Oleh DHIPA GALUH PURBA
Prolog
Pada hakikatnya ilmu pengetahuan bisa diperoleh di mana saja, di delapan penjuru angin dalam dunia ini. Setiap helai daun, setiap tetes air, atau setiap partikel sentuhan angin adalah sumber ilmu. Namun, secara syariat, tempat mencari ilmu perlu dilembagakan agar sistem pendidikan terprogram dan terpola secara sistematis.
Pendidikan pun harus berjenjang sesuai dengan tingkatan usia dan tingkatan kemampuan masyarakat. Berdasarkan kebutuhan akan kelembagaan itu, maka muncullah yang dinamakan peraturan. Di Indonesia, sekarang ada Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003.
Sekolah, baik itu SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi, merupakan lembaga pendidikan formal. Idealnya, dengan pendidikan formal, kebutuhan masyarakat akan ilmu pengetahuan sudah tercukupi. Masyarakat Indonesia diharapakan sudah mampu menjawab tantangan jaman.
Tetapi dunia berputar sungguh di luar dugaan, dahsyat dan cukup membingungkan. Kita kelimpungan, terseok-seok dalam berbagai temuan baru para teknokrat dunia Barat. Dan lebih parah lagi ketika kita dipaksa menjadi konsumen dari temuan-temuan itu.
Sistem pendidikan di Indonesia pun keteteran. Lulusan pendidikan formal tak mampu memenuhi tuntutan pasar kerja. Lulusan pendidikan formal belum mampu mendayagunakan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia yang beraneka ragam dan berlimpah ruah. Akhirnya kita terpaksa ngéngkén (meminta bantuan orang lain) untuk menggarap sawah dan kebun kita, yang hasilnya mereka jual kembali kepada kita.
Semua itu berhulu dari pendidikan. Sejatinya pendidikan dapat menjawab semua pertanyaan tentang segala hal di bumi Indonesia tercinta yang alamnya kaya-raya ini. Pendidikanlah yang semestinya memberi harapan akan kesejahteraan bangsa ini.
Namun, setelah Indonesia merdeka lebih dari 60 tahun, kenyataannya kita belum mampu berdiri sejajar dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, apalagi Australia. Kesejahteraan masih menjadi impian, dan kesetaraan pun masih sekedar angan-angan.
Pemandangan yang tidak sedap telah menjadi santapan sehari-hari dan dianggap suatu hal yang biasa: ketika kita menyaksikan anak-cucu pendiri negeri yang kaya-raya hasil buminya, ternyata harus menjadi gelandangan di tanah airnya sendiri.
Orang Sunda mempunyai prinsip soméah hadé ka sémah (ramah dan baik hati kepada tamu). Kini, kalimat itu telah ditambah dengan: nu boga imah saré dina wadah runtah (pemilik rumah tidur di tempat sampah).
Kekurangan pada sistem pendidikan formal disadari betul oleh masyarakat. Pendidikan formal memiliki keterbatasan SDM, dana, waktu, dan lain-lain, sehingga masyarakat mencari dan membentuk lembaga pendidikan nonformal berupa komunitas-komunitas yang bisa menutupi kekurangan tersebut.
Maka bermunculanlah tempat kurusus, pusat kegiatan masyarakat, kelompok belajar, paguyuban, sanggar-sanggar, serta komunitas-komunitas. Meskipun ada beberapa lembaga nonformal yang dibentuk pemerintah, seperti Balai Latihan Kerja (BLK), namun karena jumlahya terbatas dan hanya terdapat di perkotaan, tentu saja belum mencukupi kebutuhan masyarakat.
Tantangan dan Harapan
Peran komunitas pada kenyataanya tidak sekedar menjadi “menu pelengkap” pendidikan formal. Komunitas lahir dari masyarakat, dikelola oleh masyarakat, dan tentu untuk kepentingan masyarakat. Komunitas lahir karena kebutuhan, bukan karena keharusan, maka ia menjadi sesuatu yang hidup dan berkembang.
Komunitas tidak pernah bergantung kepada pemerintah, karena masyarakatlah yang menghidupkan dan menghidupinya. Mereka membuat perkumpulan sesuai dengna kebutuhan lingkungan sekitarnya. Komunitas ini bisa menggerakkan komponen masyarakat, serta bahu-membahu mewujudkan harapannya. Komunitas menjelma menjadi sarana untuk mencari ilmu, bertukar pengalaman, menambah wawasan, dan menuangkan berbagai ekpresi kreatif masyarakat.
Antara pendidikan formal dan komunitas-komunitas yang dibentuk masyarakat (baca: pendidikan nonformal) ibarat dua sisi mata uang, keduanya ada saling ketergantungan dan saling melengkapi. Komunitas lahir dari kebutuhan yang riil, maka hampir di setiap lingkungan masyarakat lahirlah komunitas-komunitas, seperti komunitas seni (musik, sastra, seni rupa, drama), komunitas olahraga, komunitas iptek, komunitas baca, komunitas pencita alam, dan lain-lain.
Komunitas adalah kelompok manusia yang hidup dan saling berinteraksi di dalam lingkungan tertentu. Mereka berkumpul untuk bertukar pikiran dan berekpresi mengenai bidang-bidang yang dianggapnya penting. Sebagai penggiat di komunitas sastra dan budaya, saya menangkap adanya gejala positif dimana sekarang banyak siswa atau masyarakat bergabung dalam komunitas-komunitas.
Bagi siswa yang bergabung dengan komunitas, setidaknya dapat memperluas pergaulan, dan penting untuk wahana pengembangan diri. Pada usia sekolah, banyak hal yang perlu dipelajari, dan tentu saja apa yang dipelajari di komunitas banyak memberikan manfaat bagi perkembangan psikologi anak. Mereka akan belajar bagaimana cara berkelompok, berorganisasi, memenej event, dan lain sebagainya.
Dengan adanya komunitas, tentu saja besar harapan kita agar para remaja lebih banyak mengisi waktu dengan hal-hal yang bermanfaat, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk lingkungan sekitarnya. Komunitas yang baik akan menggiring para remaja untuk melakukan kebaikan dan belajar berpikir serta bersikap dewasa.
Kecil kemungkinan bagi mereka untuk memikirkan hura-hura apalagi tawuran. Dan mereka pun akan lebih matang dalam mempersiapkan diri untuk terjun ke dalam masyarakat, setelah selesai menuntaskan pendidikannya di lembaga formal. Bagi yang sudah terdidik dalam sebuah komunitas, tentu saja tidak akan kaku, canggung, apalagi cemas untuk melangkah dan mengukir dunia.
Tanpa bermaksud goong nabeuh manéh (peribahasa Sunda yang artinya memuji diri sendiri atau menceritakan kelebihan diri sendiri), saya mau sedikit mengambil contoh dari perjalanan Jendela Seni Bandung.
Komunitas ini didirikan pada 20 September 1998 oleh Erwan Juhara, Acep Iwan Saidi, Suhendra Juhara, Ida Rukmana, Wawan Ruswan, Riyanto Muradi, Haryawan, Dodo Abdullah, Eddy Hermanto, dan Supriyadi FZ. Jendela Seni mengusung slogan “Virus Pengembangan Seni Budaya Bangsa”.
Kegiatannya antara lain mengadakan pelatihan menulis sastra, mengafresiasi sastra, memusikalisasi puisi, menggelar lomba menulis, diskusi sastra, sampai menjadi event organizer berbagai acara semisal Pameran Buku Bandung atau kunjungan sastrawan ke sekolah. Diantaranya pernah mengunjungi SMPN 4 Tangerang.
Hasil dari latihan menulis dan mengafresiasi sastra, selanjutnya dipilih untuk dimuat dalam Jendela Newsletter yang pada awalnya terbit secara berkala dalam setiap bulan, serta dibagikan secara gratis kepada anggota Jendela Seni dan masyarakat dari berbagai komunitas.
Hasilnya sungguh menggembirakan. Bermula dari Jendela Newsletter terlahirlah beberapa orang penulis potensial. Misalnya Dewi RSD, yang mengawali menulis cerpen “Sikat Gigi” di Jendela Newsletter, menjadi bahan perbincangan hangat dalam surat kabar nasional. Bukan hanya karena Dewi RSD cantik, tetapi karyanya memang berkualitas.
Saya pun masih ingat ketika karya seorang penyair SMA, Sylfi Purnamasari, mampu menyedot perhatian di kalangan sastra Indonesia. Bahkan penyair Sutardji sempat terkagum-kagum dengan karya siswi SMA tersebut. Bukan hanya menulis puisi.
Dia semakin terlatih untuk menulis apapun, sehingga dalam berbagai lomba penulisan pun sering menjadi juara, termasuk dalam lomba menulis esai tentang PLN. Demikian pula halnya dengan para siswa atau mahasiswa lain yang pernah bergabung di Jendela Seni, banyak diantaranya yang sudah terbiasa menulis cerpen, sajak, artikel, bahkan menyusun buku.
Fakta lain mengenai pengaruh komunitas, saya temukan ketika saya diminta menjadi juri dalam berbagai lomba, semisal lomba baca puisi, mendongeng, pidato, dan lomba menulis tingkat siswa, mahasiswa, atau umum. Dari lomba-lomba tersebut, hampir dipastikan bahwa semua pemenangnya adalah peserta yang selain belajar di lembaga formal, ia pun megikuti kegiatan di sanggar atau komunitas tertentu.
Saya melihat tingkat kecakapan (emotional intelligence) dan kepercayaan diri siswa atau mahasiswa yang tergabung dalam sebuah komunitas, lebih tinggi dibanding yang hanya mengandalkan pelajaran di lembaga formal.
Tanpa bermaksud mengecilkan peran lembaga formal pula, saya melihat bahwa di lembaga formal segala sesuatu menjadi serba terbatas. Waktu, dana, dan SDM. Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang hanya memiliki waktu beberapa jam dalam setiap minggu, tidak akan cukup untuk mengarahkan siswa yang berminat mendalaminya lebih jauh.
Mereka bisa saja mengenali nama WS. Rendra, Ajip Rosidi, Acep Zamzam Noer, atau sastrawan lainnya. Namun, mereka tidak akan punya kesempatan banyak untuk mengenali karya-karyanya jika hanya mengandalkan pelajaran dari gurunya di kelas. Di sinilah komunitas sastra, komunitas baca, atau forum diskusi berperan.
Seperti halnya sastrawan muda Aris Kurniawan, Husnul Huluqi, atau Wowok Hesti Prabowo, mereka kian bersinar dengan adanya Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Kita juga mengenal Forum Lingkar Pena, yang telah melahirkan para penulis handal, dan berbagai komunitas lainnya yang sampai saat ini semakin eksis.
Bukan hanya sastrawan. Ternyata para kritikus sastra pun banyak yang terlahir dari komunitas, semisal Nirwan Dewantoro, Hawe Setiawan, Romy F. Awuy, Bambang Sugiharto, Ahmad Adnan Herpada, Ajip Rosidi, dan lain-lain. Hal itu cukup menunjukkan bahwa Fakultas Sastra di perguruan tinggi, belum cukup untuk melahirkan para sastrawan dan kritikus sastra yang handal.
Banyak hal yang tidak bisa diakomodir oleh pendidikan formal. Meski dalam undang-undang, sekolah harus memberdayakan setiap potensi siswa, tetapi pada kenyatanana terbentur dengan berbagai persoalan, terutama SDM, dana, dan waktu.
Tidak semua sekolah mampu memfasilitasi dan mewadahi potensi siswanya. Meski sekarang muncul sekolah-sekolah bertarap internasional (SBI), tetapi tetap saja belum bisa mewadahi dan memberdayakan semua pontesi siswa. Bermunculannya komunitas, sanggar, atau paguyuban, merupakan salah satu indikator akan hal itu.
Pada bidang-bidang seni budaya, saya pikir lingkungan komunitas lebih unggul dibandingkan dengan sekolah. Saya melihat banyak sekali siswa yang memiliki prestasi di bidang sastra, drama, musik, atau seni rupa, adalah mereka yang selain belajar di sekolah juga aktif di sanggar-sanggar.
Komunitas telah memberikan ruang yang luas bagi siswa untuk berimajinasi, berapresiasi, dan berekpresi. Dengan kata sederhana, sekolah memberikan kerangka teori dan komunitas memberikan banyak praktik. Keterpaduan antara teori dan praktik inilah yang diperlukan siswa. Sedangkan jika hanya mengandalkan lembaga formal, maka keselarasan itu tidak akan tercapai.
Bagi masyarakat umum, komunitas adalah sarana untuk mengembangkan pengetahuan empirisnya. Pengalaman hidupnya dapat ditranspormasikan kepada anggota masyarakat yang lain dalam bentuk yang lebih fleksibel. Sebaliknya ia juga menerima transpormasi ilmu dan pengalaman dari anggota yang lain.
Dalam komunitas, seseorang dapat mencari dan mengembangkan kerangka ideologi untuk mengembangkan kehidupan. Komunitas dalam arti luas adalah sarana bersosialisasi dengan masyarakat seideologi untuk mewujudkan cita-cita. Masyarakat dapat mengeksplorasi kemampuan empirisnya, sehingga isi batinnya bisa tersalurkan.
Namun komunitas yang kini ada tak semuanya bisa mengakomodir kebutuhan masyarakat. Dari yang saya amati, komunitas yang paling banyak adalah komunitas seni budaya. Bermunculannya komunitas seni budaya, adalah semacam indikator bahwa hal yang bersifat apektif kini menjadi kebutuhan penting.
Hal-hal yang bisa memenuhi kebutuhan batiniaah terlihat sepertinya tidak diperoleh di tempat lain, termasuk sekolah formal. Saya menduga sekolah formal terlalu berkutat pada hal yang bersifat kognitif (ilmu pengetahuan).
Pada akhirnya, karena komunitas seni budaya pertumbuhannya lebih cepat, komunitas-komunitas lain pun tumbuh di dalamnya, sebut saja komunitas pencita alam, pelestari air, pencinta demokrasi, dan lain sebagainya. Sering kali ide-ide tentang kebersihan, pelestarian lingkungan atau ajakan mencintai produk dalam negeri justru muncul dari komunitas seni budaya.
Selalu Ada Hitam dan Putih
Dalam segala zaman, hitam dan putih itu selalu ada, saling bersaing, dan saling mengalahkan. Itulah pilihan jalan hidup yang memang telah tersurat dalam wahyu Ilahi dan sabda Nabi. Tentunya semua manusia ingin selamat di dunia dan bahagia di akhirat. Sayang, semua itu tidak cukup dicapai dengan sekedar “ingin”. Sebab, pada kenyataannya keinginan itu terkadang malah berseberangan dengan apa yang kita lakukan.
Terlebih lagi dalam bidang pendidikan. Menjamurnya berbagai komunitas yang mengarahkan pada hal-hal kebaikan, diikuti pula oleh komunitas yang mengarahkan pada hal-hal sebaliknya, dan tentu tidak kalah marak.
Kita mesti lebih waspada terhadap berbagai komunitas yang justru mengarahkan para remaja untuk melakukan hal-hal tidak terpuji. Kenapa perlu waspada? Sebab, komunitas tersebut ada yang nampak dengan jelas, ada yang samar-samar, dan ada yang tidak nampak sama-sekali. Kalau yang sudah terlihat jelas, tentu kita akan tahu sejak awal.
Persoalannya, ada juga komunitas yang berkedok ajaran agama tertentu, tetapi ternyata di dalamnya mengajarkan hal-hal yang sangat tidak terpuji, seperti melawan orang tua, menikah tanpa perlu wali (bagi kaum akhwat), dan sebangsanya.
Seiring perkembangan sains dan teknologi, kita pun tidak lagi mempunyai filter untuk menyaring “tamu-tamu” dari luar. Kini, “tamu-tamu” itu semakin bebas untuk memasuki kantor, rumah, atau bahkan langsung ke kamar tidur melalui piranti yang sangat canggih, tanpa ada sensor.
Hanya satu-satunya sensor terakhir, yaitu dalam diri masing-masing. Kita tahu bahwa pemerintah tidak berdaya dalam memblokir situs-situs porno di internet. Sementara saat ini masyarakat kita, terutama di perkotaan, semakin banyak yang mempunyai ketergantungan terhadap internet. Tidak ada yang salah jika dengan hal itu. Sebab, kita pun tahu bahwa kecanggihan internet bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik, termasuk sebagai media pendidikan.
Memasuki zaman jejaring sosial facebook, twitter, dan sebangsanya, manusia seolah memiliki dunia yang baru. Dari mulai tukang becak sampai pejabat, kini sudah mempunyai akun di facebook. Terlahir pula berbagai komunitas dari jejaring sosial tersebut. Sebagai contoh, di Bandung telah berdiri berbagai komunitas sastra yang terbentuk melalui jejaring sosial.
Hal tersebut tentu sangat menggembirakan sebagai salahsatu pendorong kehidupan sastra pada masa yang akan datang. Namun jangan lupa juga, disamping terbangun berbagai komunitas sastra, pecinta budaya, atau pecinta lingkungan, di jejaring sosial pun berdiri komunitas pecinta tante, komunitas bispak, dan sebangsanya, yang tentu saja tidak kalah semarak.
Epillog
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Oleh karena itu siapa pun berkewajiban ikut andil dalam mensukseskan penddidikan nasional, dalam bentuk apapun. Sebagai pengurus komunitas, saya merasa peran komunitas perlu ditingkatkan, diperluas, dan manajemennya diperbaiki supaya lebih professional.
Sebab, persoalan komunitas pada umumnya adalah manajemen dan program kerja. Karena komunitas adalah kumpulan orang-orang yang seideologi, maka pengelolaananya pun sering kali berdasarkan menejemen ideologis. Sering kita melihat adanya benturan antara komunitas sejenis, hanya karena perbedaan ideologi.
Jika saja pengelolaan komunitas lebih profesional, hal itu tentunya tidak akan terjadi. Kelemahan dalam manajemen juga berimpilaksi pada kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan. Pelaksanana kegiatan seringkali tidak rutin, tidak kontinyu, tidak berjenjang, dan tak ada evaluasi. Hal itu mengakibatkan sulitnya mengukur keberhasilan sebuah program dalam komunitas.
Namun, dengan segala kekurangan pada manajemen komunitas, saya masih tetap optimis, komunitas akan tetap hidup dan bisa memberikan sesuatu yang berarti bagi kehidupan masyarakat. Komunitas bisa mengisi ruang-ruang “bolong” yang terdapat di tubuh pendidikan formal. Komunitas akan tetap bermunculan pada kehidupan masyarakat apa pun sebagai wahana mengembangkan kreativitas dan sarana untuk berekpresi.***
Disampaikan dalam Seminar Pendidikan “Pemberdayaan Pendidikan Nonformal Berbasis Komunitas”, 29 Mei 2010 di Islamic Center, Cikupa, Tangerang, yang digelar oleh Komunitas Balebambu, Tangerang, Banten
Komentar