Bersuara di Jomantara - Persiapan Menjadi Reporter Radio



Catatan DHIPA GALUH PURBA


Dan sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. 
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
(Q.S. Luqman: 19)


SEBAB keledai tidak membaca buku komunikasi dan tidak belajar olah vokal, sehingga tidak tahu kapan harus bersuara dan kapan tidak boleh bersuara, serta bagaimana membuat suara menjadi enak didengar dan mengandung makna.

Akhirnya sosok keledai dijadikan kiasan untuk menggambarkan orang bodoh hingga tercipta sebuah peribahasa yang berbunyi keledai hendak dijadikan kuda, yang artinya orang bodoh hendak disamakan dengan orang pandai.

Peribahasa itu saya temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003: 531). Meski kuda pun rasanya kurang begitu cocok dikiaskan sebagai orang pandai.

Tapi… sudahlah, biarkan keledai yang ingin bersuara kepada kuda atau kuda yang mau bersuara kepada keledai, keduanya tidak mungkin diterima menjadi reporter radio. Hanya manusia yang berpeluang menjadi reporter.

Jadi, bagi yang bercita-cita menjadi reporter, sebaiknya belajar bersuara untuk dapat didengar, dimengerti, dan dipahami.

Oleh karena itu, modal utama menjadi reporter tidak cukup hanya sekedar punya suara, sebab keledai pun memiliki suara. Seorang reporter harus berusaha melatih agar suaranya enak didengar dan perlu.

Itu sebabnya ada pelatihan olah vokal, untuk melatih suara menjadi berwibawa sebagai seorang reporter dan memiliki kejelasan, sehingga para pendengar bisa menikmati dan mengerti terhadap apa yang disuarakan.

Sedangkan untuk menjadikan suara agar dianggap “perlu”, tentunya memerlukan muatan kata yang berbobot. Dalam hal ini, tentu saja punya suara bagus atau unik pun belum cukup. Di sana ada artikulasi, speed, dan muatan yang menggambarkan lebarnya wawasan.

Para pendengar harus diajak untuk turut melihat, turut mendengar, dan turut merasakan segala hal yang dilaporkan seorang reporter radio. Seperti halnya laporan di media cetak, laporan reporter radio pun harus memenuhi unsur 5 W + 1 H.

Jika reporter radio melakukan wawancara dengan narasumber, tentu memerlukan pertanyaan yang cerdas, singkat dan menghindari obrolan yang bertele-tele. Ingat bahwa reporter radio sangat terikat dengan waktu.

Berbeda dengan wartawan media cetak yang bisa agak santai ketika melakukan wawancara, karena yang akan dipersembahkan kepada masyarakat adalah hasil olahan wawancara tersebut dalam bentuk tulisan.

Meski begitu, dalam hal memberikan pertanyaan, baik reporter media cetak maupun elektronik, harus benar-benar menyodorkan pertanyaan yang cerdas. Silahkan membuka buku yang berkenaan dengan tekhnik wawancara, agar bisa membedakan bagaimana caranya mewawancarai ilmuwan, olahragawan, artis, orang yang baru terkena musibah, dsb.

Dalam jurnalistik radio, ada beberapa jenis berita berdasarkan fungsi radio siaran, yaitu menghibur, memberi informasi dan mendidik. Onong Uchjana Effendi (1991:150) membagi jenis-jenis berita radio menjadi:

Warta Berita (Straigh Newscast), Merupakan laporan tercepat mengenai berbagai peristiwa diseluruh dunia.

Editorial Udara (Editorial on the air). Bisa disebut juga sebagai analisis berita dan komentar, adalah opini dalam bentuk analisis mengenai suatu topik, yakni berita terpenting yang menyangkut khalayak terbanyak. Opini tersebut adalah dari stasiun radio yang menyiarkan berita editorial tersebut.

Wawancara udara (Interview on the air). Adalah tanya jawab yang diudarakan antara reporter radio dengan seseorang. Dan suara kedua (Nara sumber) diperdengarkan kepada khalayak pedengar.

Ficer udara (Feature on the air), diklasifikasikan sebagai ficer minat insani dan ficer berita, kisah ficer ini, bisa mengenai beberpa hal, seperti pahlawan 10 November, biograpi perjuangan Ibu Kartini, petualangan seperti perjalanan mengelilingi dunia, ilmu pengetahuan seperti penemuan obat penyakit AIDS.

Reportase (On the scene reporting), atau siaran pandangan mata yang sering juga disebut dengan "Actuality Reporting", adalah siaran yang dilakukan diluar studio.

Varia berita (Newsreel). Adalah rangkaian berita terpenting yang diambil dari Setiap masa siaran warta berita, lalu didramatisir dengan musik dan efek suara.


Jurnalistik radio baru populer setelah reformasi bergulir. Bahkan radio Elshinta yang mulanya hanya radio lagu, berubah total menjadi 100% radio berita. Pada bulan Oktober 1998, lahir Kantor Berita Quadrant, yang menyuplai berita untuk grup di bawah manajemen Masima Corporation, seperti Prambors, M97, Delta, Female, Bahana, dan radio satu grup yang berada di daerah.

Setahun kemudian, tepatnya April 1999 Institut Studi Arus Informasi (ISAI) secara resmi mengoperasikan Kantor Berita Radio 68H yang berlokasi di Komunitas Utan Kayu, Jakarta Timur.

Pada zaman orde baru, radio-radio disuplai dengan 13 program berita dari RRI.

Karakteristik laporan di radio, menurut ASM. Romli, adalah

Auditif. (untuk didengarkan, untuk telinga, untuk dibacakan atau disuarakan);
Spoken Language. Menggunakan bahasa tutur atau kata-kata yang biasa diucapkan dalam obrolan sehari-hari (spoken words).

Kata-kata yang dipilih mesti sama dengan kosakata pendengar biar langsung dimengerti;  Sekilas, tidak bisa diulang, karenanya harus jelas, sederhana, dan sekali ucap langsung dimengerti; global, tidak rumit***



Didukung oleh referensi dari:

Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Terapan, 2005. Jurnalistik Terapan, Pedoman Kewartawanan dan Kepenulisan. Bandung: Batic Press.
Onong Uchjana Effendi. 1991. Radio Siaran Teori dan Praktek, CV. Mandar Maju.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post