Catatan Malam DHIPA GALUH PURBA
Ucapan seorang
ibu itu kata orang dicatat langit. Maka dari itu, seorang ibu harus berhati-hati
mengata-ngatai anaknya. Tapi yang lebih penting, si anak yang harus lebih
berhati-hati agar tidak sampai membuat ibunya harus berkata sembarangan.
Untungnya ungkapan ibu itu tidak didasari oleh kebencian. Bahkan sebaliknya. Beliau mengatakan itu saking jengkelnya melihat saya sering menghilang saat jadwal mengaji. Dan pasti sangat tahu, saya sedang menonton film. Pada dasarnya, itu adalah ungkapan yang berlatar kasih sayang. Tapi kata telah terucap, maka mungkin saja akibat dari ucapan itulah yang mengantar anaknya menjadi orang yang kemudian beraktifitas di dalam perfilman. (Maaf penulis masih terpengaruh nuansa cerita pada serial Mahabharata)
**
SEJAK tahun 1988
(kelas IV SD) sampai tahun 1993 (kelas III SMP), saya menonton film layar
tancap di Tempat Hiburan Rakyat (THR) Panjalu, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.
Setiap malam Minggu, THR Panjalu memutar film-film nasional. Menonton film di THR adalah agenda utama yang sangat penting. Setiap malam Minggu, saya
terpaksa bolos mengaji karena harus berangkat ke THR lebih awal, kadang sejak
jam 16.00 WIB.
Masalahnya saya
tidak punya uang untuk membeli tiket yang harganya Rp350,-.
Jadi, setiap malam Minggu saya harus berpikir keras memutar otak bagaimana caranya agar bisa lolos masuk ke dalam THR. Terkadang bersembunyi di kolong
panggung, WC, menyelinap melalui ruang-ruang sempit di sekeliling THR, atau berbagai cara lainnya.
Tantangan yang
lebih berat sangat terasa ketika film yang diputar berlabel 17 tahun keatas. Masalahnya, setelah berhasil ”norobos” ke dalam THR, tak jarang saya
dikeluarkan lagi oleh Pak Hansip.
Sebab, anak-anak
dilarang menonton film 17+. Kalau sudah begitu, jalan terakhir adalah naik
pohon di belakang THR. Menonton film di atas pohon. Gambarnya tidak begitu
jelas, apalagi audionya, dan
nyamuk-nyamuk mengganggu konsentrasi, plus hanya bisa pasrah ketika tiba-tiba Pak Hansip sudah berdiri dekat pohon dan menyuruh saya turun.
Meski demikian,
dalam situasi darurat pun saya tetap bisa menyimak ceritanya, memperhatikan
acting para pemainnya, dan dapat
menceritakan alur cerita film
tersebut kepada kawan-kawan sebaya yang saat itu jarang ada yang senakal saya.
Begitu bangganya
ketika bisa menceritakan secara detail berbagai adegan dalam film. Nama-nama
bintang film semisal Barry Prima, Advent Bangun, Teddy Purba, Rhoma Irama, Enny
Beatrick, Ida Iasha, Meriam Belina, Marisa Haque, dan lain-lain, begitu melekat
dalam benak.
Perjuangan untuk
menonton film begitu berat. Dikejar-kejar Pak Hansip adalah santapan hampir setiap malam Minggu. Belum lagi dikejar oleh
kakak saya yang sering murka karena saya bolos mengaji. Beberapa kali saya
dijemput paksa ke THR oleh kakak, pada saat saya sedang asik menyimak drama
cinta dalam film nasional.
Hobi menonton
film terus berlanjut hingga saya melanjutkan sekolah di Bandung. Tidak
ada norobos lagi, karena nonton
filmnya di bioskop. Untung di Bandung bisa berimprovisasi untuk sekedar mencari
uang buat membeli tiket bioskop.
Di satu sisi, menonton film lebih menyenangkan, dengan kualitas audio-visual yang jauh
lebih berkualitas dibanding THR. Tapi di sisi lain, pada era 1990-an, film-film yang diputar di bioskop
seperti kehilangan jati diri. Banyak film yang kontennya mengeksploitasi adegan sex, ketimbang menyuguhkan
cerita yang menarik dan kekuatan acting pemain. Judul-judul yang berbau
“ranjang” hampir setiap hari menghiasi bioskop. Tapi tidak ada pilihan lain,
apapun filmnya tetap ditonton.
Terdorong rasa
ketertarikan terhadap dunia film, pada tahuin 2001, saya mencoba melamar kerja
ke ESA Production, sebuah rumah produksi di Kota Bandung. Di sanalah saya mulai
mengenal dapur produksi dan seluk-beluk dalam membuat sinetron.
Dari mulai menjadi
unit, stuntman, pemeran pembantu, hingga
merevisi skenario. Beberapa
kali tabrakan dengan pohon ketika menjadi stuntman
adegan terbang yang digantung menggunakan sling. Muntah-muntah karena terlalu
lama digantung sudah menjadi hal biasa.
Saya banyak
belajar kepada Sutradara A.R. Lubis (saya memanggilnya
Bang Amrin), selama bekerja pada bidang sinematik dan non sinematik. Saya pun menjalin persahabatan dengan para
crew, yang saat itu sama-sama bekerja
di ESA Production.
Suka-duka dalam
proses penggarapan sinetron
dilalui bersama kawan-kawan.
Selanjutnya, di Jakarta bertemu lagi dengan kawan-kawan alumni ESA, yang sudah dipercaya menjadi
sutradara di rumah produksi lain, seperti Anto Agam, Buyung, dan lain-lain.
Pengalaman berharga lainnya adalah saat berkenalan dengan Sutradara Prawoto Subur Rahardjo. Saya mengenalnya sudah sejak lama pada film-film layar lebar yang disutradarai beliau.
Satu hal yang
senantiasa saya ingat, Mas Prawoto selalu memberikan kesempatan untuk turut bergabung dalam proses produksi film. Bahkan
untuk pertama kalinya, skenario FTV karya saya digarap oleh Mas Prawoto,
berjudul “Misteri Ronggeng Bentang”. Selain
menulis naskah, Mas Prawoto pun mengajak saya untuk memerankan salahsatu tokoh
dalam cerita tersebut.
Saya pernah kuliah
di Jurusan Teater STSI Bandung, sehingga saya pernah belajar acting. Saya
merasakan perbedaan antara acting di panggung dan acting di depan camera. Keduanya
memiliki tantangan tersendiri, yang tidak bisa dikatakan mudah. Tidak ada yang
mudah dalam proses produksi.
Semuanya
berkeringat. Sehingga pada akhirnya, saya tidak pernah mengatakan sebuah film itu
jelek, karena sudah merasakan sendiri bagaimana kerja
keras dalam membuat film.
Mas Prawoto, saya
tidak ragu menganggapnya sebagai guru saya dalam sinematografi. Bukan saja
karena diajak langsung praktek di lapangan. Mas Prawoto sering mengajak
berdiskusi mengenai dunia perfilman.
Wawasan dan
keilmuannya dalam film, membuat saya banyak belajar dan menemukan pemahaman
baru dari Mas Prawoto. Beberapa
kali menonton film yang sama, kemudian didiskusikan berjam-jam.
Saya pun sempat
bergabung dengan kawan-kawan alumni ESA di Jakarta. Saat-saat sulit pernah kami
lalui ketika tinggal di
Pekayon, Bekasi. Hampir setiap hari berkeliling mengetuk pintu rumah produksi untuk
mendapatkan job.
Misalnya pada
suatu hari, seorang teman menyuruh datang ke Studio Alam, Depok, mengabarkan
job dari Virgo Film. Saya sangat gembira, berharap ada naskah skenario saya yang mau digarap.
Sesampai di Studio Alam, saya langsung diukur, untuk dibuatkan kostum...
gorila.
Dalam sengatan
sinar matahari, kostum gorila saya kenakan, dan beractinglah di sepan camera
sebagai gorila. Gerah, tentu saja. Mandi keringat lebih tepatnya. Tapi honor gorila halal dan berkah, dapat
digunakan untuk menyambung hidup bersama teman-teman.
Pada suatu hari, saya, Bang Amrin, dan Zacky
Artha, pernah mengunjungi Ibu Titin Suryani, produser Lunar Film. Saya
menawarkan naskah skenario, Bang Amrin melamar untuk menjadi sutradara, dan
Artha melamar untuk menjadi pemain.
Setelah
berhari-hari menunggak ke warung makan, akhirnya semua penawaran kami diterima.
Ada beberapa judul skenario FTV karya saya yang diproduksi Lunar Film. Sementara itu, Bang Amrin pun dipercaya
menjadi sutradara di Lunar Film.
Saya memutuskan
kembali ke Bandung, karena ingin menuntaskan kuliah. Padahal, kalau bicara
jujur, saya lebih menikmati larut bersama teman-teman di Jakarta. Tapi, ibu saya sangat berharap ada salahseorang anaknya
yang menjadi sarjana, dan sangat merindukan untuk mengantar wisuda, seperti
halnya tetangga di kampung.
Ya, akhirnya saya
menyelesaikan kuliah di Jurusan Jurnalistik UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Kemudian, saya menyelesaikan S-2 di Jurusan Studi Masyarakat Islam, di
Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati, Bandung. Selanjutnya, saya mendapat kepercayaan
untuk mengajar mata kuliah ”Produksi Film” di kampus tersebut.
Setelah mencoba
menulis skenario, saya pun mencoba membuat naskah drama panggung. Bermula dari
sebuah lomba, naskah saya lolos menjadi juara, dan sekaligus menjadi salahsatu naskah pilihan dalam Festival Drama Basa Sunda.
Selanjutnya, setiap tahun, saya menulis naskah drama untuk difestivalkan oleh
Teater Sunda Kiwari.
Drama “Badog” (Pencuri) menjadi Juara III dalam
lomba tersebut. Tahun berikutnya, drama “Pajaratan
Cinta” (Kuburan Cinta) menjadi Juara II dalam lomba yang sama.
Namun, dalam
keseharian saya, menonton dan mendiskusikan film tetap menjadi hobi. Wajar,
jika saya pernah bermimpi untuk bergabung
ke Forum Film Bandung (FFB). Saya menyimak setiap kegiatan Festival Film
Bandung sudah sejak lama. Bahkan saya pun selalu menghadiri acaranya. Nama Kang
Eddy D. Iskandar pun sudah saya kenal sejak saya masih duduk di bangku SD,
melalui film ”Gita Cinta dari SMA”. Apalagi
di dalamnya ada tokoh-tokoh lain yang tulisannya sering saya baca, seperti
Jakob Sumardjo, Aam Amilia, Yus R. Ismail, Rosyid E. Abby, dan lain-lain.
Keinginan saya
untuk bergabung ke Forum Film Bandung, akhirnya saya utarakan ke Kang Rosyid
dan Kang Yus. Sampai pada suatu hari, ketika saya sedang menonton film di
Ciwalk, Kang Rosyid menelepon saya.
Hampir dalam
waktu bersamaan, Kang Yus R. Ismail juga
mengirim sms. Intinya, Kang Eddy D. Iskandar, Ketua Umum Forum Film Bandung (FFB) menyetujui saya untuk bergabung ke FFB, menjadi salahsatu Anggota Regu Pengamat Festival Film Bandung.***
Komentar