Oleh
DHIPA GALUH PURBA
KAWANKU adalah
seorang penulis amatir yang tinggal nun jauh di kampung halaman, Cigorowek tercinta.
Beliau sangat rajin mengirim surat .
Hampir setiap jam, beliau mengabarkan perkembangan terakhir di Cigorowek
melalui surat
elektronik alias e-mail. Belakangan ini, kawanku banyak mengirim kabar
tentang kasus pencurian. Seperti yang terjadi pada keluarga Aki Ukro. Malam
Rabu kemarin, katanya, rumah Aki Ukro disatroni maling. Begitu santainya maling
itu, karena Aki Ukro dan Nini Emeh beserta anak cucunya sedang tidur nyenyak.
Kabarnya Aki Ukro bermimpi menikah lagi dengan Nini Uti, pacar lamanya, sekaligus
cinta pertamanya saat mereka masih mengenyam pendidikan di Sekolah Rakjat (SR).
Kawanku, dalam suratnya, sempat mengkritik Aki Ukro yang bermimpi terlalu
romantis dan terkesan mengada-ada.
Kembali ke masalah pencurian. Menurut hasil penyelidikan Hansip
Baron di Tempat Kejadian Perkara (TKP), para maling berjumlah empat orang.
Duhaan tersebut berdasarkan jejak kartu remi yang berserakan di atas meja.
Mereka, para maling itu, sempat makan malam dulu, main kartu remi, dan nonton
siaran tunda antara Timnas Indonesia
melawan Bahrain
yang akhirnya dimenangkan Timnas Indonesia dengan skor 2-1. Bahkan
Adapun barang yang disikat oleh para maling adalah televisi berwarna
20 inch. Itu pun tidak diambil semua, karena diperkirakan para pencuri
merasa kasihan pada Aki Ukro. Televisi 20 inch tersebut, hanya diambil
18 inch saja. Jadi, sampai hari ini Aki Ukro masih memiliki televisi 2 inch,
sisa para maling. “Lumayan, daripada kagak punya,” begitu kata Aki Ukro, ketika
diwawancara oleh seorang wartawan, teman kakaknya tetangga saudaranya kawanku.
Namun yang lebih mengherankan, kasus maling yang menimpa Bah Dinta,
dukun ternama di Cigorowek. Kabarnya
Hansip Baron harus dirawat oleh Mantri Cahyo, karena stress. Pasalnya para
maling yang menggerayangi rumah Bah Dinta, tidak mengambil barang apa-apa. Para
maling hanya ngoprek dan mengutak-atik televisi Bah Dinta hampir
sepanjang malam. Dan ketika keesokan harinya Bah Dinta mau nonton tivi,
tiba-tiba gambarnya jadi terbalik. Kasihan sekali, sampai hari ini Bah Dinta
sekeluarga harus nonton tivi sambil nonggeng (menungging), atau
dalam posisi kepala di bawah, kaki di atas.
Surat terakhir dari kawanku mengabarkan bahwa dia sendiri yang
ketiban sial. Katanya ia kehilangan motor barunya, yang baru saja dicicil satu
kali. Memang salahnya sendiri, pulang apel dari Neng Lina terlalu malam.
Padahal semestinya kawanku langsung pulang saja, lantaran Neng Lina pun
tidak ada di rumah. Katanya sih Neng Lina sedang nonton longser
sama calon tunangannya.
Namun dasar kawanku, sudah jelas situasinya seperti itu, malah
mengadakan PDKT sama neneknya, semacam kandidat gubernur yang mencari dukungan.
Kawanku beranggapan, bahwa orang teraniaya itu pasti akan mendapat banyak
dukungan. Sayang sekali, bukannya dukungan yang didapat, malah buntungan… eh,
maksudku: daripada untung, malah buntung.
Ketika kawanku sedang dalam perjalanan pulang, di tengah jalan
dicegat oleh seorang perempuan (jelasnya bukan dicegat, tapi kawanku yang agak
gumasep mendadak nginjak rem saat melihat wanita seksi berjalan sendiri).
Selain seksi, cantik lagi, katanya. (Ya jelas, namanya perempuan pasti cantik).
Sebut saja namanya Neng Cici. Menurut kawanku, Neng Cici mau
numpang sampai ke ‘perempatan tiga’ Ranca Katel. Karuan saja kawanku sangat
bersedia. Apalagi Neng Cici duduknya begitu merapat, sehingga sampai
sekarang pun punggung kawanku agak kentob, di dua tempat yang hampir sejajar.
“Stoop… stooop dulu…!” tiba-tiba Neng Cici berteriak, tepat
di depan pintu makam.
“Ada apa?” begitu tanya kawanku, sambil menginjak rem. Motor
berhenti.
“Aku ketinggalan dompet,” kata Neng Cici. Kedua tangannya
merogoh semua saku baju dan celana jeans-nya.
“Ya sudah, ayo kita balik lagi,” kawanku memang cerdas. Sangat
cerdas. Kalau memang ketinggalan, tinggal balik lagi, lalu diambil. Beres kan !
“Bapakku suka marah, kalau aku bareng sama cowok,”
“Terus gimana?”
“Bagaimana kalau kupinjam dulu motornya sebentar. Akang tunggu dulu
di sini, sebentar aja,” Neng Cici mulai menebar ilmunya. Sebenarnya
modus operandi seperti ini sangat klasik dan mudah ditebak. Namun karena
kawanku terlalu cerdas, beliau tidak menaruh curiga apa-apa. Dalam pikirannya:
kalau memang Bapaknya tidak suka melihat Neng Cici bawa laki-laki, ya
tinggal suruh sendirian aja, biar dia nunggu saja. Beres kan .
Ketika Neng Cici sudah men-start motor, bahkan sudah
maju beberapa meter, tiba-tiba kawanku berteriak memanggil Neng Cici.
“Hai, tunggu!”
Tentu saja Neng Cici kaget, wajahnya tampak pucat pasi. Neng
Cici mengira jika kawanku sudah bisa menduga maksud jahatnya. Meski demikian,
Neng Cici berusaha untuk tetap tenang.
“Kamu pasti kedinginan. Nih… pake
jaketku, biar tidak masuk angin…” begitu kata kawanku sambil melepaskan
jaketnya, seraya memberikannya kepada Neng Cici. Tentu saja Neng Cici
bernafas lega. Setelah mengucapkan terimakasih, Neng Cici segera menarik
gas motor, lalu meninggalkan kawanku, dan tidak pernah kembali lagi. Mungkin
yang lebih tepat: tidak akan pernah kembali lagi.
Dalam beberapa hal, kawanku memang cerdas. Namun jika beliau sudah
dihadapkan dengan sesuatu hal yang berbau perempuan, maka kecerdasannya bisa
berpindah pada lawannya. Betapa tidak, jaket yang diberikan kepada Neng Cici
itu berisi uang, STNK motor, surat cinta untuk Neng Lina, rokok
sebungkus plus korek api, dan isim pelet
sakti pemberian Bah Dinta.
Wahai kawan, aku turut bela sungkawa atas musibah yang menimpamu.***
Ranggon
Panyileukan, 2007
Komentar