Nasib Ki Sunda dan Kematian Kucing


Oleh DHIPA GALUH PURBA


KUCING makan tikus dan mengeong-ngeong, orang Sunda mengolah sawah, mengutak-atik undak-usuk bahasa Sunda, menggeliat, dan berbicara masalah cinta. Dengan ungkapan tersebut—yang akan diuraikan dalam artikel ini—izinkan saya menanggapi opini H. Rachmat  M.A.S yang berjudul “Ki Sunda, Siapa Dikau dan Bagaimana Keadaanmu?” (“PR”/04/05/04). Meski saya setuju pada garis besar pemikiran beliau, tetapi masih ada beberapa persoalan yang harus didiskusikan lebih lanjut.

Mengenai sebuah hadits “Kiamat tidak akan terjadi sebelum ada dua golongan besar berperang hebat, padahal keyakinan keduanya sama”, jelas sekali hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, pada konteks menjelang kiamat qubro (Ibnu Katsir, “Huru-Hara Hari Kiamat”, Pustaka al-Kautsar, hal. 165-166). 

            Oleh karena itu, membahas masalah gejolak kebudayaan Ki Sunda yang sedang terjadi saat ini, rasanya tidak relevan kalau dihubungkan dengan kiamat qubro. Tidak ada seorang manusia pun yang mengetahui kapan akan terjadinya kiamat. Secara pribadi, saya sangat merinding mendengar kata kiamat, dan berharap tidak akan mengalaminya. Soalnya, sejahat-jahatnya manusia adalah orang yang masih hidup pada saat datangnya hari kiamat (qubro).

            Selain itu, maka H. Rachmat  pun otomatis menggugurkan pendapat Teh Mira: “Ki Sunda tidak mungkin punah”. Tentu saja, karena jika tiba saatnya Malaikat Israfil meniup sangkakala yang mematikan (Nafkhatus Sha’iq), jangankan Ki Sunda atau Ki Amerika, alam semesta ini pun akan musnah semuanya.

***

Dramatisasi Cerpen "Angling Asih" karya Dhipa Galuh Purba, oleh Laskar Panggung Bandung di Taman Budaya Jawa Barat


ADA yang perlu diluruskan dari kesimpulan H. Rachmat “Ermas” Marta Adi Subrata, mengenai pemikiran saya, terutama yang ditulis beliau pada alinea ke-2. Benar, saya berpendapat bahwa Ki Sunda telah punah lebih awal. Namun, Ki Sunda pada aspek mana? Saya hanya menguraikan fakta-fakta atau indikasi-indikasi yang akan mengantarkan kepunahan Ki Sunda. Sekali-kali saya tidak “mengetuk palu” dan mengatakan bahwa Ki Sunda telah punah secara umum. Bahkan saya pun sepakat, bahwa Ki Sunda tidak akan punah, jika diterawang dari sisi Sunda sebagai fakta genetis.

Selanjutnya pada alinea ke-5, Kang Ermas nyutat perkataan orang bijak: “Sebuah peperangan dimulai dari satu ruangan”, saya sangat setuju. Sebab, peperangan itu sudah dan sedang terjadi saat ini. Urang Sunda sedang palagan winaya; perang argumentasi, perang budaya, perang komunikasi, perang ekonomi, dan sebagainya.

Namun dalam hal ini, tampaknya Kang Ermas mencemaskan terjadinya peperangan fisik antar-urang Sunda. Kecemasan yang sangat logis, sebagai sosok sesepuh yang selama ini berjuang nanjeurkeun Ki Sunda. Kecemasan Kang Ermas sama halnya dengan kekhawatiran Dedi “Miing” Gumelar akan punahnya Ki Sunda. Dalam konteks ini, kekhawatiran adalah kecemasan, tidak berarti sama dengan do’a. Sebab, kalau memang kata khawatir atau cemas adalah do’a, hati-hati juga dengan kecemasan Kang Ermas mengenai perang fisik antar urang Sunda.

Masih pada alinea ke-5, Kang Ermas mengajak kita untuk menyamakan titik pemberangkatan dan sudut pandang mengenai Ki Sunda. Tentu saja hal itu sangat tidak mungkin, mengingat urang Sunda memiliki keragaman usia, pendidikan, status, pekerjaan, dan lain sebagainya.

            Keragaman tersebut akan melahirkan rupaning persepsi mengenai Ki Sunda. Contohnya, kalau saya menanyakan persepsi Ki Sunda kepada kakek saya di kampung, pasti jawabannya Ki Sunda adalah sawah yang tidak pernah kekurangan air. Lain halnya kalau bertanya kepada Uyut saya, sebelum menjawab, pasti beliau akan balik bertanya, apa yang dimaksud dengan persepsi?

Pedagang pun mungkin akan punya persepsi bahwa Ki Sunda adalah ladang pekerjaan yang tidak kasilih oleh BSM, ITC, BTC. Pengangguran mungkin akan punya persepsi bahwa Ki Sunda adalah terbukanya lapangan pekerjaan, agar tidak tersisih dan kelaparan di lemah cai sendiri. Petani mungkin akan punya persepsi bahwa Ki Sunda adalah lahan garapannya yang tidak tergusur oleh jalan tol dan pembangunan real estate. Dan banyak lagi persepsi lainnya berkenaan dengan Ki Sunda.

Menurut hemat saya, persepsi itu tidak bisa dipaksa untuk disamakan. Tidak ada persepsi mutlak mengenai Ki Sunda. Kalau pun ada, siapa yang berhak membuatnya? Dan siapa pula yang berhak merealisasikannya? Mari kita renungi sabda Nabi Muhammad SAW; “Perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat”.

Maka dari itu, solusi yang bijak, bukan menyamakan persepsi, tetapi mencari persamaan persepsi. Saya yakin, di antara keragaman perbedaan persepsi urang Sunda, pasti ada pula persamaannya, yang dalam logika disebut konklusi atau natijah pada ilmu Mantiq.

***

KI Sunda berada di ambang kepunahan atau kematian. Dalam konteks ini, tentu saja kematian sebuah realitas sosial tidak bisa disamakan dengan kematian organisme biologis. Contohnya, jika ada seekor kucing mati akibat keracunan tikus atau mati karena umurnya yang terlalu tua, maka tidak usah banyak wacana, karena kucing tidak akan mengeong-ngeong lagi. Tinggal dikuburkan saja. Beres.

Lain halnya kalau kata “kematian” diterapkan pada Ki Sunda, dalam hal ini menyangkut substansi kebudayaannya. Kita tidak bisa memahaminya sesederhana menghadapi kematian seekor kucing. Sebab, kematian pada realitas sosial, bisa saja hidup atau bangkit lagi.

Ketika Raden Ema Bratakoesoema saparakanca menerbitkan Kalawarta Kudjang (20/01/1956), maka sejarah pun telah mencatat proses perjalanan Kudjang yang mengalami kemajuan cukup pesat. Selain konsisten dalam penerbitannya (seminggu sekali), terbukti juga dalam berbagai terobosannya, seperti mengubah ukurannya menjadi 43 cm X 30 cm, setebal 12 halaman, atau setengah dari ukuran surat kabar biasa, serta oplahnya semakin meningkat; konon pernah mencapai 60.000 eksemplar.

Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan jaman, Kudjang pun mengalami kemunduran; diambang kematian dan mati pada abad ke-21 (baca: tidak terbit lagi). Selanjutnya Drs. H. Uu Rukmana saparakanca mempelopori kebangkitan Kudjang (15/03/05); menghidupkannya kembali dengan “kekuatan penuh” para jurnalis Sunda senior dan jurnalis Sunda muda berpotensi. Bahkan Kudjang (sekarang Kujang, dgp) yang kini mengusung moto ngajaga lembur, akur jeung dulur, panceg ‘na galur mencoba mengubah desain perwajahannya, menambah halamannya (16 halaman), tanpa mengubah ukurannya. Itulah salah satu contoh kematian dan hidupnya kembali sebuah realitas kebudayaan; sebuah media masa Sunda.

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil cipta, karsa dan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat (Drs. H. Rohiman Notowidagdo, “Ilmu Budaya Dasar berdasarkan al-Qur’an dan Hadits”, RajaGrafindo Persada, hal. 25). Sedangkan unsur-unsur kebudayaan (culture universals) terdiri dari bahasa (lisan atau tulisan), pakakas hidup manusia, mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian (seni musik, sastra, teater, tari, rupa, dsb), dan religi.

Berkenaan dengan identitas Ki Sunda (curtutal identity), bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam menunjukkan identitas Ki Sunda. Oleh karena itu, sangat gegabah jika Kang Ermas berpendapat “tidak perlu membesar-besarkan Bahasa Sunda sebagai pengantar kepunahan Ki Sunda”. 

Justru peranan bahasa Sunda jangan dikecil-kecilkan. Saya tidak akan berargumen menggunakan: Basa ciciren Bangsa. Sebab, peribahasa itu bukan made in Sunda, melainkan terjemahan dari bahasa Melayu. Lagi pula, “bangsa” yang dimaksudkan pada peribahasa tersebut, bukan “bangsa” dalam arti kata “seler” atau “suku”, melainkan “bangsawan” (Pancakaki, Ajip Rosidi, Girimukti Pasaka).

Saya tidak yakin, kalau Kang Ermas mengecil-ngecilkan peranan bahasa Sunda. Sebab, saya mencermati andil Kang Ermas sangat besar dalam proses pewarisan budaya Ki Sunda. Buku Tamiang Meulit ka Bitis (1962), Di Pangberokan (1966), Radjetna Hate Awewe (1967), yang ditulis Kang Ermas merupakan satu bukti bahwa sebenarnya Kang Ermas pun sangat mengerti akan pentingnya bahasa Sunda (kebetulan saya salah seorang pengagum karya fiksi Kang Ermas). Jadi, entah motivasi apa yang membuat Kang Ermas memaksakan diri mendebat masalah bahasa Sunda. Sebab, saya  mengungkapkan persoalan bahasa Sunda berdasarkan data yang ada, tanpa membesar-besarkannya.

Dari keragaman suku di seluruh dunia, tentunya ada karakteristik yang membedakan antara satu suku dengan suku lainnya. Maka, perbedaan di wilayah mana yang tampak secara khusus dimiliki oleh Ki Sunda? Busananya? Mata pencahariannya? Sikap hidupnya? Saya pikir, bahasa merupakan identitas Ki Sunda yang patut dipertahankan semaksimal mungkin.

Mari kita perhatikan, baik di lingkungan masyarakat umum, maupun di lingkungan pendidikan, banyak orang Sunda sudah merasa canggung bahkan malu  berbicara dengan menggunakan bahasa Sunda. Alasannya sudah jadi klise: takut salah, karena dalam bahasa Sunda ada undak-usuk (tingkat-tingkat kesopanan berbahasa). Takut dikatakan tidak sopan. Takut di-cap tidak beradab. Dan berbagai ketakutan lainnya, sehingga pada akhirnya memilih untuk tidak menggunakannya sama sekali. Jika hal ini dibiarkan, lambat laun bahasa Sunda akan kian ditakuti; niscaya lambat laun kian terlupakan.

Sadar akan kondisi demikian, tak ada salahnya jika sekarang ini tiba saatnya untuk memikirkan bagaimana menuntaskan masalah undak-usuk Bahasa Sunda, yang sudah menjadi polemik sejak beberapa tahun silam. Undak-usuk Bahasa Sunda, suatu format warisan Mataram, yang menjadikan urang Sunda terbagi menjadi beberapa tingkatan status sosial; cacah sekali, cacah, agak menak, menak, menak pisan, dsb. Jelas, mesti ada terobosan pikiran untuk mencairkan kebekuan undak-usuk Bahasa Sunda.

Berada di ambang kepunahan, dalam konteks kebudayaan Sunda, tidak sinonim dengan putus asa atau ketidakberdayaan. Justru keadaan seperti itu menyiratkan masa-masa perjuangan yang lebih gigih, untuk mempertahankan hirup-huripna Ki Sunda, mengingat tantangan pada abad ini yang natrat semakin besar.

Geliatnya sekelompok urang Sunda tidak dipungkiri, memang sekarang sudah terasa. Betul kata Kang Ermas, terlepas dari apakah itu merupakan proses penyembuhan dari yang sedang gering nangtung ngalanglayung atau geliat lulungu orang bangun dari tidur panjang, atau geliat itu merupakan proses “patah tumbuh, hilang berganti”.

Termasuk geliat sekelompok atau seseorang yang bukan urang Sunda (genetis), tetapi memiliki rasa cinta terhadap Ki Sunda. Contohnya Lembaga Kebudayaan Mekar Parahyangan (Komunitas Tionghoa), yang punya perhatian pada karawitan dan sastra Sunda. Atau Jakob Sumardjo (l. Klaten, 1939), yang banyak memaknai kebudayaan Sunda, seperti yang bisa kita baca pada buah tangan karyanya: Simbol-Simbol Artefak Budaya Sunda (Kelir, 2003).

Juga geliat perjuangan kelompok para pecinta alam, semisal Arga Wilis atau Mahapeka, yang mencurahkan perhatiannya terhadap kelestarian alam Pasundan. Kemudian para praktisi dunia cyber, semisal sundanet.com, atau kusnet, yang telah memperkenalkan khazanah budaya Sunda ke seluruh dunia, melalui dunia maya.

Baik semangat itu terlahir dari rasa optimis ataupun berangkat dari rasa khawatir, sepantasnya kita tetap harus husnudzon. Tentu saja selama geliat tersebut didasari oleh kecintaan terhadap Ki Sunda, yang bermula dari cinta kepada Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.***

Bandung, 2004

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post