SOS, Seninya Orang Sunda Menjadi Jawara di Tingkat Nasional



Oleh DHIPA GALUH PURBA

OBIN “SOS” tertunduk lesu dan tampak kecewa, ketika ia gagal dalam pemilihan sepuluh besar calon pemain sinetron “Perkawinan Semu”. Obin hanya terpilih  sebagai juara favorit, dari 25 orang yang dinyatakan lulus seleksi.

Tapi itu mah pengalaman pahit beberapa tahun yang lalu. Saat itu, tepatnya  hari Rabu, 08 September 1999, ketika sekelompok “orang-orang iseng” yang mengaku dari Jakarta, mengadakan lomba acting untuk disalurkan menjadi pemain sinetron.

Sesuai dengan judul sinetron yang dijanjikannya, maka dalam kenyataannya pun janji itu memang hanya semu. Jangankan menyalurkan peserta kasting,  sinetronnya pun tidak pernah digarap, dan memang hanya omong kosong belaka.

Kini, kegagalan Obin di masa lalu, telah ditebus dengan sebuah prestasi gemilang di tingkat nasional. Obin bersama dua orang rekannya, Sule dan Suwarman, yang tergabung dalam grup SOS, telah dinobatkan sebagai juara pertama Audisi Pelawak TPI 2005 (29/05).

Bahkan kemenangan SOS terbilang sangat telak, karena meraih dukungan sekitar 53, 99 % dari seluruh pemirsa yang mengirim SMS (Short Messages Service). Sementara itu, sisanya diraih oleh grup Bajaj (25,93 %) dan grup Limau (20,08 %).

Jutaan orang menertawakan SOS—dengan penuh kekaguman. Bukan sekedar hisapan jempol, kalau SOS merupakan singkatan dari “Semua Orang Suka”, meskipun tidak menutup kemungkinan ada juga yang tidak suka.

Apapun adanya, masyarakat Sunda sepatutnya berbangga memiliki SOS. Sebab, kehadiran SOS dalam perhelatan lawak tingkat nasional tersebut, mengusung nama urang Sunda, atau sekurang-kurangnya merupakan peserta API yang mewakili provinsi Jawa Barat.

Identitas kesundaan telah diperlihatkan SOS sejak mengawali perjuangan menembus babak demi babak. Selain dialognya yang kental dengan bahasa Sunda, SOS juga pernah menggunakan properti alat musik tradisional, seperti kendang, kacapi, dsb. Tampak ada tarekah dari tiga pelawak lulusan SMKI ini (sekarang SMKN 10 Bandung), untuk mengangkat “Seninya Orang Sunda” ke kancah nasional.

Tiba-tiba saya teringat pula, ketika Obin dan kawan-kawannya mementaskan Kacapi Jenaka pada acara pentas seni Pameran Buku Islam Plus (PBIp). Saat itu, 13 Oktober 2003, para pengunjung PBIp masih memandang sebelah mata terhadap lawakan Obin dan kawan-kawannya yang tergabung dalam kelompok Kacapi Jenaka. Namun, sekali lagi kenangan pahit itu, kini telah terkubur. Sihir layar kaca telah mengubah wajah Obin, Sule dan Suwarman.


*
LAWAKAN khas Sunda, komedi, banyolan, guyonan, heureuy, atau apapun namanya, ternyata menduduki peringkat pertama di tingkat nasional. Setidaknya, itulah kesan sepintas yang tampak dari hasil “perolehan suara”  SOS. 

Sedangkan selama ini, lawakan urang Sunda, sangat jarang muncul di layar kaca, dibandingkan dengan lawakan bergaya Betawi atau Jawa. Maka dari itu, jangan heran ketika SOS muncul, meledaklah kerinduan pemirsa urang Sunda.

Tatar Sunda merupakan gudangnya cerita humor. Ratusan, atau bisa jadi ribuan cerita humor bertebaran menghiasi hampir setiap media massa yang terbit di Jawa Barat. Buku-buku humor pun cukup banyak yang sudah terbit, meskipun tidak terlalu marak.

Sayang sekali kehadiran cerita humor bahasa Sunda, tampaknya tidak dilirik oleh lembaga semisal LBSS (Lembaga Bahasa dan Sastra Sunda), Rancage, Paguyuban Pasundan, dan lain sebagainya. Padahal cerita humor bahasa Sunda, banyak menarik perhatian pembaca. Kita ambil contoh di Majalah Mangle.

Menurut surpey yang pernah dilakukan Mangle, ternyata rubrik “Barakatak” merupakan bacaan yang paling banyak penggemarnya. Tentu saja bacaan humor pun berkaitan dengan kasusastraan Sunda. Sekurang-kurangnya, bacaan humor bisa dijadikan jembatan para pembaca, untuk menuju wilayah sastra Sunda.

Tatar Sunda juga merupakan gudangnya jenis kesenian yang di dalamnya banyak mengandung adeg-adeg humor, baik dalam gerak karikatural atau pada dialognya. Sebut saja seni longser, gekbreng, masres, bangkoreang, cador, doblang, reog, dan lain sebagainya.

Namun, lagi-lagi nasib yang dialami kesenian tradisional Sunda kurang beruntung. Mereka tidak mendapat banyak kesempatan untuk tampil di layar kaca. Mengapa harus layar kaca? Tidak dapat dipungkiri, bahwa maraknya dunya pertelevisian Indonesia memiliki daya tarik luar biasa bagi mata masyarakat, meskipun bukan segalanya.

Saya pun tidak akan menutup mata pada gigihnya perjuangan yang dilakukan para nonoman Sunda, untuk melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional. Sebagai contoh adalah kesenian longser. Saya masih ingat, ketika digelarnya “Parade Longser” di halaman parkir STSI Bandung, bulan September 2001.

Acara yang berlangsung selama sembilan malam tersebut, menampilkan pintonan Longser Pancawarna, Ringkang Gumiwang, Caraka Sundanologi, B'MO Teater Club, Damar Bumi Citraloka, Antar Pulau, Citraresmi, dan Longser Gaul. Selain itu, dipentaskan juga kesenian tradisional Terbang Pusaka & sambung layang, rampak kendang, rampak topeng, sisingaan, gek-breng, penca silat, dan sebagainya.

Dari delapan grup tersebut, mata penonton tertuju pada Longser Gaul, yang berani tampil beda. Longser yang didominasi kaum remaja ini, menampilkan semacam konser musik band di tengah-tengah pertunjukan longser.

Ada yang mencaci, dengan alasan merusak pakem longser. Tidak sedikit juga, yang berdecak kagum pada inovasi baru tersebut, meskipun bukan yang terbaru (Sebelumnya sudah muncul Longlen 282, kolaburasi seni Longser dan Lenong).

Penomena Longser Gaul sempat menjadi bahan perbincangan di kalangan praktisi longser. Kendati demikian, Longser Gaul tetap melangkah dengan gayanya yang tidak berubah. Bahkan kuantitas pergelarannya semakin meningkat, disamping peminatnya terus bertambah, terutama dari kalangan muda. Lambat laun, suara yang mencaci pun tidak lagi terdengar. Publik longser sudah terbiasa menyaksikan penampilan Longser Gaul dengan segala pakaian khas yang dimilikinya.

Kita memang tidak boleh suudzon menghadapi segala bentuk yang dianggap baru. Saya yakin, penampilan Longser Gaul tersebut diawali oleh rasa cinta mereka terhadap seni longser, bukan berniat merusak longser.

Bahkan dengan kelahiran Longser Gaul, publik dan praktisi longser pun tidak lagi mempermasalahkan kehadiran Longser Multimedia. Kita harus mendukung Longser Gaul atau Longser Multimedia untuk tetap eksis dan menggema. Sekurang-kurangnya bisa dijadikan jembatan menuju wilayah longser yang sesungguhnya.

*

SAMPAI pada suatu pertanyaan, mampukah perjuangan para nonoman Sunda dari panggung ke panggung, mengalahkan sihir layar kaca? Saya yakin, jawabannya bisa. Ada keuntungan yang diraih para praktisi kesenian tradisional selama ini. Yakni kehadiran media massa cetak, yang selalu setia mengikuti proses perjalanan mereka.

Media massa cetak pun memiliki sihir yang luar biasa. Pemerintah saja percaya, bahwa Pers merupakan kekuatan ke-4, setelah Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif. Maka kesenian tradisional pun harus yakin, bahwa Pers merupakan kekuatan ke-2, setelah penampilannya di atas panggung.

Setelah SOS meraih sukses di pentas nasional, bukan hanya Jurusan Padalangan SMKN 10, yang akan merasakan dampak postifnya. Ada juga harapan baru untuk kebangkitan kesenian tradisional Sunda, berkenaan dengan kiprah mereka yang selama ini digelutinya. Obin, Sule, dan Suwarman adalah praktisi muda kesenian tradisional, yang cukup gigih dalam memperjuangkan idealismenya.  SOS bisa menjadi  spirit baru untuk menopang kehidupan seni Sunda.

Kesenian tradisional Sunda yang hampir punah atau sudah punah sama sekali, tidak menutup kemungkinan untuk dihidupkan lagi. Sebab, kematian sebuah realitas budaya tidak sama dengan kematian organisme biologis. Oleh karena itu pula, di ambang kematian pada realitas budaya—semisal kesenian tradisional, tidak sama dengan ketidakberdayaan. Justru keadaan seperti itu menyiratkan masa-masa perjuangan yang lebih gigih, untuk mempertahankan hirup-huripna Ki Sunda, mengingat tantangan pada abad ini yang natrat semakin besar.***


Bandung, 2005

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post