Catatan Tentang Inul Daratisna



Oleh DHIPA GALUH PURBA

DAN terkuburlah kasus-kasus besar yang sebenarnya jauh lebih penting untuk segera dituntaskan. Tradisi persoalan yang ngabuntut bangkong, di negeri ini sudah menjadi sebuah sebuah dagelan biasa serta pertunjukan yang tidak asing lagi. Sehingga sangat masuk akal jika ada semacam tafsiran; jangan-jangan fenomena Ainul Rokhimah (Inul) sengaja diciptakan untuk mengalihkan perhatian masyarakat.

Sapalah Inul dengan pandangan mata yang penuh kasih sayang. Jangan sekali-kali memandangnya dengan pancaran yang penuh kebencian. Setidaknya itulah yang dapat dirasakan dari pesan nama  aslinya, ‘Ainul Rokhimah’.

Sebuah nama yang sejuk, indah, dan bermakna. Tampak sekali bahwa kedua orang Inul begitu menyayanginya. Dalam tradisi ketimuran, nama merupakan salah satu éksprési harapan atau cita-cita dari orang tuanya.

Kendati pada akhirnya tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, itu lain soal. Yang pasti tak akan ada orang tua mana pun, yang menginginkan anaknya (kelak) terhempas pada jurang kehinaan dengan kekosongan bathin dan kegersangan jiwanya..

Dengan memberikan nama tersebut, orang tuanya –pasti- menginginkan Inul menjadi orang yang berguna bagi nusa, bangsa, dan agama. Terlalu berlebihan, jika seorang Inul dianggap sebagai suatu ancaman perusak moralitas bangsa.

Ini bukan pembelaan kepada Inul. Lebih tepatnya adalah dukungan kepada yang berwenang untuk mencekal kemungkaran, agar membuka mata lebih lebar lagi. Kenapa baru berani mencekal Inul? Padahal yang lebih dari Inul pun, jauh hari sudah banyak bergentayangan. 

Kalau memang berani, cekal saja semua tempat atau lokasi-lokasi prostitusi! Bukan hanya berani kepada Inul.  Inul punya hak untuk mengembangkan potensinya, dan meraih cita-citanya.

Perjuangan wanita kelahiran Pasuruan, 21 Janurai 1979 ini begitu berat. Awalnya ia hanya berkesenian di panggung-panggung hajatan, dengan bayaran yang jauh lebih kecil, dibanding penghasilan para koruptor.

Penghasilan berkesenian di panggung-panggung itu tidak seberapa. Namun orang seperti Inul akan merasa jadi kaya, jika bisa memuaskan para penontonnya. Inul adalah seorang seniman dangdut yang tangguh.

Segala kesengsaraan, penderitaan dalam berkesenian, sudah ia lalui dengan penuh ketabahan. Biasanya orang yang mengalami kesuksesan dengan jerih payah seperti itu, pasti akan turut merasakan bagaimana pahit getirnya perjuangan dalam dunia kesenian.

Mengutip perkataan Habib Fuad Al Habsyi, seorang ulama Jakarta yang menjuluki Inul sebagai "setan goyang" pengumbar birahi. Sungguh sangat menyakitkan hati. Bagaimana kalau saya jadi Inul. Paling tidak, bagaimana kalau saya jadi bagian dari keluarga Inul?

Kasihan Inul. Kenapa caranya seperti itu? Apakah tak ada cara lain yang lebih beradab, daripada mempermalukan seseorang? Inul bukan setan goyang. Inul adalah manusia biasa, yang tak pernah luput dari kekhilapan.

Sebagai perbandingan dari masalah aurat, mari bersama-sama menonton pertandingan olahraga renang putri, voli bola putri, senam putri, sampai smackdown putri (Itu ditayangkan di televisi, lho). Atau kostum mini itu diperbolehkan, karena merupakan olahraga. Kalau memang begitu, saya sarankan kepada Inul, “Nul, jika nanti  ditanya tentang gerakan energik-mu, bilang saja sedang olah raga sambil menyanyi.” ***



0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post