Tak akan ada yang memungkiri,
bahwa sosoknya merupakan tokoh fenomenal yang patut dibanggakan oleh
(khususnya) orang Sunda. Perjuangannya yang begitu gigih, telah mengantarkannya
pada puncak kesuksesan. Begitu teguhnya memegang prinsip hidup. Terpaan dan
tantangan yang teramat berat, telah dilaluinya dengan penuh ketabahan. Sehingga
pada akhirnya, ia bisa membuktikan bahwa ‘seorang Ajip Rosidi’ bisa hidup, tanpa harus mengandalkan selembar
ijazah…’ Ajip juga membuktikan bahwa seorang penulis yang baik adalah seorang
yang memiliki hobi membaca yang baik pula.
*
ATAS bantuan Kang Hawe
Setiawan dan Dadan Sutisna, akhirnya saya bisa berhadapan secara langsung
dengan Ajip Rosidi. Tiada lain, untuk mengadakan dialog live di sebuah
radio swasta pada salah satu acara yang saya asuh. Tepatnya 30 Méi 2003, pukul 19.30 WIB, Ajip telah tiba di studio,
‘dikawal’ oleh seorang sahabat karibnya sejak masa muda, Embas Suherman.
Padahal acara siaran, direncanakan baru akan dimulai pukul 20.00 WIB. Dan ‘seharusnya’ Ajip baru datang pukul 20.15
WIB, seperti halnya beberapa orang nara
sumber lainnya, yang pernah saya undang untuk siaran acara yang serupa.
Ajip Rosidi. Setelah 22
tahun menjadi seorang gaijin (Sebutan
orang Jepang, bagi orang asing yang bekerja di negaranya), kini telah kembali
ke tanah air. Dengan mengandalkan intelektual dan daya nalar yang tinggi, Ajip
dipercaya untuk mengajar di Osaka Gaidai, Tenri Daigaku, Kyoto Sangyo Daigaku,
dan Asahi Cultural Centre Osaka. Padahal Ajip tidak pernah belajar di perguruan
tinggi. Bahkan SMA pun tidak tamat. Konon menurut pengakuannya, Ajip tidak puas
dengan sistem pendidikan yang diberlakukan saat itu. Para
siswa berlomba-lomba untuk mendapatkan nilai yang bagus pada ijazahnya. Dan ada
pula di antaranya yang menghalalkan segala cara, untuk mendapatkan selembar
ijazah. Sehingga pada akhirnya Ajip bertekad untuk tidak ikut-ikutan mengejar
ijazah. Ia ingin membuktikan, bahwa tanpa ijazah pun, Ajip bisa hidup. Tentunya
juga dengan ‘catatan’. Dan ‘catatan’ itulah yang sampai saat ini masih sulit
diikuti oleh para generasi muda. Kendati Ajip tidak duduk di bangku kuliah,
namun dapat dipastikan bahwa Ajip belajar lebih keras dan tekun. Jika tidak, mana mungkin Ajip bisa
menghasilkan lebih dari seratus judul buku. Mana mungkin pula Ajip pernah
dipercaya untuk menjadi Ketua DKJ (Dewan Kesenian Jakarta), Ketua IKAPI (Ikatan
Penerbit Indonesia), anggota staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan,
sampai pada akhirnya mengembara di negeri Matahari Terbit.
Kepulangannya kembali ke
tanah Air, disambut oleh sebuah seminar ‘Meninjau Sosok dan Pemikiran Ajip
Rosidi’ di Aula Universitas Padjadjaran, Jl. Dipatiukur Bandung. Acara yang
diselenggarakan oleh PDP (Pusat Dinamika Pembangunan) Unpad dan PP-SS
(Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda) tersebut, tak luput mengundang perhatian
para tokoh Sunda dan para mahasiswa. Terlebih lagi dengan menghadirkan para
pembicara seperti Dr. Ignas Kleden, Dr. Faruk H.T, Prof. Yus Rusyana, Abdullah
Mustappa, Teddy A.N. Muhtadin, dan Dr. Ganjar Kurnia. Dimeriahkan pula oleh
pembacaan puisi Jante Arkidam versi Sunda oleh Godi Suwarna, Jante Arkidam
versi Indonesia oleh Yayat Hendayana, dan tembang Sunda dari kelompok Rawayan
Bandung, dengan juru tembang Ani Sukmawati.
*
Kendati berada di ruangan
studio radio yang berukuran kecil, tetapi tampaknya Ajip bisa duduk dengan
nyaman. Melayani setiap pertanyaan saya dengan (masih tetap) kritis. Terkadang
Ajip pun berdialog dengan para pendengar yang menelepon ke studio. Bahkan di
antara pendengar, ada pula yang terpaksa
mengirim pertanyaan lewat SMS, dikarenakan telepon studio terlalu sibuk. Ada yang melontarkan
pertanyaan, ada yang hanya mengucapkan selamat datang, dan ada pula yang sampai
menangis tersedu-sedu, mengenang masa lalunya bersama Ajip Rosidi. Begitulah
respon masyarakat terhadap seorang Ajip Rosidi. Tanpa direkayasa, semuanya
dibiarkan seperti air yang mengalir.
Ajip Rosidi, saat ini
pun masih tetap kritis. Bahkan bisa jadi lebih kritis. Dan
saya mencoba menerawang perjalanan Ajip, sejak lahir sampai pada masa-masa
menjelang seusia saya sekarang, 25 tahun.
Ia lahir di Jatiwangi, tanggal 31 Januari 1938. Tentu saja Ajip pernah
mengalami duduk di bangku SR (Sekolah Rakyat), sampai akhirnya lulus pada tahun
1950. Lalu meneruskan ke SMP Majalengka. Hanya satu tahun. Ia
melanjutkannya ke SMP VII Jakarta. Dan pada tahun 1952, ia sudah mulai menulis
dalam bahasa Indonesia. Dimuat di Majalah Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith,
Indonesia, Konfrontasi, dll. Sehingga pada usianya yang baru menginjak 17
tahun, Ajip telah menerbitkan buku yang berjudul Tahun-Tahun Kematian (Gunung
Agung, 1955), disusul oleh Pesta (Pembangunan,
1956), Di tengah Keluarga (Balai Pustaka, 1956), Perjalanan Penganten
(Pembangunan, 1958), Di Puncak Gunung Paling Tinggi (Cari Muatan,
BP, 1959), dan sebagainya.
Pada tahun 1956, Ajip
telah menerima Hadiah Sastra Nasional dari BMKN, dalam Kongres Kebudayaan di
Denpasar. Tentu saja Ajip semakin produktip menulis. Bukan
hanya karya fiksi, tetapi artikel dan kritik, termasuk kritik drama, film, seni
rupa). Banyak dimuat di berbagai media massa, seperti Siasat,
Star Weekly, Pantjawarna, sk. Sin Po, sk. Indonesia Raya, sk. Abadi, dan
lain-lain.
Ajip Rosidi mulai
menulis dalam Bahasa Sunda di sk. Siliwangi, pada rubrik ‘Dangiang’.
Kemudian menulis buku yang berjudul Lutung kasarung (Seri PEM,
Pembangunan, 1958), menulis cerita-cerita pantun Ciung Wanara dan
Mundinglaya di Kusumah di sk. Pikiran Rakyat, yang kemudian dibukukan oleh penerbit Tiara, Jakarta, tahun 1961. Dan
masih banyak karya-karya atau pengalaman lain Ajip Rosidi, sampai menjelang
usia seperempat abad. Yang bisa ditulis saya, hanyalah sebagian kecil saja.
Yang pasti, itulah gambaran sosok Ajip
sejak mulai meniti karir, sampai pada usia 25 tahun.
Tiga Jam bersama Ajip
Rosidi. Menerawang perjalanan hidupnya. Membayangkan Ajip, ketika masih seusia
saya. Ternyata, saya bukan apa-apa dibandingkan Ajip Rosidi (muda). Dan memang,
saya belum bisa menghasilkan apa-apa. Yang pasti, semangatnya telah membakar
pula semangat dalam diri saya, untuk terus membaca dan membaca. Untuk terus
menulis dan menulis. Sehingga pada akhirnya, saya mengerti, mengapa Ajip Rosidi
punya hobi membaca.***
Ajip Rosidi sedang berdiskusi dengan Euis Balebat, Dadan Sutisna, Apip Chatrix, dan Dhipa Galuh Purba |
Komentar