan terjadi. Sederhana; diterima atau ditolak.
Keraguan dan
kecemasan mulai terkikis habis, ketika Rona
menjawab pertanyaanku dengan selesai. Ia, ternyata memendam perasaan
yang sama. Ia juga, ternyata hampir tak mampu memendamnya. Mudah ditebak;
terwujudlah jalinan cinta. Selama menuntut ilmu di IAIN, aku dan Rona mempunyai
banyak kesempatan untuk saling mengenali, terutama berbagai kelemahan yang
dimiliki. Niatku kuliah memang untuk mencari ilmu, bukan mencari jodoh. Tapi
sebagai remaja yang normal, apa salahnya jika aku dan Rona mulai belajar
memaknai cinta, karena cinta itu adalah anugerah.
Cut Rona lahir
di Nanggroe Aceh Darussalam, tanggal 4 Desember 1984. Meskipun bertepatan
dengan ulang tahun GAM yang ke-8, tetapi keluarganya tidak ada yang mendukung
GAM. Bahkan secara pribadi, Rona menyesalkan GAM di tanah kelahirannya. Hal itu
berkenaan dengan keadaan yang selalu
tidak aman; kacau; dihinggapi rasa katakutan dan kecemasan.
Rona
bercerita, sebenarnya ia sudah masuk kuliah di IAIN Ar-Raniry. Namun setelah
ada kejadian yang menggemparkan, Safwan Idris, rektor IAIN Ar-Raniry yang
ditembak, tepatnya tanggal 16 Séptémber 2000, Rona merasa ketakutan. Akhirnya
Rona memilih berhenti kuliah, pindah ke Bandung, ikut saudaranya, dan daptar ke
IAIN Sunan Gunung Djati.
“Siapa sih, yang nembak Pa Safwan
itu?” tanyaku.
“Gak tahu.
Pokoknya baik itu GAM atau Militer Indonesia, malah saling tuding. Tidak ada
yang berani ngaku…” jawabnya, sama seperti halnya berita yang pernah kubaca
dari beberapa media massa.
Berbincang
dengan Rona memang mengasyikan. Ia benar-benar sosok mahasiswi cantik, cerdas,
lincah, dan berwawasan luas. Selain mendalami ilmu keagamaan, rupanya ia pun
tertarik pada masalah kebudayaan. Buktinya, ia pernah membahas masalah Rafa’i
Daboh, yang menurut bahasaku adalah seni debus. Kata Rona, seni debus hampir
sama dengan Rafa’i Daboh. Keduanya merupakan media kesenian yang dianggap layak
untuk menyebarkan agama Islam. Debus atau daboh, erat kaitannya dengan tarekat
Rifa’iyah, yang dibawa oleh Nurrudin Ar-Raniry ke Aceh, kurang-lebih abad ke-16.
Bahkan Rona mengetahui grup Rafa’i Daboh yang sampai saat ini masih eksis,
seperti Lempia Grup (Kota Banda Acéh),
Payung Meuapuy (Kabupaten Bireuen), Meureundam Dewi (Kabupatén Acéh Jaya),
Rapa’i Macam (Kota Sabang), Lestari Budaya (Kabupatén Acéh Selatan), Teratai
Putih (Kabupatén Simeuleu), dan lain sebagainya.
*
Ketika putus
asa menyelimuti relung jiwa, aku berdiri dalam bisu di halaman Masjid
Baiturrahman. Kutatap seorang lelaki yang tengah berdiri di puncak sebuah
rangka bangunan. Itulah Ilham, sahabatku. Aku pun segera beranjak dari halaman
masjid, seraya menemui Ilham. Sampai akhirnya aku metahui, bahwa Ilham telah
kehilangan orang tuanya, saudara-saudaranya, sahabatnya, kekasihnya, dan…
semangat hidupnya.
“Baiklah, kini
sudah saatnya aku melompat dari sini. Aku mau bunuh diri…!” tiba-tiba Ilham
berkata dengan lirih. Tanpa ragu-ragu, Ilham melompat untuk menyongsong
ajalnya. Kupejamkan mataku, ngeri. Tapi secepat itu pula, kubuka lebar-lebar.
Ada bisikan yang mengingatkanku; kenapa mesti ngeri atau takut? Bukankah di
sini, kematian sudah merupakan hal yang biasa? Bukankah aku pun mau melakukannya?
Ya, kini aku
tidak perlu gentar lagi. Akan kujalani kematian seperti Ilham, karena aku tidak
sanggup melalui kehidupan tanpa rona wajah Rona. Aku melangkah dengan pasrah.
“Tunggu…!” ada
teriakan dari belakangku. Suara yang ditujukan kepadaku.
“Il… Il…
Ilham?” aku hampir tidak percaya menyaksikan Ilham, yang sudah berdiri lagi di
hadapanku. Betapa cepatnya ia menjadi hantu gentayangan.
“Aku bukan
hantu, kawan. Aku masih manusia seperti kau…” Ilham seperti yang mengetahui
semua yang berkecamuk dalam dadaku.
“Tapi,
bukankah tadi kau telah bunuh diri?”
“Memang benar,
tadi aku telah berusaha untuk untuk bunuh diri. Tapi di bawah sana, sudah tak
ada lagi tempat untuk mati,”
“Apa?”
“Ya. Bukankah
kau juga telah melihat mayat yang bergelimpangan sepanjang jalan? Kau harus
percaya, bahwa kau juga tidak mungkin berhasil untuk bunuh diri. Tak ada lagi
tempat untuk mati!” tambahnya.
“Lalu? Apakah
kau akan berusaha lagi untuk bunuh diri?”
“Tidak. Justru
aku bersyukur, karena saat ini masih hidup. Berarti aku bisa menanyakan sesuatu
padamu, kawan…” kata Ilham, dengan rona wajah yang mulai berubah.
“Apa yang
ingin kau tanyakan?”
“Aku penasaran
pada sesumbarmu tadi. Jika tsunami
adalah manusia, kau akan membunuhnya. Jika tsunami adalah binatang, kau
akan menyembelihnya. Tapi, apa yang akan
kau lakukan, jika tsunami itu adalah Tuhan?”
Pertanyaan
Ilham membuatku terperanjat. Tubuhku serasa melayang tak tentu arah dan
terjerembab di atas kerasnya batu karang. Bibirku bergetar, mengucap istighfar. Ampuni aku ya Alloh...***
Panyileukan, 1 Muharam 1426 H
Komentar