Artikel: Anak Muda Memimpin Sunda

Ilustrasi: Mumu Zaenal Mutaqin


Oleh DHIPA GALUH PURBA

Tidak dapat dipungkiri jika korupsi telah terjadi sejak pertama kalinya berdirinya Kerajaan Galuh, masa kepemimpinan Rajaresi Wretikandayun, tahun 670-702. Kisah legendaris Sang Jalantara setidaknya bisa menjadi petunjuk dan sekaligus sebagai bahan analisa, bahwa korupsi selalu berkaitan dengan cinta yang membabi buta terhadap keluarga dan dorongan syahwat yang tidak terkendali.

Jalantara adalah putra mahkota yang terpilih secara “kebetulan”. Ia adalah anak bungsu Wretikandayun. Lantas, kenapa sang raja tidak memilih anak sulung untuk menjadi putra mahkota? Jawabannya memang cukup menyakitkan. Putra sulung dan putra kedua sang raja memiliki keterbatasan jasmani, yang pada saat itu sangat ditabukan untuk memimpin negeri. Kerajaan tidak diperkenankan dipimpin oleh raja yang cacat.

Sang Jatmika alias Sempakwaja, putra sulung yang mestinya memiliki hak mewarisi tahta Galuh, harus kehilangan haknya karena hampir semua giginya tanggal, yang dianggap sebagai kecacatan jasmani. Sedangkan putra kedua, Sang Jantaka menderita penyakit kemir, yang juga divonis memiliki keterbatasan jasmani, dan kehilangan haknya menjadi putra mahkota. Maka putra termudalah yang selanjutnya menjadi ahli waris Galuh, yakni Sang Jalantara.

Jalantara sangat tampan. Kulitnya bercahaya bak diseliputi minyak, sehingga ia dikenal dengan nama Sang Mandi Minyak. Sudah pasti tidak memiliki kecacatan jasmani. Namun sayang sekali, rohaninya yang cacat.

Jalantara tergila-gila oleh Pohaci Rababu, putri Resi Kendan, yang tiada lain adalah kakak iparnya sendiri, istri dari Sang Jatmika. Mungkin saja yang jatuh cinta kepada Pohaci Rababu bukan hanya Jalantara, karena kecantikan dan pesona Rababu yang begitu luar biasa. Tapi laki-laki lain tidak ada yang begitu lancang seperti halnya yang dilakukan Jalantara.

Dengan kedudukannya sebagai yuwaraja sekaligus wakil raja, Jalantara melakukan muslihat untuk menjerat Rababu. Jalantara memohon kepada ayahanda, Sang Wretukandayun, untuk menggelar acara utsawakrama, pesta perjamuan di istana, dengan mengundang para petinggi  dan kerabat kerajaan. Jalantara tahu, saat itu Sang Jatmika sedang sakit.

Dalam kesempatan itulah, Jalantara berharap agar Sang Jatmika mewakilkan kehadirannya kepada istrinya, Pohaci Rababu. Dan memang muslihat itu berjalan sesuai yang direncanakan. Rababu hadir mewakili sang suami. Dan terjadilah skandal di istana Galuh, antara Jalantara dan Rababu.

Jelas bahwa acara utsawakrama yang menghambur-hamburkan uang negara pada saat itu, merupakan korupsi sang petinggi negeri. Meski saat itu belum ada istilah “korupsi”, tetapi acara tersebut dimanfaatkan untuk mencapai keuntungan pribadi, dengan menggunakan biaya kerajaan. Pola korupsi pada zaman kerajaan lebih kepada pemanfaatan kekuasan untuk menggapai hasrat pribadi. Adapun menumpuk harta dan menyembunyikan di tempat-tempat tersembunyi, belum tentu merupakan harta hasil dari korupsi.

Polanya bisa jadi berbeda dengan zaman sekarang. Tapi, faktor-faktor pendorongnya persis sama. Korupsi di zaman sekarang pun banyak yang diakibatkan oleh dorongan syahwat kepada lawan jenis yang tidak terkendali, lalu menggasak uang negara untuk mencapai hasratnya. Perhatikan ketika Jalantara memohon kepada sang ayahanda untuk mengadakan pesta perjamuan. Lalu, bandingkan dengan zaman sekarang.

Ketika anak, istri, atau suami, menginginkan sesuatu, maka cara apapun dilakukan untuk memuaskan orang yang dicintai. Dan bagi para pejabat yang memiliki kekuasaan, seringkali melakukan cara tidak terpuji: menggasak uang negeri, yang bernama korupsi. Dan perhatikan pula ketika Jalantara memanfaatkan kedudukan ayahnya untuk mencapai keinginannya. Jalantara sangat tidak percaya diri, sehingga ia harus menjual nama ayahnya untuk mengadakan pesta perjamuan, sekaligus untuk menanamkan kepercayaan para tokoh penting dan rakyat di penjuru negeri.

Kesalahan terbesar pada masa itu adalah diterapkannya pertimbangan kesehatan jasmani untuk menentukan calon penguasa negeri. Memang kesehatan jasmani penting. Tapi yang lebih penting lagi adalah kesehatan ruhani. Skandal memalukan di kerajaan Galuh mungkin tidak akan terjadi jika tampuk kekuasaan kerajaan diserahkan kepada yang lebih berhak, yakni Sang Jatmika, yang sepanjang hidupnya membaktikan diri untuk kepentingan agama dan kemaslahatan rakyat Galuh.

Mungkin dari kisah itulah salahsatunya, istilah “ngora” (muda) menjadi bernada negatif  jika dikaitkan dengan persoalan kepemimpinan. Diangkatnya Jalantara, sebagai tokoh yang paling muda, dianggap tacan manjing (belum saatnya) karena masih ngora  ilmunya. Ia belum mampu mengendalikan mengendalikan hawa nafsu dan emosinya. Selanjutnya kata “ngora” dalam bahasa Sunda, sering digunakan untuk menunjukkan kemampuan seseorang yang masih dangkal.

Meski demikian,  masyarakat tetap merindukan kehadiran sosok pemimpin muda pemberani, adil dan bijaksana dalam memimpin negeri. Berkembangnya cerita-cerita rakyat yang mengisahkan tokoh muda pujaan, bisa menjadi salahsatu indikasi akan harapan masyarakat kepada tokoh muda yang bisa diandalkan. Lakon Ciung Wanara dalam versi legenda misalnya.

Sebuah cerita yang berlatar kerajaan Galuh. Dengan hanya berbekal seekor ayam jantan, Ciung Wanara bisa mengalahkan raja tamak yang gemar berjudi. Tanpa harus membawa nama ayahnya, Ciung Wanara mendatangi kerajaan Galuh dengan penuh percaya diri. Padahal, dalam cerita tersebut, Ciung Wanara adalah putra raja dari permaisuri Dewi Naga Ningrum yang terbuang, akibat dari kelicikan Dewi Pangrenyep, selir raja yang berambisi menjadikan anaknya menjadi raja.

Kerinduan terhadap pemimpin muda yang adil bijaksana semakin terasa dalam cerita pantun “Lutung Kasarung”. Dari kisah “Lutung Kasarung” dapat diambil salahsatu kesimpulan, bahwa jika di bumi sudah tidak ada lagi pemimpin muda yang sanggup mengurus negeri, maka kalau perlu mendatangkan pemimpin dari kahyangan. Tokoh yang dimaksud adalah  Sanghyang Guru Minda.

Kelicikan Purbararang di negeri Pasir Batang, yang bertindak keji kepada adiknya, Purbasari Ayu Wangi, akhirnya berakhir dengan kemunculan Guru Minda yang mulanya berwujud seekor lutung. Selanjutnya Guru Minda dinaturalisasi menjadi warga bumi, menikahi Purbasari, dan memimpin negeri dengan arif bijaksana.

Dapat dibayangkan betapa tidak ada lagi tokoh pilihan di dunia yang bisa dipercaya oleh masyarakat. Maka dengan hadirnya Guruminda yang diturunkan dari kahyangan, sekaligus pula menjadi kritik tajam atas ketiadaan calon pemimpin negeri yang bisa dipercaya dan diandalkan.

Beruntung kerajaan Galuh pada masa selanjutnya memiliki tokoh Niskala Wastukana, pemimpin muda yang begitu bijak dalam mengayomi negeri. Dengan kehadiran Wastukancana, maka persepsi ngora yang disamakan dengan atah (belum matang) setidaknya bisa terbantahkan. Ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemapuan sosok pemimpin muda terobati oleh Wastukancana.

Wastukancana dikenal sebagai raja yang adil dan minandita. Bahkan dalam Carita Parahyangan, Wastukancana dipuja melebihi raja manapun. Ini adalah penggalan cerita yang menggambarkan kepemimpinan sang tokoh mudah Wastukancana:

Aya deui putra Prebu, kasohor ngaranna, nya eta Prebu Niskalawastu kancana, nu tilem di Nusalarang gunung Wanakusuma. Lawasna jadi ratu saratus opat taun, lantaran hade ngajalankeun agama, nagara gemah ripah. Sanajan umurna ngora keneh, tingkah lakuna  seperti nu geus rea luangna, lantaran ratu eleh ku satmata, nurut ka nu ngasuh, Hiang Bunisora, nu hilang di Gegeromas. Batara Guru di Jampang.”

Niskala Wastukancana adalah putra bungsu Prabu Maha Raja Linggabuana, yang gugur dalam tragedi Pasunda Bubat, 4 September 1357. Keluarga kerajaan Galuh, termasuk permaisuri Dewi Laralisning, putra sulung raja, Citraresmi Diah Pitaloka, beserta prajurit Galuh, gugur dalam palagan mempertahankan harga diri Sunda Galuh. Itulah saksi kelicikan Gajahmada, patih Majapahit yang berambisi menaklukan nusantara, dan sama sekali bukan mempersatukan nusantara.

Saat itu Niskala Wastukancana baru berusia 9 tahun, dan menjadi satu-satunya ahli waris kerajaan Galuh. Ia kemudian diasuh oleh pamannya, Prabu Bunisora Suradipati, adiknya sang Raja Linggabuana. Peristiwa menarik yang perlu dikaji adalah  usaha Bunisora dalam membimbing Wastukancana, yang disiapkan untuk menjadi Raja di Sunda Galuh.

Wastukancana mendapat ajaran dan didikan yang sangat baik dari Bunisora, sehingga pada saat mencapau usia 23 tahun, Wastukancana tidak dianggap ngora kénéh untuk menduduki tahta kerajaan Sunda Galuh. Dalam cerita parahyangan dapat kita simak bahwa meski usianya terbilang muda, tetapi ilmunya sangat mumpuni.

Orientasinya dalam memimpin negeri tidaklah untuk memperkaya diri. Wastukancana sangat taat menjalankan agama, sehingga menjadi suri tauladan bagi seluruh pengisi kerajaan Sunda Galuh. Tidak ada dendam yang tertanam dalam hatinya, meski sebenarnya saat itu sangat memungkinkan bagi Wastukancana untuk membalas sakit hati terkait peristiwa palagan bubat. Ini pun merupakan keberhasilan Prabu Buni Sora Suradipati dalam mendidik dan membimbing Wastukancana.

Berkaca kepada kebijakan Wastukancana dalam memimpin negeri, bisa membenamkan anggapan yang menuduh anak muda tidak akan mampu menjadi pemimpin. Persoalannya bukanlah terletak pada usia. Tidak ada gunanya berusia lebih dewasa, jika selama hidupnya tidak dimanfaatkan untuk belajar mengerti makna kehidupan, sekaligus mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Sebaliknya, tokoh yang berusia muda akan lebih matang untuk memegang kepemimpinan jika dalam dirinya tertanam sifat-sifat kebaikan dan kebijaksanaan. Seperti halnya Wastukancana, yang dalam usia begitu muda, tetapi telah memiliki kepekaaan sosial yang begitu tinggi, sehingga ia mampu memahami apa yang dirasakan dan diinginkan masyarakat. Memimpin negeri dalam 104 tahun tanpa gejolak ketidakpuasan, merupakan prestasi seorang pemimpin yang luar biasa.

Abah Ugi atau Ugi Sugriwa Rakasiwi, Ketua Kampung Adat Ciptagelar (kedua dari kiri) 


Kepemimpinan Anak Muda di Kampung Adat
Sekarang sudah bukan lagi zaman kerajaan. Tapi setidaknya masih ada petunjuk yang bisa menjadi potret kepemimpinan masa silam. Diantaranya adalah tatanan kehidupan masyarakat adat. Di tatar Sunda, masih banyak kampung adat yang tersebar di berbagai daerah, dan tetap konsisten menjalankan aturan adat.

Salahsatunya adalah Kasepuhan Adat Ciptagelar, yang diperkirakan sebagai keturunan Prabu Siliwangi. Secara administratif, Kasepuhan Ciptagelar  berada di wilayah Désa Sirna Rasa, Kacamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.

Kasepuhan Ciptagelar merupakan induk dari 568 kasepuhan adat yang tersebar di wilayah Sukabumi, Bogor, dan Banten. Pemimpin Kampung Adat Kasepuhan Ciptagelar adalah seorang anak muda bernama Ugi Sugriwa Rakasiwi. Ia muali diangkat menjadi Abah (sebutan untuk pemimpin kasepuhan) pada tahun 2007. Tentu saja usia yang masih sangat muda. Sementara Abah Ugi memegang tanggungjawab untuk memimpin jutaan masyrakat adat dengan tetap harus berpegang teguh pada aturan adat yang telah berlangsung selama ratusan tahun.

Meski berusia muda, Ugi senantiasa dipanggil Abah oleh seluruh masyarakat. Abah Ugi telah menjadi sosok panutan dan suri tauladan. Ciptagelar merupakan kampung adat yang lebih terbuka terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap melakukan proteksi yang kokoh untuk menjaga keutuhan alam.

Dalam kesehariannya, masyarakat Ciptagelar selalu bersinergis dengan alam. Apalagi pada umumnya mata pencaharian masyarakat adalah petani. Maka, menjaga keutuhan alam adalah sebuah keniscayaan. Di dalam masyarakat adat, merusak alam adalah perbuatan yang sangat tabu, bahkan kejahatan yang sangat melanggar  hukum adat.

Dalam kepemimpinan Abah Ugi, ada terobosan yang cukup mencengangkan berkenaan dengan teknologi informasi. Di Ciptagelar telah memiliki stasiun radio dan televisi, yang bisa diakses melalui pesawat televisi dan radio. Selain itu, wifi juga tersedia.

Masyarakat Ciptagelar tidak perlu memikirkan untuk membayar rekening listrik, karena disana terdapat turbin, yang memanfaatkan air untuk membangkitkan listrik. Terang benderanglah Kampung Adat Ciptagelar, tanpa harus melibatkan PLN. Abah senantiasa memikirkan hal-hal yang harus dikerjakan untuk mensejahterakan masyarakat, sehingga ia menjadi pemimpin kharismatik yang dihormati dan dicintai masyarakat.

Setiap peristiwa penting di tengah masyarakat, misalnya melahirkan, mengawinkan, sunatan, selalu diikuti oleh dibangunnya leuit (lumbung padi). Tidak heran kalau di Ciptagelar terdapat banyak leuit. Sementara dalam aturan adat, tidak diperkenankan jual-beli padi, beras, dan segala makanan yang terbuat dari beras.

Ini merupakan sistem ketahanan pangan masyarakat adat yang sampai saat ini terpelihara. Tidak akan ada kelaparan di kampung adat. Kesenjangan sosial pun ditekan sedemikian rupa, sehingga tercipta tatanan kehidupan yang harmonis, mengutamakan gotong-royong, saling tolong-menolong, dan bersama-sama menjaga alam.

Setiap tahun digelar acara upacara adat seren tahun. Dalam acara itulah, Abah berkewajiban melaporkan segala kegiatan yang berlangsung selama satu tahun, termasuk melaporkan aliran uang, kekayaan, dan lain-lain. Itulah LPJ (Laporan Pertanggungjawabab) Abah yang dilakukan setiap tahun.

Sepertinya tidak ada korupsi di sana. Sebab, jika Abah melakukan korupsi, kampung adat bawahannya akan berontak dan bisa saja menggulingkan kepemimpinan Abah Ugi.

Anak muda bisa menjadi pemimpin yang bijak dan amanah, jika tugasnya  dimanfaatkan untuk beribadah. Bukan memperkaya diri dengan harta, melainkan memperkaya diri dengan ilmu yang bermanfaat. Para pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya adalah pemimpin yang mencintai sepenuh hati kepada rakyatnya. Jadi, persoalan kepemimpinan adalah persoalan cinta. Dengan cinta yang murni, mana mungkin ada perhitungan untung-rugi. Dengan cinta yang tulus, manamungkin menghianati. Dengan cinta sejati, manamungkin tergoda untuk korupsi.***



0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post