Mengapa Harus Membaca Buku?


Oleh DHIPA GALUH PURBA


CATATAN kecil ini diawali dengan silaturahmi kepada beberapa orang penulis, yang bertempat tinggal di sekitar Kota Bandung. Dimulai dari Dadan Sutisna, Erwan Juhara, Ahmad Gibson Al-Bustomi, Bambang Q Annes, Agus Ahmad Safei, Hawe Setiawan, dan sebagainya. Rata-rata mereka memiliki perpustakaan pribadi, yang justru banyak menyita ruangan tempat tinggalnya. Bahkan sampai di atas tempat tidur pun, saya masih bertemu dengan buku. Sehingga benar sekali sebuah ungkapan; penulis yang baik adalah pembaca yang baik.

Tentu saja, saya pun meminjam beberapa judul buku dari para penulis tersebut. Sampai saat ini masih belum dikembalikan, sebab saya sedang mencermati sebuah ungkapan Gus Dur; orang bodoh adalah orang yang meminjam buku. Namun orang yang lebih bodoh lagi adalah orang yang mengembalikan buku.

*
"Bahkan sayap Jibril bergetar hebat
Saat ayat-ayatNya yang sarat cahaya itu
Menikam kalbu Muhammad
Kebenaran seketika itu memancar
Bagai matahari terbit dimuliakan kehidupan"

DEMIKIAN kutipan bait awal pada sajak berjudul Panorama Ramadhan, karya Soni Farid Maulana dalam buku Malam 1000 Bulan, Antologi Puisi Sebelas Penyair Bandung (CV. Jayaperkasa Utama, 1997), yang menggambarkan riwayat pertama kalinya Malaikat Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad SAW; Iqro! Bacalah! Bukan saja Nabi Muhammad SAW yang begitu menggigil, bahkan sayap Jibril pun bergetar hebat. Tak usah diragukan lagi makna kedalaman dari arti kata membaca. Sederhananya membaca adalah sebuah upaya untuk mengetahui suatu hal, yang sebelumnya tidak diketahui. Paling tidak tahu saja dulu, belum pada tingkat mengerti. Sebab pada akhirnya membaca itu adalah sebuah proses untuk mengerti dan memahami sesuatu hal.

Bambang Q Annes berpendapat; jangan-jangan rukun pertama menjadi manusia sempurna itu adalah membaca. Karena dengan membaca, Rosululloh mendapatkan gagasan untuk bereaksi. Dari perintah membaca, Rosululloh menemukan banyak realitas yang semula dianggap biasa-biasa, menjadi nampak begitu “rusak” dan “jahiliyah”. Ketika mendapat perintah untuk membaca, ia tidak memiliki kewajiban untuk “menyampaikan dengan merasa benar”. Ini juga berarti “membaca” lebih bersifat pribadi: khusyuk memasuki diri sendiri (hakikat penciptaan dari alaq) serta menjelajahi hal-hal yang semula tidak terjangkau (Rabb yang menciptakan, Rabb yang memuliakan/akram). Ada baiknya juga kalau menerawang ke jaman Rosululloh SAW, ketika seorang tawanan perang bisa bebas, asalkan bisa mengajar membaca kepada sepuluh orang.

            Menyoal masalah membaca, pinasti akan bersentuhan dengan buku. Walau pun memang yang namanya membaca, tidak harus selalu berhadapan dengan buku. Sebab ayat Alloh pun ada yang tersurat dan yang tersirat. Namun dalam hal ini, buku memiliki peranan yang sangat penting dan sudah teruji untuk menjadi benteng kekuatan ilmu, atau pendek katanya adalah: kubu. Sebagaimana dalam kamus umum Bahasa Indonesia, kubu artinya adalah benteng pertahanan. Seperti realitas yang begitu tampak, betapa buku (baca: kitab) telah mampu mempertahankan ajaran berbagai agama yang lahir sejak berabad-abad yang lalu. Betapa buku telah memberikan pencerahan dan penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa budaya agama adalah budaya buku. Budaya ilmu pengetahuan adalah budaya buku. Tanpa kehadiran sebuah buku, belum tentu penemuan canggih di abad ini bisa diwariskan kepada anak cucu, apalagi untuk dikembangkan. Tak berlebihan, jika buku disebut sebagai kubu ilmu. Bahkan sampai di alam akhirat pun, manusia masih harus berhubungan dengan “buku”. Masing-masing membawa buku catatan, yang menulis imeut  perjalanannya hidupnya semasa di dunia. Seperti juga ungkapan kata-kata yang digoreskan oleh penyair Juniarso Ridwan, pada bait terakhir sajaknya yang berjudul  Arafah: Buku kehidupanku dibuka seluruhnya, penuh coreng moreng/ Akankah diputihkan kembali? Atau diubah warnanya atau/ Diberi catatan kaki? Kembali aku belajar mengenal diriku/ Merenungi asal muasalku.

Sekali lagi, buku adalah benteng pertahanan ilmu. Mengapa harus ilmu? Sebab pada sisi tertentu, kualitas manusia bisa diukur oleh ilmu yang dimilikinya. Ilmu bisa menjadikan seseorang lebih mulia dari yang lainnya. Dengan ilmu, seseorang bisa memiliki iman, taqwa, dan pandai bersyukur. Singkat kata, kedudukan ilmu itu sangat tinggi. Dan ilmu itu bukan merupakan hasil manusia secara otonom, sebab dalam proses pencariannya ada keterlibatan Tuhan. Akal adalah menjadi semacam jendela atau pintu untuk masuknya ilmu, seperti halnya juga hati untuk menerima pancaran Illahi. Membaca merupakan salah satu upaya untuk membuka jendela atau pintu manusia dalam proses transper ilmu. Sebab dunia ilmu bukanlah dunia ngomong, tetapi dunia membaca.

Buku dan Lembaga Pendidikan
Substansi dari pola transper ilmu di sebuah perguruan tinggi adalah membaca buku. Yang namanya tatap muka dalam perkuliahan adalah seorang dosen yang berperan sebagai guide dan fasilitator. Sedangkan pada intinya adalah membaca. Di kelas sebuah perguruan tinggi, idealnya adalah semacam konsultasi hasil membaca para mahasiswa pada buku yang bersangkutan dengan mata kuliah. Atau juga bagaimana seorang dosen memberikan pengantar pada sebuah buku. Bukan hanya menyuapi mahasiswa dengan materi. Sebab jika polanya seperti itu,  apa bedanya dengan pola pendidikan di sekolah menengah? Namun sampai saat ini, tradisi kurang bagus tersebut, masih banyak dilakukan oleh beberapa dosen di perguruan tinggi. Kurang mendidik mahasiswa untuk meningkatkan minat baca. Percuma saja walaupun ruangannya sangat megah, jika di sana tidak ada buku yang dibutuhkan. Sebaliknya, kalaupun hanya ada ruangan sederhana atau bahkan di luar ruangan, tak akan menjadi masalah besar, jika di tempat tersebut tersedia buku yang dibutuhkan. Sehingga dalam hal ini, jelas sekali bahwa kebutuhan akan buku, benar-benar tidak bisa ditolelir.

Lalu mengapa minat baca (khususnya) di kalangan perguruan tinggi masih begitu lemah? Sering kali mahasiswa-lah yang dijadikan alasannya. Dalam hal ini, mental mahasiswa di wilayah baca-membaca dianggap jelek. Padahal mental itu tidak bisa dipersalahkan, karena fungsi dari perguruan tinggi itu justru sebagai pembangun mental dan transper ilmu. Jika perguruan tinggi tidak berusaha untuk meluruskan mental para mahasiswa, lalu apa tugas perguruan tinggi? "Kutu-kutu lebih rajin membaca buku dibandingkan dengan mahasiswa, juga dosen-dosennya. Perpustakaan bekerja amat santainya, bahkan ada hari ketika perpustakaan nganggur sama sekali. Mahasiswa hanya menjadi konsumen komoditas eceran di pasaran ilmu. Waktu ke pasar mereka cukup membawa kantung telinga, otaknya disimpan di dalam almari besi."  Begitu kata Emha Ainun Nadjib, dikutip dari buku Negeri Yang Malang (Tinta, 2002) buah tangan Agus Ahmad Safei. Memang, malang sekali negeri ini, jika keadaannya benar-benar seperti itu.  Untung saja, tidak!

Buku dan Pemerintah
Salah satu aset negara yang paling besar adalah penduduk yang memiliki kecerdasan atau keterampilan dalam berbagai disiplin ilmu. Sedangkan untuk mencapai hal itu, dibutuhkan proses pendidikan formal atau non-formal. Yang pasti keduanya membutuhkan fasilitas bernama buku. Namun bukan saja biaya pendidikannya yang sangat mahal, malah harga buku pun terkadang lebih mahal lagi. Jangan-jangan inilah masalahnya, yang menjadi penyebabkan minat baca masyarakat masih lemah. Sebab kalau bicara sadar membaca, tampaknya kesadaran masyarakat Indonesia sudah cukup tinggi. Sadar membaca berarti sadar pula pentingnya pendidikan. Hal ini terbukti sampai ke pelosok pedesaan, para orang tua sangat sadar untuk menyekolahkan anak-anaknya. Kalau pun tidak meneruskan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi, masalahnya bukan tidak sadar akan pentingnya pendidikan, tetapi lebih dikarenakan masalah ekonomi.

Baiklah, biaya pendidikan sudah hampir tidak terjangkau. Maka salah satu alternatif mencerdaskan kehidupan bangsa adalah membaca. Ajip Rosidi pun bisa menjadi seorang ilmuwan, dengan mengandalkan membaca buku, tanpa mengikuti proses pendidikan formal. Namun dalam hal ini, jangan terlalu mengharapkan banyak masyarakat yang bisa seperti Ajip Rosidi. Mesti ada usaha pemerintah, untuk menekan harga buku, agar bisa terjangkau oleh kalangan masyarakat menengah kebawah. Turunkan harga kertas! Subsidi buku-buku pendidikan! Selama ini, beberapa subsidi telah dicabut. Tetapi biaya pendidikan dan harga buku, tetap saja begitu mahal. Timbullah satu pertanyaan; ari pungutan pajak, untuk apa atuh?

Kendati demikian, tak akan menutup mata, bahwa ada juga beberapa buku yang didanai oleh pemerintah, atau sebut saja buku inpres. Sayang sekali dalam pengelolaannya terbentur oleh sakadang tender, yang pada akhirnya tidak lagi mengutamakan buku yang berkualitas, melainkan buku yang memenangkan tender. Seperti yang terjadi pada penerbitan proyek inpres buku-buku bahasa Sunda. Banyak buku yang dicetak lolos sensor, tanpa ada proses editorial yang baik. Kualitasnya sangat buruk, dan tidak layak disebarkan ke sekolah-sekolah (jika dibutuhkan, penulis sudah memiliki contoh buku-buku tersebut). Oleh sebab itu, untuk masa yang akan datang, pihak yang berwenang dalam hal ini, hendaknya lebih hati-hati  dalam menyeleksi buku-buku yang akan diterbitkan dengan menggunakan sumber dana “uang rakyat”. Dalam arti kata, mesti lebih mengutamakan kualitas isi, dari pada keuntungan materi semata, karena buku adalah kubu ilmu.***


Ranggon Panyileukan, 1424 Hijriyah




Atep Kurnia dan Dadan Sutisna di Kamar Kost Dua Saudara, Cipadung, Bandung, Jawa Barat


0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post