Cerpen DHIPA GALUH PURBA
“Na,
mana surat balasannya? Kau bilang mau dibalas hari ini? Mana?” tanyaku saat
kami sudah berdiri berdampingan.
Entah
apa yang salah dengan pertanyaanku. Yang pasti, pertanyaan itu membuat wajah Na
memerah. Bahkan pertanyaan itu pula yang membuatnya berlari meninggalkanku. Aku
hanya mampu menatapnya sambil mematung. Tubuh mungil itu berkelebat di antara
derasnya air hujan. Kedua tangannya melenggang bagai selendang bidadari dalam
cerita dongeng. Lembut dan putih.
Na
terus berlari. Wajahnya lurus ke depan, seolah tak sanggup menoleh dan melihat
wajahku. Kakinya yang lurus dan panjang mengayun semakin cepat di atas genangan
air, bagai derap kaki kuda liar menyibak air sungai pedalaman Sumbawa .
Aku
berdiri tak bergeming. Batinku bertanya-tanya. Apakah salah akubertanya
kepadanya? Apakah terlalu cepat menanyakan surat balasan kepadanya? Ah, aku tak
menemukan jawabann. Hanya desah air hujan di atap masjid yang membuat batinku
semakin resah. Itu tigabelas tahun yang lalu, saat Na masih berusia sebelas
tahun.
Na
tidak pernah mengatakan bahwa suratku tidak akan dibalas. Namun bukan berarti
pula suratku akan dibalas. Buktinya, setelah Na melalui kurun waktu yang cukup
panjang, suratku tetap tidak pernah dibalas. Apakah ini berarti guru SMP, guru
SMA tidak berhasil mengajarkan surat-menyurat terhadap murid-muridnya?
Khususnya kepada Na? Ah, tidak juga. Aku yakin, Na bisa menulis surat , tetapi Na tidak
berminat membalas suratku.
“Kenapa suratku tidak dibalas?” tanyaku pada
suatu siang yang cukup cerah di Masjid Cimahi, ketika kami berjumpa lagi.
“Surat?” Na termenung. Dahinya berkerut,
seperti sedang mengingat-ingat sesuatu yang terlupakan. Bahkan mungkin Na sudah
benar-benar melupakan surat
yang kukirimkan pada waktu itu. Apapun adanya, aku harus belajar memaklumi hal
itu. Betapa tidak, aku menanyakan surat
yang kukirim tigabelas tahun yang lalu.
“Apakah gue harus bales?” Na balik bertanya
sambil melemparkan tatapannya ke pekarangan Masjid. Oh, ya, sekarang memang
bukan lagi di Masjid Jami Simpar Kesumbar.
Kini
Na tidak lagi mengenakan seragam merah-putih. Dia pun tidak berlari ketika aku
menanyakan surat
balasan. Betapa waktu berlalu begitu cepat. Waktu telah merubah segalanya. Kini
kurasakan jemari tangan Na begitu hangat dalam genggamanku.
“Surat itu harus dibalas, Na…”
Sebenarnya
aku tidak pantas mengatakan hal itu. Buat apa balasan surat dari Na? Bukankah Na sudah berjalan di
sampingku, bergandengan tangan; begitu indah; begitu mesra. Aku merasakan bahwa
Na akan segera menjadi milikku untuk selamanya. Saat kukecup keningnya, Na
menundukkan kepala.
“Aku
tak akan melepaskanmu, Na. Tidak akan!” ucapku dengan tenang. Na mengangguk
perlahan. Ada
senyum yang selalu kurindukan selama bertahun-tahun.
Detik-detik
melaju dengan cepat dan kembali mengubah segalanya. Entahlah, tiba-tiba aku
merasakan suatu keraguan di balik langkah Na. Desas-desus yang memuakkan telah
menggerogoti perasaan kami. Aku terus maju, untuk membuktikan kekuatan cinta.
Namun, rona wajah Na kian meragu, dan akhirnya langkah Na semakin surut ditelan
prahara.
“Aku
ke Jakarta hanya untuk Na, dan kembali pun hanya untuk Na. Cinta kita adalah
legenda Simpar Kesumbar yang tidak boleh pudar. Sejak Na memanggilku Kakak
Pramuka, Aa, dan Akang, cinta itu terus hidup dan meronta-ronta dalam dada. Ia
mengamuk mendorongku untuk memeluknya dan mengungkapkan dengan tegas: Aku
mencintaimu, meski keluarga kita tidak merestui. Ada apa dengan keluarga kita? Bukankah
jalinan yang retak, harus segera ditambal dengan cinta dan kasih sayang?
Bukankah yang jauh mesti didekatkan?” kata-kata itu hanya kubisikan pada
semilir angin desa; menerpa kembang Simpar Kesumbar yang tidak lagi mekar.
“Inilah surat balasan dari gue…” seandainya Na
berjumpa denganku, pasti kata-kata itulah yang akan meluncur dari balik bibir
mungilnya. Surat
undangan pernikahan Na. Surat yang tidak akan pernah kubaca untuk
selama-lamanya. Biarlah kurobek bersama robeknya perasaanku yang penuh dengan
ukiran cinta dan kasih sayang; selama limabelas tahun.
“Legenda cinta Simpar Kesumbar, tidak akan
pernah ada!” sungguh memuakkan suara itu. Suara yang sanggup menyurutkan
langkah Na. Suara yang kucintai. Suara yang mengharapkan kebahagiaanku.
“Meski demikian, cerita tetap belum berakhir.
Masih ada sepenggal harapan, sebelum napasku berhenti, dan sebelum mataku tertutup
untuk selama-lamanya…” di sela kepedihanku, masih ada untaian cita-cita. Namun,
bukankah sangat berdosa menanti Na saat ini? Sebab bunga Simpar Kesumbar telah
dipetik dari tangkainya. Betapa kemilau permata sungguh menyilaukan mata. Tapi
itulah realitas yang tidak bisa dipungkiri, bahwa si kumbang tak bersayap tidak
akan pernah menjadi pemenang. Siapa bilang tidak ada legenda cinta Simpar
Kesumbar? ***
Situ Panjalu, 1990-2005
(Dimuat di HU. GALAMEDIA, Sabtu, 7 Januari
2006)
Komentar