Fotograper: Turi Syahdarina |
Cerpen DHIPA GALUH PURBA
JEJAK darah itu tak mungkin terhapus pada titian anak tangga yang pernah kau lalui. Seraya tinggalkan sepenggal memori di dasar lubuk hati.
Sekejap keindahan atau setitik kasih yang—mungkin—sangat tulus. Saat itu—tapi tidak saat ini—ingin kucercah semua kisah yang memenuhi ingatan.
Lalu hantarkan aku pada gerbang kedamaian nan abadi, yang sangat kuimpikan sejak masa silam. Dan saat ini aromamu selalu mengahantui hidung yang sudah sesak oleh bau-bau busuk.
Juga gemulai tarianmu meronta-ronta pada kedua pelupuk mataku, yang sudah kupejamkan. Oh, cintaku (entah semangatku, amarahku, atau nafsu birahiku) selalu menarik kedua kaki ini untuk mencium tanah gersang kampungmu.
Dan kegersangan itu akan semakin menjadi-jadi, dalam tatapanmu yang kini semakin gersang.
Sebab kudengar kabar dari hantu-hantu jinak, yang dulu menghantui kita. Raut wajahku pura-pura lukiskan bahagia.
Namun secangkir kopi itu pun, tak kusentuh sama sekali. Sepertinya kurang gula dan kurang pahit. Atau kurang kopi dan kurang manis.
Ah, terkutuklah batin ini! Yang menyesali melajunya waktu. Tak seharusnya aku kecewa atas kesetianmu saat ini. Tetapi mengapa tak kau lakukan itu padaku? Saat itu.
*
AKU hapal benar wangi tubuhnya. Tak mungkin terhapus dari ingatanku; saat kami bercumbu rayu di pematang sawah, angin semilir tebarkan asmara, seruling mengalun, meremas kasmaran yang terpendam.
Aku terlena dalam dekapannya; dari kokok ayam hingga rembulan, yang belum puas kami tumpahkan. Saat itu, rintik-rintik hujan kecil di pematang, membasahi tubuhnya yang sudah banjir air keringat.
Semilir angin syahdu bagaikan rindu-rindu yang pudar, mengiringi permainan cinta yang binal. Dekap, kudekap; kupeluk tubuh moleknya. Kuda jantan, kuda liar, tengadah kehausan.
Kerinduan itulah yang mengantarkanku untuk menginjak lagi kampung halamannya. Tempat yang telah kutinggalkan selama lima tahun.
Kampung halaman yang menjadi saksi bisu atas pernikahan kelabu. Tak ada pesta meriah. Tak ada malam pertama yang didamba.
Hanya bisik-bisik tentang beban hidup yang sarat. Bakul-bakul tua yang mesti diangkat, kambing-kambing gemuk, kerbau-kerbau sehat, yang tak bisa dibiarkan untuk hidup dengan gelisah.
Perceraian itu adalah keinginanku. Aku yang menandatanganinya dengan penuh kesadaran. Tak peduli isakan tangisnya.
Tak kuhiraukan pelukan kasihnya yang terasa begitu tulus. Aku juga tak ingin tahu tentang apa yang akan terjadi pada dirinya. Kubiarkan saja ia melangkah, meninggalkanku.
Wi. Sebuah nama yang telah menghancurkan istana yang telah dibangun dengan cucuran keringat dan air mata.
Wi memang pendusta. Ia sangat bejat. Kemurnian kasihnya telah dikotori oleh noda hitam yang sulit untuk dihapus.
“Maafkan aku, Kang. Aku memang bersalah. Tapi…tapi semua itu kulakukan demi kelangsungan kasih kita,” Itulah ucapannya yang masih terngiang dalam ingatanku. Namun ucapan itu tak bisa merubah keputusanku.
“Baiklah, Kang. Aku rela melepas kepergianmu. Namun, berilah aku kesempatan untuk menumpahkan kasih sayangku untuk terakhir kalinya…” ucap Wi sambil memeluk tubuhku.
Kubiarkan jemari tangannya mengelus tubuhku. Kuikuti juga arah hatinya. Kuda liar, kuda jantan, tengadah kehausan.
Seminggu kemudian Wi mengajakku lagi ke ladang cinta. Tentunya untuk menabur benih-benih kasih yang tiada suci lagi.
Membuatku semakin terpuruk dalam beban dosa yang sangat dalam, terhempas pada jurang kenistaan.
“Kita sudah terperosok pada kemaksiatan. Ini adalah zinah…” aku mencoba memperingatkan Wi—meski sejujurnya kuakui, bahwa aku pun ingin melakukannya lagi.
Untung saja, ucapan Pak Jajat kupegang dalam lubuk hatiku. Memang Wi tidak akan tahu, bahwa pada malam harinya aku telah berkonsultasi dengan Pak Jajat, salah seorang tokoh yang dituakan di kampungnya.
“Jika kalian tidak menghentikan perbuatan itu, maka kalian akan semakin terjerumus pada dosa yang lebih besar lagi. Dan kau tinggal menunggu waktu saja, adzab apa yang akan diberikan Tuhan atas semua itu. Mumpung belum terlambat, hentikanlah dan bertobatlah!” itulah ucapan Pak Jajat yang membawa angin kesejukan dalam sanubariku.
“Namun, bagaimana caranya?” tanyaku.
“Bagaimanapun caranya, yang penting adalah…hentikan!” Pak Jajat mengakhirinya dengan penuh ketegasan.
Wi mengerutkan keningnya sesaat. Tentunya ia merasa kaget atas perubahanku yang mendadak dan secara tiba-tiba.
“Apakah aku tidak salah dengar?” sepertinya Wi ingin meyakinkan perkataanku.
“Tidak. Wi. Kita memang harus menghentikannya. Kita harus menghapus semua yang telah kita jalani, sebab kita sudah bercerai,” jawabku dengan tegas.
“Tapi, aku tetap merindukanmu, Kang. Walau suatu saat aku menikah dengan orang lain, aku ingin tetap seperti ini.
Percayalah, aku hanya bisa mendapatkan kebahagiaan dari Akang,” Wi seakan memelas. Ia mulai menyandarkan lagi kepalanya pada pundakku.
“Tidak ada artinya, Wi. Semuanya telah berakhir seperti ini. Kau telah mati dalam jiwaku, sebab kaulah yang telah mematikanku,” jawabku dengan tenang.
“Mati? Apa maksudnya, kang?” tentu saja Wi penasaran.
“Mati, Wi. Tuhan telah menurunkan azab-Nya kepada kita. Kau harus tahu, bahwa Aku menderita penyakit yang sulit untuk diobati. Aku telah mati, dan tak mungkin lagi bisa…”
“Akang, apakah akang mengalami…?”
“Mungkin tak perlu kuucapkan.” jawabku.
Aku tak tahu dan tak ingin tahu reaksi Wi terhadap perkataanku. Yang pasti, itulah kata-kata terakhir yang terucap dari bibirku. Memang berdusta.
Tapi aku begitu yakin, jika dusta itu adalah dusta yang sangat suci. Kukatakan demi menghindari perbuatan dosa yang selalu dan selalu ingin kulakukan bersamanya. Walau kuakui, betapa berat rasanya untuk menahan gejolak hasrat itu.
Lima tahun telah berlalu. Bukan waktu yang sebentar untuk menghapus nama Wi. Selama lima tahun, aku menjauh dari Wi.
Kucoba untuk mencari jalan yang lurus dan merintis sebuah kehidupan baru. Di belantara kota tempat pengembaraanku, telah kuukir berbagai goresan kisah yang tak begitu indah. Ternyata sangat sulit untuk menemukan lagi ketulusan seorang perempuan.
Semuanya semu. Tidak seperti Wi. Ia berani mengorbankan dirinya demi kelangsungan cinta kasihnya. Meski berdosa, tapi itu tak lepas dari kekhilapannya sebagai manusia. Sangat manusiawi. Kusadari itu.
Bayangan Wi kembali menari-nari dalam pelupuk mataku. Pancaran matanya yang penuh keteduhan. Sikapnya yang membawa kedamaian. Dan semua yang ada pada diri Wi, kembali membayangi ingatanku.
Kerinduan ku semakin mengamuk. Aku rindu pada hembusan nafas wanginya. Aku pun sudah tidak peduli lagi pada sorak-sorai yang bergemuruh dalam setiap langkahku. Akan kubiarkan semuanya mengartikan sebuah tanda tanya.
*
LANGKAHKU kian cepat. Tekadku untuk kembali kepada Wi, rasanya semakin bergelora. Kusadari bahwa cintaku dan Wi adalah cinta yang tulus.
Cinta yang tak bisa dilunturkan oleh cobaan yang sangat berat sekalipun. Aku yakin. Wi akan menerimaku dengan penuh kebahagiaan. Dan akan kutiti lagi jembatan rumah tangga yang baru. Masa lalu akan kukubur untuk selama-lamanya. Itu sangat pasti.
Aku berdiri di depan pintu rumah Pak Jajat. Maksudnya tiada lain, ingin berkonsultasi dulu dengan pak Jajat. Sebab di kampung halaman Wi, hanya Pak Jajat yang kukenal dengan baik.
Pak Jajat pun bisa mengerti dan memahami jalan pikiranku. Sepanjang usia rumah tanggaku dengan Wi, Pak Jajat adalah tempatku mencurahkan segala macam problema yang menghantui jiwa.
Pak Jajat adalah tempatku mengadu dalam setiap persoalan yang kuhadapi dengan Wi. Aku begitu yakin, Pak Jajat akan menyambut rencanaku untuk rujuk kembali dengan Wi.
Perlahan-lahan, kuketuk pintu rumah Pak Jajat. Tak lama kemudian, pintu pun terbuka. Tapi, tiba-tiba aku hanya bisa tertegun beberapa saat. Pak Jajat tidak ada di rumah.
Tapi bukan itu masalahnya. Bukan. Bukan itu. Walaupun Pak Jajat ada di rumah, aku pasti akan mengurungkan niatku.
Aku segera meninggalkan rumah Pak Jajat. Dan aku pun tahu kalau kepergianku diantarkan oleh pandangan mata istri Pak Jajat.
Entah kapan Pak Jajat mengakhiri masa dudanya, setelah delapan tahun yang lalu ditinggal mati istrinya. Tapi itu semua tidak penting.
Yang pasti, Pak Jajat telah melangsungkan pernikahannya tanpa mengundangku. Aku paham sekali akan hal itu. Dan seharusnya aku mengucapkan ‘selamat’ pada istrinya.
Sayang sekali, aku tak mampu mengatakan itu. Justru air mataku mulai bercucuran, membasahi kedua belah pipiku.…
Sebab aku hapal benar pada wangi tubuhnya. Saat bercumbu rayu di pematang sawah, angin semilir tebarkan asmara. Seruling mengalun, meremas kasmaran yang terpendam. Dari kokok ayam hingga rembulan, yang belum puas kita tumpahkan.
Kuda betina, kuda liar, tengadah kehausan.***
Péso Pangot, 2002
Komentar