Artikel - Durma Drama Sunda

Teater Palagan Bandung, para tuna netra yang menggarap naskah drama BADOG


Oleh DHIPA GALUH PURBA

Ti mamana ngajugjug Rumentang Siang
Patandang seja tanding
Minton drama Sunda
Alpukah calagara
Teater Sunda Kiwari
Na selang mangsa
Dua taun sakali


DENGAN bubuka sebait pupuh durma tersebut, yang maknanya akan diuraikan dalam tulisan ini, izinkan saya menanggapi pernyataan Kepala Disbudpar Jabar Drs. H.I. Budhyana, M.Si. mengenai nasib teater berbahasa Sunda. Adapun isi pernyataan H.I. Budhyana adalah, ”Kurangnya apresiasi masyarakat terhadap teater Sunda karena kemasan pergelarannya kurang menarik. Selain itu, tema atau judul pergelaran pun tidak mengangkat hal-hal yang aktual dan faktual, serta tidak kreatif.” (”GM”, 12/02).

Dibandingkan dengan dua tahun sebelumnya, FDBS (Festival Drama Basa Sunda) pada tahun ini jauh lebih semarak dengan membeludaknya peserta hingga mencapai 71 kelompok. Dari seluruh peserta, lebih dari 50% merupakan kelompok teater remaja tingkat SMP dan SMA se-Jawa Barat.

Mereka telah berusaha tampil baik dengan kemasan yang inovatif dan menarik. Tiga juri yang terdiri atas Rachman Sabur, Godi Suwarna, dan Ayi Kurnia, sering berdecak kagum menyaksikan pergelaran drama garapan kaum remaja itu. Mereka bukan sekadar mejeng di atas panggung karena mereka menggarap pergelaran dengan serius dan bersemangat. Tentunya dengan segala kecintaan mereka terhadap drama berbahasa Sunda.

Ada juga hal yang tidak kalah mengejutkan pada ajang festival drama dua tahunan ini. Yakni, tampilnya kelompok Palagan Teater (23/02) yang diperkuat oleh pemain dan sutradara penyandang tunanetra. Dengan mengandalkan ketajaman telinga, hidung, dan indra lainnya, mereka bisa bermain drama Sunda dengan mulus dan lepas.

Mereka mampu mengucapkan dialog-dialognya sesuai naskah serta mengatur blocking-nya dengan rapi. Dari penggarapan pergelaran yang serius, mereka tampak sekali tidak sekadar tampil, apalagi minta dikasihani.

Mereka malah cukup kompetitif untuk masuk kandidat pemenang FDBS X. Tanpa melihat, kelompok Palagan Teater bisa mementaskan drama. Tanpa melihat pula, H.I. Budhyana berani memberikan pernyataan tentang perkembangan drama Sunda.

Di sisi lain, Gedung Kesenian Rumentang Siang pun selalu dibanjiri oleh penonton yang lagi-lagi sebagian besar berasal dari kalangan siswa SMP dan SMA.

Dalam hal ini tentunya tidak lepas dari peran guru pemegang kebijakan di sekolah yang bersangkutan. Oleh karena itu, sekolah yang peduli terhadap perkembangan drama Sunda, perlu diacungi jempol.

Sebab, menggiring murid-murid menyaksikan drama Sunda merupakan salah satu cara pelatihan mengapresiasi kesenian, pun sebagai proses regenerasi pencinta drama Sunda.

Ketika saya amati, umumnya murid-murid sekolah terlihat enjoy dan bisa menikmati pementasan drama Sunda. Bahkan, tidak sedikit pula murid yang ketagihan nonton lagi pada pementasan berikutnya, tanpa harus digiring oleh gurunya.

Alhamdulillah, menonton drama Sunda tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Sebab, ada etika dan tata tertib yang mesti ditaati penonton drama Sunda.

Dalam hal ini, tanpa disadari, murid-murid pun dididik untuk belajar menjadi penonton yang baik dan tertib. Dengan begitu, tidak mustahil jika kemudian menonton pergelaran kesenian macam apa pun, mereka akan terbiasa menjaga ketertiban, menjauhi segala tindakan yang berpotensi mengakibatkan kerusuhan atau bahkan korban jiwa.

Sejak tahun 1990 (bukan 1998), Teater Sunda Kiwari secara kontinu dan konsisten menggelar FDBS dua tahun sekali. Dari tahun ke tahun, peminatnya semakin bertambah dan kemasan konsep garapnya kian inovatif serta menarik.

Persaingan pun semakin ketat. Bina Budaya Cianjur adalah juara umum FDBS pertama (1990). Juara umum selanjutnya, berturut-turut, Teater Sembada Kabupaten Bandung (1992), Teater Dongkrak Tasikmalaya (1994), Teater Serang (1996), Teater Lorong Subang (1998, 2000, dan 2004), Lises Citraresmi Unwim Sumedang (2002), dan Teater Toneel (2006). Pada tahun ini, semua peserta berusaha menampilkan kreasi terbaiknya untuk meraih puncak prestasi. Tentu dengan meningkatkan kualitas kemasan garapan yang lebih menarik.

Jika masyarakat kurang peduli terhadap drama Sunda, tentu bukan persoalan kemasan pergelaran yang kurang menarik. Masalahnya lebih terletak pada usaha memperkenalkan drama Sunda kepada masyarakat.

Contohnya, TVRI Jabar atau RRI Bandung yang biaya operasionalnya disubsidi pemerintah, ternyata tidak terketuk hatinya untuk mengadakan acara khusus seperti siaran langsung FDBS dari Gedung Kesenian Rumentang Siang.

Stasiun televisi lokal yang mengaku mencintai kebudayaan Sunda, tidak ada satu pun yang memanfaatkan FDBS X untuk dijadikan semacam acara istimewa dalam rangka memperkenalkan drama Sunda kepada masyarakat sekarang. Itu terjadi, kemungkinannya karena acara FDBS X dianggap tidak akan menghasilkan keuntungan materi.

Saya tidak akan berkomentar terhadap persoalan tema atau judul pergelaran yang dianggap tidak aktual, tidak faktual, dan tidak kreatif. Sebab, saya termasuk salah seorang penulis naskah drama dalam FDBS X. Untuk masalah tersebut, saya serahkan kepada masyarakat.

Dari lubuk hati yang paling dalam, saya mengucapkan banyak terima kasih atas kritikan pangersa H.I. Budhyana. Mudah-mudahan Beliau benar-benar telah membaca dan mendalami naskah Jeblog, Rorongo, Badog, Randu Jalaprang, Akalna Si Apin, dan Karikatur Nu GĂ©lo. ***


Dimuat di Rubrik Khazanah HU. Pikiran Rakyat, 1 Maret 2008

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post