Selain pengumuman pemenang Hadiah Sastera Rancage 2020, akan digelar pula pementasan musik, baca sajak, hingga Pidato Kebudayaan Ajip Rosidi.
Para pemusik dan seniman yang akan memeriahkan acara ini diantaranya Mukti mukti, Ary Julian, Lair, Iman Soleh, dan lain-lain.
Acara terbuka untuk umum, tanpa dipungut tiket. Para pengunjung juga dapat memburu buku-buku favorit di bazzar buku. Tentunya termasuk buku yang akan diluncurkan pada hari ini. Buku berbahasa Jerman yang berjudul "Das Kind Des Vaterlandes", diterjemahkan dari buku berbahasa Indonesia "Anak Tanah Air" karya Ajip Rosidi.
Keputusan
HADIAH SASTERA
“RANCAGÉ” TAHUN 2020
Alhamdulillahirobbilalamin, atas rahmat Allah SWT serta bantuan berbagai pihak yang menaruh perhatian
terhadapperkembangan bahasa dan sastera ibu, Hadiah
Sastera “Rancage” 2020 akan diberikan kepada para penulis buku berbahasa daerah. Sejak tahun 1989,
sudah 32 tahun kami memberikan hadiah Rancagé
secara berkesinambungan yang diumumkan setiap tanggal 31 Januari.
Hadiah Sastera
“Rancage” 2020 merupakan yang ke-32 kalinya untuk sastera
Sunda, ke-26 kalinya untuk sastera Jawa, ke-22 kalinya untuk sastera Bali, kelima
kalinya untuk sastera Lampung, keempat kalinya untuk sastera Batak, dan pertama
kalinya untuk sastera Madura. Tahun ini kami tidak memberikan hadiah untuk
sastera Banjar karena jumlah buku yang terbit dalam bahasa tersebut tidak
memenuhi persyaratan Hadiah Sastera “Rancagé”. Sebelumnya, Yayasan Kebudayaan
Rancagé sudah dua kali memberikan hadiah untuk sastera Banjar. Selain itu, kami
juga memberikan Hadiah “Samsudi” untuk buku cerita anak dalam bahasa Sunda, dan
tahun ini sudah diberikan untuk ke-23 kalinya.
Semangat untuk menerbitkan buku sastera berbahasa daerah selalu
mengalami pasang-surut dari tahun ke tahun. Hal ini dapat diamati dari jumlah
buku yang terbit setiap tahun. Buku sastera daerah yang terbit tahun 2019 cukup
menggembirakan. Ada peningkatan jumlah untuk masing-masing sastera daerah,
walaupun dari sisi kualitas tidak berarti lebih baik daripada tahun-tahun
sebelumnya. Seperti yang telah kami utarakan, selain sebagai
pemertahanan dan pengembangan literasi bahasa ibu, kami juga berharap
keberadaan hadiah Rancagé dapat melahirkan karya sastera bermutu. Karya
tersebut bukan hanya mencerminkan gambaran etnografi
suatu daerah, melainkan mampu melahirkan kebaruan
dalam tema, teknik,
dan pendalaman gagasan.
Hingga tahun ini, kami sudah mengumumkan 115 judul buku terbaik peraih Hadiah
Sastera “Rancagé” dan “Samsudi”. Insya Allah, kami akan berusaha memberikan
hadiah ini terus-menerus, selama masih ada yang menerbitkan buku-buku berbahasa
ibu. Berikut adalah ketentuan yang telah kami rumuskan untuk hadiah Rancagé
tahun-tahun mendatang.
1. Kami selalu berupaya untuk mencatat, menyimpan, dan membaca semua buku
dalam bahasa daerah setiap tahun. Hadiah Rancagé hanya diberikan untuk kategori
buku fiksi yang ditulis perorangan, tetapi bukan berarti kami tidak menelaah
buku-buku lainnya.
2. Terdapat beberapa buku yang baru diketahui setelah hadiah Rancagé
diumumkan, atau karena penulis dan penerbit terlambat mengirimkannya kepada
kami. Untuk kasus seperti ini, kami akan menilai buku tersebut pada tahun
berikutnya. Mulai tahun ini, penerimaan buku akan ditutup pada tanggal 30
Novémber. Buku-buku yang kami peroleh setelah tanggal tersebut akan dimasukkan
pada penilaian berikutnya.
3. Jenis buku yang untuk penilaian hadiah Rancagé adalah karya fiksi, yaitu
prosa (kumpulan cerpen, novel/roman), puisi (sajak, dangding/guguritan), dan
cerita anak-anak (khusus untuk sastera Sunda).
4. Ketebalan buku minimal 40 halaman. Buku dapat berupa POD (Print on Demand), tetapi tidak
semata-mata dicetak untuk penilaian hadiah Rancagé.
5. Juri akan menilai sekurang-kurangnya 3 (tiga) judul karya untuk
masing-masing sastera daerah dan ditulis oleh 3 (tiga) pengarang. Apabila dalam
satu tahun hanya terbit satu atau dua buku, maka buku tersebut akan disertakan
pada penilaian tahun berikutnya.
6. Para peraih Hadiah Sastera “Rancagé” akan mendapatkan piagam dan uang tujuh
juta lima ratus ribu rupiah.
Hadiah Sastera ”Rancagé” 2020 untuk Sastera
Sunda
Buku-buku berbahasa Sunda terbitan 2019 yang tercatat oleh
panitia mencapai jumlah 30 judul. Kenyataan ini patut disyukuri mengingat media
sesungguhnya tengah bergeser platform
dari media cetak ke media daring. Di tengah pergeseran platform media, masih ada kalangan yang bersemangat menerbitkan
buku.
Di antara buku-buku itu terdapat karya para pengarang senior.
Pengarang Aan Merdeka Permana, misalnya, terbilang unik. Setahun terakhir ia
mengumumkan sedikitnya 8 buku. Satu judul sekitar 100-an halaman. Buku-bukunya
ia terbitkan sendiri, dan ia pasarkan sendiri. Dalam hal produktivitas,
sumbangan Aan kepada publikasi Sunda setahun terakhir hanya dapat diimbangi
oleh Budi Riyanto yang menyumbangkan 6 judul buku cerita buat anak-anak.
Pengarang senior lainnya yang tetap giat adalah Yus Rusyana
(memoar Lalampahan Abah jeung Anak Abah), H.D. Bastaman (novel Nganjang
ka Pagéto), Aam Amilia (novel Kalangkang Japati), Usep Romli (cerita
anak-anak Jang Adul Sabatur-batur), Tatang Sumarsono (cerita anak-anak Si
Luis), dan Acep Zamzam Noor (kumpulan puisi Tungtung Teuteupan).
Dari kalangan pengarang senior, ada pula kumpulan carita jurig karya
Oman Komara, Bulan Rumeuk di Pancuran. Semua karangan dalam buku ini, 11
judul, semula diumumkan dalam Handjuang, majalah yang terbit pada
1970-an dan kini telah tiada.
Di jajaran nonfiksi ada tiga buku menarik. Selain karya Yus
Rusyana, ada pula Romantika Ngambah Sagara Kahirupan karya Atje S.
Abdullah, dan Hayang Jadi Jalma Ngarti karya Ahmad
Syadili. Kalaupun kategori fiksi dan nonfiksi kurang tepat, Yus dan
Atje dapat disebut sebagai karangan autobiografis. Bahan cerita berasal dari
pengalaman hidup pengarangnya sendiri. Baik Yus maupun Atje adalah ilmuwan
kelahiran Garut. Jika Yus adalah gurubesar Bahasa dan Sastera dari UPI, Atje
adalah gurubesar Ilmu Komputer dari Unpad. Yus menulis pengantar untuk memoar
Atje. Adapun Ahmad Syadili adalah kiai dari Rancaekek yang menuliskan pengalamannya
menjadi murid di sekolah dan menjadi santri di pesantren yang ada di Kabupaten Bandung dan Priangan Timur
pada masa sebelum kemerdekaan.
Bahasa ibu, tentu saja, bisa juga diandalkan di luar sastera
dan jurnalisme. Dalam hal ini patut dicatat sumbangan Darpan, pengarang dan
guru bahasa Sunda, lagi-lagi dari Garut. Dari penulis kelahiran Karawang ini
ada Généalogi Carpon Sunda, telaah sejarah sastera yang semula merupakan
tesis Darpan dalam studi pascasarjana di UPI. Ia turut menunjukkan bahwa bahasa
Sunda dapat diandalkan buat menulis karya akademis.
Para pengarang dari kalangan yang kiprahnya di bidang
penulisan dapat dikatakan lebih muda daripada Aam Amilia menyumbangkan sejumlah
buku. Sebut, misalnya, Dede Rostiana (kumpulan cerpen Tatu), Erni
Wardhani (kumpulan cerpen Bulan nu Kungsi Ocon), Iin Sri Suartini
(kumpulan sajak Sakeclak Ibun), Rudi Riadi (kumpulan fiksi mini Lalaki
jeung Tihang Listrik), dan Oesep Kurniadi (kumpulan cerpen Si Kaptén ti
Alam Séjén). Ada pula antologi Keretas Bodas suntingan Aam Amilia
yang menghimpun 21 cerpen dari 21 pengarang. Para penulis merupakan peserta
kelas belajar menulis Panglawungan 13 asuhan Ceu Aam sejak 6 tahun silam. Para penulis termuda adalah para
mahasiswa Program Studi Sastera Sunda Unpad yang menulis monolog bahasa Sunda
yang kemudian diterbitkan dalam buku berjudul Kembang Gadung.
Di sekitar cerpen, dalam rumpun prosa, kami cenderung
menempatkan sejumlah karangan yang oleh para penulisnya disebut “fiksimini”.
Popularitasnya dimungkinkan oleh media daring. Betapapun, pergeseran platform
media tidak memupus media konvensional berupa barang cetakan.
Setelah membaca dengan cermat serta
menimbang nilainya kami menentukan tiga nomine untuk mendapatkan hadiah sasteraRancagé, yaitu (1) Rudi Riadi dengan karya Lalaki jeung Tihang Listrik: 100
Fiksimini, (2) Yus Rusyana dengan karya Lalampahan Abah jeung Anak Abah, dan (3) H.D. Bastaman dengan karya Nganjang ka Pegéto. Ketiga karya tersebut bentuknya berbeda. Yang pertama berupa kumpulan
fiksimini, yang kedua berupa kumpulan sketsa, dan yang ketiga berupa kumpulan
cerita pendek. Ketiganya memperlihatkan
pencapaian estetis yang lebih
menonjol dibandingkan dengan karya lainnya. Pada karya Rudi Riadi tampak upaya
sadar untuk terus-menerus mengeksplorasi anasir-anasir fiksimini yang memiliki ruang terbatas menjadi ruang penceritaan yang
efektif dan optimal. Yus Rusyana mengangkat kembali sketsa yang sudah lama
ditinggalkan pengarang Sunda menjadi medium yang lentur dalam
mewadahi pengalaman hidup sehari-hari. Pada karya H.D. Bastaman, apa yang
disebut sebagai cerita pendek, bisa lebih panjang cerita pendek berbahasa Sunda
pada umumnya, tetapi memang untuk mewadahi gagasan yang
tidak pendek seperti pada umumnya.
Rudi Riadi lahir di Bandung, 11
Februari 1971. Ia adalah sarjana lulusan Jurusan Bahasa Sunda UPI Bandung yang menjadi
guru bahasa Sunda di SMAK 1 dan 2 BPK Penabur Bandung. Ia aktif menulis dalam
bahasa Sunda baik berupa cerita pendek, sajak, fiksimini, maupun esai, dan
dimuat dalam surat kabat dan majalah yang terbit di Kota Bandung. Beberapa kali ia pernah
mendapatkan hadiah sasterauntuk
karyanya berupa esai, cerpen, dan fiksimini.
Buku kumpulan fiksimini Lalaki
jeung Tihang Listrik merupakan buku pertama Rudi Riadi. Buku ini memuat 100
fiksimini dan pengarangnya pernah menjadi nomine pada perlombaan menulis
manuskrip fiksimini yang diselenggarakan oleh grup FBS (2017). Karya-karya
fiksimini yang termuat dalam buku ini memperlihatkan kesungguhan Rudi dalam
menulis. Dalam buku tersebut tampak Rudi mengeksplorasi cerita dan penceritaan
atau cara bercerita yang baru dalam ruang yang terbatas. Sebagian dari usahanya
berhasil membangun cerita yang utuh, tetapi sebagian lagi kurang berhasil
karena banyak cerita yang dipaksakan untuk tamat, terobsesi untuk lucu, atau
karena terlampau dipaksakan untuk menggenapkan jumlah 100 judul. Namun, upaya Rudi dalam mengeksplorasi cara bercerita
sangat penting dilakukan para pengarang, karena gagasan baru hanya bisa
diekspresikan dengan penceritaan yang baru.
Yus Rusyana lahir di Pameungpeuk
Garut pada tanggal 24 Maret 1938. Ia adalah guru besar luar biasa di
Universitas Pendidikan Indonesia. Dalam sastera Sunda ia menulis beragam karya sastera,
antara lain drama, cerpen, sajak, dan esai. Ia pernah menjadi angota redaksi
majalah Manglé dan Wangsit. Buku kumpulan cerpennya yang berjudul Jajatén Ninggang Papastén mendapat hadiah sastera Rancage yang
pertama (1989). Selain menulis karya sastera Yus Rusyana pun banyak melakukan
penelitian bahasa, sastera dan folklor Sunda.
Lalampahan Abah jeung Anak Abah karya Yus Rusyana adalah memoar yang
disusun dalam bentuk kumpulan sketsa. Sketsa adalah prosa pendek yang mirip
esai dengan tujuan untuk merekam pengalaman sehari-hari. Fokus sketsa Yus
Rusyana adalah pengalaman ayah dan dirinya sendiri dalam menempuh kehidupan
sehari-hari. Ditulis dengan bahasa yang ringan, bagai tanpa pretensi, tetapi sketsa-sketsa Yus Rusyana tetap menyaran pada sikap
hidup yang mendalam dan utuh. Dengan sketsa-sketsanya pengarang seperti ingin
menekankan bahwa itikad atau kemauan untuk hidup lebih baik adalah penting,
tetapi ada kalanya itikad baik yang dianggap benar oleh diri sendiri
ternyata berantakan dan menjadi remeh-temeh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kasus seperti itu pengarang justru menertawakan dirinya sendiri. Menurut hemat kami inilah kejujuran
yang memperlihatkan kebesaran jiwa pengarang.
H.D. Bastaman lahir di Padaherang
(kabupaten Pangandaran) pada tanggal 4 November 1939.
Sejak kanak-kanak ia sudah gemar menulis. Ayahnya, R.
Muh. Sabri Wiraatmadja, adalah penulis wawacanNgabukbak Lakbok 1925-1937.
Ia menyelesaikan kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia dan menjadi
dosen di almamaternya hingga pensiun tahun 2004. Sejak pensiun ia banyak
menulis dalam bahasa Sunda. Karya-karya berbahasa Sunda yang terbit dalam bentuk buku
adalah Sura-seuri Sunda (2004), Béntang Tembang
(2011). Kabungbulengan (2013), Ceu Nonoy Putra Ua Banagara
(2016), dan Absur (2018).
Buku kumpulan cerpen Nganjang ka Pagéto
(Berkunjung ke Masa Depan) adalah buku keenam yang ditulis H.D. Bastaman. Buku tersebut terdiri atas 8 judul cerpen yang
beragam panjang pendeknya. Cerpen yang dijadikan judul buku, yaitu “Nganjang ka
Pagéto” merupakan cerpen terpanjang (41 halaman), sedangkan cerpen terpendek
berjudul “Aki Obing” (Kakek Obing) hanya 5 halaman. Cerpen-cerpen tersebut
ditulis pada tahun 2014 s.d. 2018 dan sebelumnya pernah dimuat di majalah Manglé.
Ditulis dengan gaya realis dan
menggunakan sudut pandang akuan, sang pencerita menceritakan
peristiwa-peristiwa yang dialami para tokoh dengan satu pusat pengisahan, yaitu
pencerita sendiri atau orang lain. Memilih gaya realis adalah memilih masuk
pada dunia yang terbatas. Namun, pada beberapa cerpen keterbatasan itu
dilampaui dengan memasukkan anasir kepercayaan atau peristiwa psikologis. Pada
cerpen “Nganjang ka Pagéto”, misalnya, pencerita sebagai dosen psikologi UI
mengalami “out of body experience” yang memungkinkannya masuk ke dunia masa
depan. Motif cerita seperti ini pernah pula ditulisnya dalam novel Absur (2018).
Dalam novel tersebut alam tersebut disebut sebagai Alam Dzikrullah. Contoh lainnya dalam cerpen “Bumi Pa Mangun” sang pencerita dapat
berkomunikasi dan berkunjung ke rumah seseorang, padahal orang dan rumahnya
sudah menjadi tempat pemakaman.
Cerpen-cerpen lainnya tetap berada
pada kerangka gaya realis, tetapi cerita dieksplorasi secara logis. Umumnya
cerpen-cerpen H.D. Bastaman bercerita tentang masalah-masalah keluarga, seperti
masalah orangtua yang lanjut usia, ditinggal pasangan hidup, kehilangan
pembantu rumah tangga, atau keinginan anak yang berbeda dengan harapan
orangtuanya. Masalah-masalah tersebut, yang jarang menjadi konflik terbuka
kecuali pada cerpen “Rundayan-rundayan Abah Apong”, diselesaikan dengan sangat
baik dengan memberi empati pada para tokohnya. Karena itu, faktor bahasa
menjadi sangat penting dalam cerpen-cerpen H.D. Bastaman. Melalui pemunculan masalah dan upaya penyelesaiannya yang logis dalam
kerangka cerita, para tokoh cerita setahap demi setahap meraih makna hidupnya.
Setelah ditimbang-timbang
lebih matang, maka diputuskan penerima Hadiah Rancagé tahun 2020 untuk karya sastera Sunda adalah
Nganjang ka Pagéto
Kumpulan Cerita
Pendak karyaH.D. Bastaman
Diterbitkan oléh Dunia
Pustaka Jaya
Kepada H.D. Bastaman akan diserahkan hadiah Rancagé tahun 2020
berupa piagam dan uang.
Hadiah Sastera ”Rancagé” 2020 untuk Sastera
Jawa
Sepanjang
tahun 2019 Seksi Sastera Jawasemakinbanyak menerbitkan sastera, yaitu27 buku,
lebih banyakdari terbitan tahun-tahun sebelumnya.Selain itu,tampak juga
perkembangansignifikan pada para pengarangnya kali ini yang datang
dari daerah pengguna bahasa Jawa ragam standar, yaitu bahasa Jawa Yogya dan
Solo, tetapi juga para penggunabahasa Jawadialek ragam Tegalan (di
sekitarTegal-Pekalongan) dandialek ragam Osing (Banyuwangi), dan keduanya
pernahmendapat Penghargaan Sastera dari Yayasan Penghargaan “Rancage” (Sasterawan
Tegalan, tahun 2011 dan Sasterawan Osing tahun 2017). Lepas dari dua
komunitas pemakai bahasa dialek tersebut tadi, pada tahun ini ada sejumlahkaryasasteraJawa
yang ditulis dengan menggunakan ragam bahasa Jawa setempat (dialek), yaitu
dialek ragamPanginyongan atau ragam Banyumasan (3 buku), dialek ragam Dermayu (1 buku), dalam dialek ragam Osing (4), dan dalam dialek ragam Tegalan (3 buku). Selain perkembangan sastera
dari empat daerah pengguna bahasa Jawa ragam
dialek tersebut tadi, dari Jawa Tengah (Salatiga), Yogyakarta (Bantul), dan
Jawa Timur (Magean).
Kenyataan
ini menggembirakan kita semua, karena dinamika sastera di dua
daerah tersebutmembuktikan bahwakomunitas pengguna bahasa Jawa setempat asih
hidup dalam masyarakatnya, dan bahkanhingga sekarang keduaragam dialek tersebut
masih mampu menyangga inspirasi estetis masyarakatnya, sehingga sastera“Sastera
Tegalan” berkembang dan dicetak. Demikian juga
halnya dengan komunitas pengguna ragam Osing
di daerah Banyuwangi. Namun, fakta juga menunjukkan bahwa kreativitas menulis
dalam ragambahasa setempat masih belum berkelanjutan. Misalnya, kehadiran
pengarang Lanang Setiawan tahun 2011 di penghargaan
Hadiah Sastera “Rancage”muncul kembalipada tahun 2019. Demikian juga halnya
dengan kehadiran pengarang Moh Syaiful (2017) dari komunitas pengarang sastera
Jawa dialek ragam Osing penerima
Hadiah Sastera “Rancage” (2017)
untuk bidang karya, yaitu novel Agul-agul
Belambangan. Akantetapi, seperti
juga halnya komunitas sasterawan Tegalan yang pernah vakum beberapa waktu,
begitu pula halnya dengan sasterawan Osing
di Blambangan muncul kembalipada tahun berikutnya (2019) .
Setelah
27 buku sastera Jawa yang terkumpul untuk dinilai dalam Seksi Sastera Jawa
diseleksi, tersisa 15 buku sastera Jawa akan dinilai, terdiri atas 6 buku
antologi cerita pendek, 6 buku antologi puisi, 3 buku novel.Enam buku
antologipuisi ialahKik Lis Bajulkarya
Uun Hariyati dari Banyuwangi, Keblak
Keblak karya Mahawan dari Banyuwangi, Geguritan
Kembang-Kembang Katresnan karya Sri Widayati, Spd. dari Bantul,Nganglang Jagad karya Lanang Setiawan,
dari Tegal, dan antologipuisi berjudul Ngayawara
karya Na Dhien dari Salatiga.
Puisi-puisi
dalam antologi Keblak-Keblak karya
Mahawan rasanya menyerahkan pikiran atau gagasan melalui ikon-ikon yangkaya di
sekitarnya dekatnya seperti yang membayangkan energi, atau kekuatan. Bahasa
pada puisi itu sudah amat
imajinatif.Kita diajak
untuk berpikir dan berkhayal untuk memaknainya. Apa pula yang dapat
dimanfaatkan dalam Haiku Tegalan: Autobiografiantologi
puisi haiku Lanang Setiawan, kalau
banyak gambar untuk menuntun imajinasi pembaca, dimana peran pembaca dalam
proses pemahaman atau pemaknaan puisi, karena sebagai autobiografi, belum tampak
tanda-tanda yang menandai dinamika alur kehidupan
penggarap.
Na Dien, pengarangAntologi
PuisiNgayawara,masih
muda dan berprofesi sebagai wartawan.
Puisinya terkadang tidak menunjukkan kelembutan, seperti pada banyak karya
puisi pengarang perempuan umumnya. Dengan pusinya ia berani mengkritik
seperti dan menasehati anak-anak muda, seperti dalam puisi-puisi berikut “Urip
kudu gumregah”, “Kekancan”,”Miru Wiru”, “Mendhem Raga”, dan “Njara Langit”.
Nomine
untuk kelompok puisi disandang oleh buku karya Ahmad Muzakky berjudul Lancing Tanggung.
Empat
buah antologi cerita pendek yaitu Lintang
ing Langit Madinah karya Nono Warnono dari Bojonegoro,Sumarah karya
St.Sri Emyati dari Trenggalek,Sisik
Melik karyaPutri
Nurul Azizah dari Belambangan, dan Kumpulan Cerita Cekak Kalungkarya Irul S.Budiman dari Boyolali. Setelah keempat antologi
cerita pendek itu dibaca dan dipertimbangkan dengan seksama, dari kriteria pemilihan
tema-tema cerpen yang tidak monoton, teknik penceritaan yang dinamis,
bervariasi, dan kerapihan bahasa, maka kumpulan
Cerita Cekak Kalungpantas dipilih
sebagainomine.
Dari kelompok
novel adaTante
Haryati
karya JFX dari Bojonegoro,Panggonjakkarya Oyos
dari Tulungagung, sertaAku Wong
Kafir
karya Tulus S. dari Madiun.Setelah dibaca dengan
pertimbangan yang cermat, baik dari pemilihan tema, penggarapan cerita,dan
pemanfaatan bahasa cerita maka ditetapkan belum ada buku yang pantas
dipilih sebagai nomine untuk kelompok novel.
Setelah
ditimbang-timbang secara cermat dan matang, maka diputuskan bahwapenerima
Hadiah Sastera “Rancagé” 2020
untuk karya sastera Jawa adalah
Kalung
Kumpulan Cerita Pendek karya Irul S.
Budianto
Diterbitkan
oleh Buana Grafika,Yogyakarta
Kepada Irul
S. Budianto akan diserahkan Hadiah Rancagé tahun 2020
berupa piagam dan uang.
Hadiah
Sastera ”Rancagé” 2019 untuk Sastera Bali
Buku sastera
Bali modern (SBM) yang terbit tahun 2019 berjumlah 13 judul, meningkat empat
judul dibandingkan tahun sebelumnya (2018) yang mencapai 9 judul. Di luar buku
tersebut, karya SBM juga terbit di surat kabar edisi Minggu, berupa puisi dan
cerita pendek. Selain itu, SBM juga terbit dalam majalah berbahasa Bali Suara
Saking Bali (Suara dari Bali), terbit secara daring
(https://suarasakingbali.com). Penulis-penulis yang baru muncul mendapatkan
ruang publikasi di media-media ini sebelum kelak memiliki antologi sendiri yang
akan mewarnai perkembangan SBM ke depan.
Sampai
Januari 2020, majalah bulanan Suara Saking Bali sudah terbit 39 edisi,
dikelola oleh IDK Raka Kusuma dan para penulis yang sebagian besar pernah
menerima hadiah sastera Rancage. Majalah ini memuat cerita pendek, puisi, esai
dan bentuk tulisan lain dalam bahasa Bali. Selain karya-karya baru, majalah ini
juga memilih secara selektif karya-karya lama yang baik. Kehadiran majalah Suara
Saking Bali menjadi salah satu media penting untuk pengarang SBM mempublikasikan
karya, dan membuat SBM dapat dijangkau peminatnya dengan gratis.
Dari
tiga belas karya yang terbit tahun 2019, terdapat satu novelet berjudul Tresna
tuara Teked (Kasih tak Sampai) karya Ida Bagus Pawanasuta. Terdapat delapan
kumpulan cerpen, satu berupa cerpen terjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa
Bali berjudul Meme Mokoh (Ibu Mokoh) karya Putu Oka Sukanta
(diterjemahkan oleh IDK Raka Kusuma dan I Putu Supartika); satu buku kumpulan
cerpen bersamaNyujuh Langit Duur Bukit (Menggapai Langit di Atas Bukit)
berisi cerpen karya 22 cerpenis, semula cerpen dimuat di majalah Suara
Saking Bali; sisanya enam antologi cerpen adalah karya individu. Dari 13
buku, terdapat empat antologi puisi, satu buku hasil karya penulis se-Kabupaten
Bangli berjudul Puspanjali (Bunga Persembahan) dan tiga lainnya adalah
karya penyair tunggal.
Tiga judul buku yang masing-masing merupakan
antologi puisi bersama, antologi cerpen, dan cerpen terjemahan tidak diikutkan
dalam nominasi ini.
Dari tiga
antologi puisi yang dinilai, terdapat satu antologi puisi naratif, sedangkan
yang dua lainnya adalah kreasi puisi seperti umumnya puisi. Ketiga antologi
puisi tersebut adalah Adi Bulan (Adik Bulan) kumpulan puisi I Putu Wahyu
Santosa; Ulun Danu kumpulan puisi karya Erkaja Pamungsu (IK Eriadi
Eriana), dan Kamerad Leningrad puisi naratif IDK Raka Kusuma.
Antologi
puisi Adi Bulan berisi 44 puisi yang secara umum bertema romantisme
alam, budaya, nasehat, tempat, dan kesetiaan heroik. Puisi bertema romantisme
alam melukiskan keindahan alam atau suasana yang bernada kesetiaan yang heroik.
Sajak yang mengandung tema heroisme dan kesetiaan bisa disimak dalam sajak “masatya
Bhakti” (Setia Berbhakti). Yang menarik adalah banyak sajak yang ditulis
dengan pola repetisi setiap frase di awal bait, seperti sajak ‘Basa Sunia’
(Bahasa Sepi), yang terdiri dari tiga bait, dan ketiganya diawali dengan
ungkapan ‘apeke sujatine sunia’ (apakah sejatinya sepi), ungkapan
repetitif untuk keindahan dan pendalaman pertanyaan yang membayangkan bahwa
jawabannya banyak. Sementara itu, sajak ‘Adi Bulan’ yang menjadi judul
antologi ini mengungkapkan puja-puji penyairnya kepada keanggunan bulan dan
bintang yang senantiasa memperindah malam. Sajak ini, seperti juga saja-sajak
lainnya, berusaha untuk membuat bunyi suku kata terakhir setiap barus berirama.
Antologi
puisi Ulun Danau (Hulu Danau) karya Erkaja Pamungsu berisi 104 puisi,
dengan berbagai tema seperti keindahan alam, spiritualitas, kritik sosial
mengenai berita bohong (hoax). Sesuai judul antologi ini, ada tujuh
puisi berjudul ‘Ulun Danu’ dan sebelas sajak berjudul ‘Batur’ masing-masing
dengan nomor seri. Mirip dengan antologi puisi Adi Bulan, sajak-sajak
dalam antologi ini pun menggunakan pola repetisi, bahkan lebih panjang dan
intensif, seperti terlihat dalam sajak ‘Yeh’ (Air) yang terdiri dari
sembilan bait, berarti sembilan ungkapan ‘yeh’ dipakai membuka setiap
bait. Ulun Danu mengacu pada Danau Batur di daerah Kintamani, tempat indah
sejuk berwisata dengan panorama Gunung Batur, kaldera batur, dan danau Batur.
Sajak ‘Yeh’ tampil sebagai representasi dari judul karena Batur adalah
sumber utama air di Bali.
Di antara
tiga antologi puisi, antologi Kamerad Leningrad karya IDK Raka Kusuma
tampil menarik karena ditulis dengan teknik naratif. Antologi ini terdiri dari
dua puisi panjang; puisi pertama berjudul “Mei Hwa” (tertuang dalam 30 halaman)
dan yang kedua “Kamerad Leningrad” (tertuang dalam 70 halaman). Intisari dari
antologi puisi ini bisa disimak dari halaman dedikasi buku yang berbunyi: katur
ring tumbal Reformasi(Dipersembahkan kepada tumbal
Reformasi); Katur ring tumbal Ideologi (Dipersembahkan kepada tumbal
Ideologi). Dalam puisi pertama, narator mengisahkan peristiwa reformasi dan
nasib tragis yang dialami Mei Wah, yang akhirnya bunuh diri dengan menembak
diri. Antologi ini memberikan kontribusi pada genre baru sastera Bali modern,
melukiskan peristiwa politik 1965 dan reformasi 1998, dengan bahasa yang indah,
narasi yang padat berisi lewat nama tokoh yang khas (Mei Wah orang keturunan
Tiongkok dan Kamerad Leningrad berasosiasi kuat dengan nama Rusia, negeri
komunis). Hanya saja dari segi substansi, isi kedua puisi naratif ini merupakan
pengungkapan dari pengetahuan umum dalam wacana publik mengenai peristiwa 1965
and 1998 tanpa kebaruan.
Enam
antologi cerpen SBM tampil dengan berbagai kelebihan dan keterbatasannya, namun
pada umumnya mengangkat tema kehidupan sehari-hari sehingga banyak yagn tampak
sebagai sketsa kehidupan yang kurang menampakan struktur ‘cerita” seolah
‘berita’. Cerpen Ngipiang Jokowi (Memimpikan Jokowi) karya I Made
Sugianto mendapat inspirasi dari kisah nyata menjelang dan pad saat Presiden
Jokowi berkunjung ke desa asal penulisnya. Selain sebagai penulis sastera dan
pengelola penerbit Pustaka Ekspresi, Made Sugianto juga menjadi kepala desa
yang daerahnya dikunjungi Presiden Jokowi. Cerpen ini dan cerpen lainnya yang
semuanya berjumlah 13 judul menjadi semacam sketsa yang, seperti ditulis Ketut
Sugiartha dalam ‘kata pengantar’, bertolak dari peristiwa nyata yang pernah
dihadapi penulis (‘sane naen kaarepin antuk pengawi’, hlm. vi). Yang
menarik dari karya-karya Made Sugianto adalah pemakaian peribahasa Bali seperti
‘tresnane mabatun buluan’ (cintaku satu, sama dengan biji rambutan),
yang membuat cerpen enak dibaca dan ungkapan itu serasa disegarkan kembali.
Penggunaan
ungkapan peribahasa Bali yang lebih kuat dari itu terasa dalam cerpen Aud
Kelor (Habis Kikis) karya Carma Citrawati. Antologi cerpen yang berisi 13
certia ini mengandung banyak ungkapan peribahasa. Bahkan, judulnya sendiri
adalah ungkapan perumpamaan. Banyak judul cerpen menggunakan bladbadan,
salah satu jenis peribahasa Bali, seperti gamongan kladi jae (omonmgan
bsia dibuat-buat) dan maberuk tanah (carat, nyaratang, ‘sangat
berharap’). Yang menarik dalam cerpen-cerpen di sini jika dikaitkan dengan
judulnya adalah bahwa kata ‘kelor’ menjadi nama tokoh Kelor yang muncul di
hampir semua cerita, ada I Kelor sebagai suami, I Kelor sebagai pembaca lontar,
I Kelor sebagai kontraktor (hlm 59), dan seterusnya. Kecuali nama sama untuk
mendukung judul antologi, tidak ada hubungan antara tokoh Kelor yang satu
dengan Kelor yang lain. Tema cerita kebanyakan bertolak dari sistem kepercayaan
orang Bali dan hal itu dilihat dari konteks logika modern. Misalnya, kisah
sorga dan neraka yang menjadi tempat bagi orang sesudah meninggal sesuai hukum
karma. Tentu saja perdebatan topik demikian sudah lumrah di masyarakat. Memang
secara keseluruhan, antologi ini menunjukkan kreativitas penulis dalam memilih
cerita, tema, menyusun alur, oenggunaan ungkapan yang begitu khas dalam cerita
ini. Namun, dalam hal pesan atau amanat cerita, terasa masih merupakan pengulangan
tanpa pendalaman.
Antologi
cerpen Ngerebutin Abu (Memperebutkan Abu) karya I Nyoman Agus Sudipta
berisi 11 cerita secara umum tampil dengan tema-tema sosial, hal-hal gaib, dan
pengalaman personal simbolik. Tema-tema menarik ini dituangkan dalam narasi
realis dan atau dengan teknik arus kesadaran bawah. Hampir semua cerita
memiliki ending yang tragis. Cerita “Ngerebutin Abu” yang menjadi judul
antologi ini mengisahkan perselisihan kakak-adik tentang kremasi almarhum
ayahnya. Karena perselisihan itu,tak satu pun ada yang mau mengurus, akhirnya
yang mengurus adalah ibunya seorang diri. Ketika rangkaian terakhir kremasi,
tak ada satu pun dari anak dan cucu mereka hadir, sehingga ketika pembakaran
‘raga-simbolik’ almarhum yang dilakukan tengah malam sesuai tradisi, api
membesar dan membakar rumah dan sang ibu. Logika cerita tidak terungkap
eksplisit di akhir, tetapi inilah ending yang tragis yang terjadi akibat
perselisihan keluarga dalam mengupacarai almarhum. Cerita ini memiliki konflik
dan alur yang kuat. Hanya saja, cerita-cerita lain dalam antologi ini tidak
sekuat cerita yang satu ini. Cerita “Ngambar Peteng” (Melukis Malam),
misalnya, mengisahkan memori pribadi dengan teknik arus kesadaran bawah dengan ending
cerita yang tergesa.
Kumpulan
cerpen Pasisi Sanur (Pantai Sanur) karya IBW Widiasa Keniten berisi dua
belas cerita sebagian besar mengambil tema tentang kegaiban. Cerpen “Pasisi
Sanur” melukiskan sisi gaib dari Sanur yang menjadi salah satu tempat untuk
belajar leak atau black magic, karena di sini ada apa yang
diturukan sebagai raja leak (hlm. 60). Ini adalah citra asli Sanur,
sebelum daerah ini menjadi daerah tujuan wisata yang terkenal. Kisah leak
ini diluskiskan dengan teknik halusinasi dengan membawa tokoh cerita ke alam
lain, dan cerita berakhir. Kisah kegaiban lain juga menjadi tema cerpen “Dadong
Bingin” (Nenek Beringin) dilukiskan sebagai manusia yang bisa muncul dan
hilang, seolah orang sakti. Disajikan dalam gaya bahasa yang lugas, segar,
inovatif, cerpen-cerpen dalam kumpulan ini menunjukkan penulisnya memiliki
banyak sumber cerita hanya saja dalam ksiah-kisah yang terlalu singkat
(rata-rata 4,5 halaman) banyak cerita berakhir tanpa pendalaman.
Kumpulan
cerpen Ling (Tangis) karya I Komang Alit Juliartha berisi 11 cerita,
pada umumnya melukiskan cerita-cerita ringan tetapi menarik yang terjadi dalam
konteks lingkungan keluarga, seperti konflik mertua-menantu dan kaish tak
sampai. Cerpen “Ling” yang menjadi judul antologi ini melukiskan tokoh
wanita seorang istri dengan satu anak yang meninggal gantung-diri karena merasa
selalu dipojokkan oleh mertua perempuannya. Sesudah kematian itu, semua sedih
dan nge-ling (menangis), bahkan anjing pun seolah ikut merasakan
kesedihan seisi rumah. Cerita lain yang bertema duka cinta karena kasih tak
sampai adalah “Ane Alihin Tiang” (Yang Kucari) mengisahkan pemuda
mencari pacarnya ke berbagai tempat, sampai tujuh tahun gagal. Pacarnya
menghilang karena sedih sesudah diperkosa oleh atasannya. Kisah-kisah ringan
dalam antologi ini enak dibaca dengan pesan-pesan kehidupan yang biasa beredar
di sekitar kita, seperti pentingnya keakuran antara menantu dan mertua untuk
kebahagaian keluarga.
Kumpulan
cerpen Bali Plastik? Karya Ni Nyoman Ayu Suciartini memuatenam cerita,
jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan antologi di atas atau pada
umumnya. Lagipula, cerpen-cerpen di sini juga sangat pendek. Karakteristik lain
dari cerpen-cerpen dalam antologi ini adalah semua cerpen dimaksudkan sebagai
propaganda anti-plastik, fenomena perang sampah plastik yang aktual dewasa ini.
Alur cerita tidak begitu tampak dipentingkan, yang lebih menonjol adalah
ungkapan-ungkapan untuk membuat pembaca mengurai atau mengehntikan penggunaan
plastik (tas kresek), menghormati peraturan pemerintah tentang larangan
penggunaan plastik, menjaga lingkungan, atau menjadikan plastik sebagau sumber
karya seni. Tingginya niat untuk memprioritaskan pesan membuat cerita tampil
seperti sketsa ide atau esai, dan itu sudah mulai terasa dari judul antologi
“Bali Plastik” atau judul cerpen“Pulau Plastik?”. Ada cerita yangdilengkapi
data angka-angka tentang volume sampah sehingga membuat karakter cerita sebagai
fiksi menjadi kedodoran.
Satu-satunya
novelet SBM yang terbit tahun 2019 berjudul Tresna tuara Teked (Kasih
tak Sampai) karya Ida Bagus Pawanasuta. Karya setebal 78 halaman ini menuturkan
kisah kasih tak sampai dua pasang pemuda karena dua alasan berbeda. Yang
pertama adalah percintaan antara I Duduk dengan Luh Kinanti yang tidak
bersambung karena dipisahkan oleh pendidikan dan karier berbeda kota. Duduk
adalah seorang seniman alam yang sangat berbakat yang mendapat pekerjaan
sebagai dosen di Amerika dan menikah dengan orang di sana, sedangkan Kinanti
melanjutkan kuliah di Australia dan akhirnya bekerja serta menikah di sana.
Kedua, kisah kasih tak sampai antara I Made Bungarta dengan Luh Cempaka gagal
karena campur tangan negatif kekuatan guna-guna (black magic). Ayah
Bungarta hendak memasang guna-guna pada Cempaka agar mau kasih pada Bungarta,
tetapi langkah itu gagal dan justru black magic itu akhirnya menyakiti
ayah Bungarta, sedangkan Luh Cempaka yang imun dari serangan black magic
akhirnya menjadi dukun sakti. Hanya Cempaka-lah yang akhirnya mampu mengobati
ayah Bungarta. Sebelum itu, Cempaka sempat jatuh cinta pada Duduk, tetapi kalah
pesona dengan Kinanti. Kisah hidup Duduk (bahasa Bali ‘duduk’artinya pungut)
cukup misterius tetapi sebagai tokoh utama atau hero dalam novelet ini, sejak
awal dia memiliki kehebatan, muali dari sebagai seniman serba bisa, mendapat
anugerah kekuatan gaib di kuburan, dan selalu berhasil mengalahkan serangaan black
magic terhadapnya. Selain itu semua, dia juga tampan, dan menjadi rebutan
beberapa perempuan.
Novelet ini
ditulis dengan bahasa yang lugas, kalimat ringkas, namun dapat mengekspresikan
berbagai perasaan (cinta, culas, iri hati, sombong) dengan baik dan dalam. Alur
cerita mengalir jelas diwarnai konflik dan tegangan di setiap bagian sehingga
cerita memikat. Narasi cerita berhasil menyajikan latar budaya Bali yang kaya
akan jenis seni pertunjukan. Kekhasan latar dalam novelet itu terungkap lewat
berbagai isu black magic dan kekuatan gaib yang menjadi bagian dominan
dalam sistem kepercayaan dan kehidupan sosial masyarakat Bali. Ending cerita
terlalu cepat karena kurang eksplorasi tetapi sensible (masuk akal)
karena merefleksikan apa yang terjadi dalam alam nyata, di mana seniman Bali
karena bakatnya bisa mendapat pekerjaan sebagai dosen seni di luar negeri
walaupun tujuan awal mereka berkesenian bukanlah itu. Pendek kata, novelet ini
berhasil menampilkan gambaran masyarakat Bali yang kehidupannya kuat
dipengaruhi oleh praktik kesenian dan kepercayaan kekuatan gaib agtau
supranatural.
Berdasarkan
penelahaan terhadap karya sastera Bali modern di atas, maka diputuskan penerima
Hadiah Rancagé tahun 2020 untuk karya sastera Bali adalah
Tresna tuara Teked(Kasih
tak Sampai)
Karya Ida
Bagus Pawanasuta
Penerbit
Pustaka Ekspresi
Kepada Ida
Bagus Pawanasutaakan diserahkan hadiah Rancagé tahun 2020
berupa piagam dan uang.
Hadiah Sastera ”Rancagé” 2020Untuk
Sastera Lampung
Pada
tahun 2018, hanya ada dua judul buku sastera Lampung yang terbit, yaitu Sanjor
Induh Kepira, kumpulan sajak karya Elly Dharmawanti dan Lapah Kidah
Sangu Bismillah, kumpulan prosa karya Semacca Andanant. Karena tidak
memenuhi ketentuan batasan minimal 3 (tiga) buku dari penulis berbeda, kedua
buku tersebut penilaiannyaditangguhkan pada tahun berikutnya.
Sedangkan
pada tahun 2019 terbit tiga judul buku sasteraMuli Sikop sai Segok,
kumpulan sajak Z.A. Mathikha Dewa; Lawi Ibung, kumpulan cerbun (cerpen)
S.W. Teofani; dan Lunik-Lunik Cabi Lunik, kumpulan cerita mini Udo Z.
Karzi. Lima buku terbitan 2018 dan 2019 yang akan dinilai untuk Hadiah Sastera“Rancagé”
Lampung 2020. Kelima buku itu terbitan Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung. Menjadi
pertanyaan, mengapa hanya satu penerbit yang mau menerbitkan sastera
(berbahasa) Lampung. Sebelumnya, ada BE Press dan Lampung Literature. Artinya,
sampai setakat ini, tak lebih dari tiga penerbit yang peduli dan mau
menerbitkan sastera Lampung.
Sanjor Induh Kepira (Senja yang Kesekian) berisi 71 puisi pendek-pendek
Elly Dharmawanti. Puisi-puisinya banyak berbicara mengenai perasaan tak menentu
‘aku liris’ yang terluka, tetapi mencoba bersetia pada sesuatu yang diyakini.
Lingkungan pesisir yang yang tercemar dan kemanusiaan yang ikut rusak bersamaan
dengan hilangnya jatidiri. Secara umum, Elly cukup berhasil membangun suasana
puisinya.
Sajak-sajak Z.A. Mathikha Dewa dalam Muli Sikop sai Segok (Gadis Manis yang Sembunyi) lebih banyak
menggunakan bahasa yang sederhana dan lugas. Agaknya, penyair ini masih
mencari-cari bentuk penyajian puisi yang pas. Namun secara keseluruhan
puisi-puisi dalam kumpulan ini cukup menarik. Ada cuatan-cuatan yang membuat
sajak-sajak dalam buku ini terasa lebih kuat.
Boleh dikatakan, cerbun-cerbun (cerpen-cerpen) S.W. Teofani dalam buku Lawi Ibung membawa perbedaan dibandingkan dengan cerpen-cerpen yang bertaburan di
media massa. Meskipun berbahasa Lampung, cerbun Teofani mengingatkan pada
cerpen-cerpen Mustafa Bisri dan Zainal Abidin Thoha.
Dengan cerita-cerita sangat pendek Udo Z Karzi
melalui Lunik-Lunik Cabi
Lunik (Kecil-Kecik Cabe Rawit) berkisah ringan ihwal
dunia kanak-kanak, mestipun sebenarnya ia tidak sedang menulis cerita
anak-anak. Terkadang, ada sentakan dari perilaku anak-anak yang membuat orang
tua tertegun, tertawa, bahkan berefleksi. Sangat segar.
Akan halnya Semacca Andanant, ia hadir di Lapah Kidah Sangu Bismilah dengan bandung dan hahiwang, dua bentuk sastera
lisan Lampung berbentuk prosa liris. Namun, ia berhasil memasukkan unsur modern
dalam penyajian karya tulisnya.
Untuk
menentukan satu dari lima karya tersebut sangatlah sulit karena pencapaian
kadar sasterawi dengan spektrum estetis yang berbeda, paling tidak ada tiga
spektrum, yaitu kesatuan (unity), kerumitan (complexity), dan
kesungguhan (intensity). Setelah memperhatikan, pilihan jatuh kepada Lapah Kidah Sangu Bismillah, Bandung &
Hahiwang karya Semacca Andanant. Terjemahan bebas Lapah Kidah Sangu Bismillahadalah
Berjalanlah dengan Bekal Bismillah. Bandung
dan hahiwang merupakan jenis sastera
lisan Lampung. Bandung berisi nilai-nilai agama, adat, atau aturan
hidup. Bandung dalam buku tersebut
ada empat belas judul dan hahiwang ada
dua belas judul.
Berikut
ini terjemahan dari teks Bandung yang
menunjukkanpengakuan sang penutur terhadap keberadaan Allah Yang Mahakuasa.
Bismillah
yang pertama, alhamdulillhya Allah Robbi, hambamu tak berdaya, hamba mohon
ampunan, engkau pemilik segalanya, dari langit sampai bumi, yang Nampak oleh
mata, sampai dengan yang tak Nampak oleh mata, engkau segala raja, junjungan
dalam hati, Tuhan tiada memiliki rupa, tiada yang menyamai, yang memiliki
segala tahta, bersemayam di arasy-nya, …. (hlm. 5).
Hahiwang
berisi pahitnya kehidupan. Berikut ini terjemahan dari teks hahiwang yang menunjukkan kesedihan sang
penutur.
Di situ saya tambah resah, hancur rasanya, teriak
tak kusadari, menangis histeris pun terjadi, ya Allah apa daya, kasihan nasib
diri ini, dengan siapa aku meminta pertolongan kalo musibah ini yang menimpa
diri, ayah tak lagi bersama, ibu pun sudah meninggal dunia …. (hlm. 43).
Bandung dan Hahiwang yang
seyogyanya dituturkan secara lisan dengan alunan dan nada suara tertentu
menjadi terdokumentasi secara tertulis, sehingga bisa dinikmati dengan cara
membaca. Memang di satu sisi kehilangan kelisanannya, tetapi di sisi lain ini
membuka peluang nilai-nilai dalam bandungdan hahiwang dapat dinikmati secara luas. Hal tersebut dimungkinkan
karena Semacca Andanant berhasil meramu ketradisionalan ke dalam teknologi
cetak. Buku ini akan lebih bagus lagi jika dilengkapi dengan VCD yang berisi rekaman
penuturan bandung dan hahiwang tersebut.
Semacca Andanant adalah nama pena dari Dainurint
Toenith, kelahiran Kotaagung, 29 Desember 1974. Sejak masih SD mulai suka
merangkai kata membuat wayak (pantun), segata lagu Lampung. Ia mulai mengenal
bandung dan hahiwangmelihat orang tuanya ngebandung di rumah. Sejak saat itu ia
semakin suka.
Setelah menimbang-nimbang secara matang, diputuskan
penerima Hadiah Sastera Rancage 2020 untuk sastera Lampung adalah:
Lapah Kidah Sangu Bismillah
Kumpulan prosa karya Semacca Andanant
diterbitkan
oleh Pustaka LaBRAK, Bandar Lampung
Kepada Semacca
Andanant (Dainurint
Toenith) akan diserahkan hadiah Rancagé tahun 2020
berupa piagam dan uang.
Hadiah Sastera ”Rancagé” 2020Untuk
Sastera Batak
Dari sejumlah buku sastera berbahasa Batak yang dinilai dalam Hadiah
Sastera “Rancagé” 2020, novel Guru Honorkarya Robinson Siagian memiliki beberapa kelebihan. Budaya Batak dikenal sangat
kental dan kuat dengan sistem kekerabatannya. Novel ini mencerminkan budaya,
tradisi, adat istiadat dankehidupan orang Batak Toba di kampung. Bagaimana
komunikasi yang dibangun antara orangtua dan anak,juga sebaliknya,denganpenekananserta
gaya bahasa yang berbeda.
Dalam novel ini, banyak makna tersirat dari setiap kalimat atau frasa yang
diutarakan lewat pantun atau peribahasa, yang sangat syarat dengan nasihat-nasihat
(poda). Frasa seperti ini sulut diterjmahkan
secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia. Narasi dalam cerita ini berhasil
menyajikan latar belakang budaya Batak Toba,bagaiaman orangtua di kampungyang
kerja keras seperti bertani di ladang atau sawah, berjuang menyekolahkan anak-anaknya
untuk memperoleh pendidikan tinggi. Adapula frasa yang menggunakan pantun (umpasa), mampu mendeskripsikan perasaan,
kesedihan, kekecewaan, kegembiraan, rasa sayang, cinta, amarah yang tidak terungkapkan
secara langsung,melainkan melalui tindakan. Juga perasaan orangtua yang
dikecewakan oleh kelakuan anak-anaknya yang tidak menuruti nasehat orangtuanya,
sehingga si anak mengalami masalah dan kegagalan.
Pada akhir cerita,dikisahkan seorang perantau yang suda berhasil
menyelesaikan pendidikannya di kota.Sebagai tanda baktinya kepada orangtua dan
kampung halamannya, ia memilih untuk menjadi guru di kampungnya. Disini ada
pengorbanan dan prinsip yang ditanamkan bahwa kalau bukan kita, siapa lagi yang
akan membangun kampung.
Setelah
ditimbang-timbang secara cermat dan matang, maka diputuskan bahwa penerima
Hadiah Sastera “Rancagé” 2020
untuk karya sastera Batakadalah
Guru Honor
Novel karya
Robinson Siagian
diterbitkan
oleh Yayasan Pelestari Kebudayaan Batak
Kepada Robinson Siagian akan diserahkan hadiah Rancagé tahun 2020
berupa piagam dan uang.
Hadiah Sastera ”Rancagé” 2020Untuk
Sastera Madura
Kerrong ka Ombamerupakan kumpulan
cerita pendek karya
Mat Toyu. Buku ini cukup menonjol dibandingkan dengan
buku-buku sastera berbahasa Madura lainnya yang dinilai untuk Hadiah Sastera
“Rancagé” 2020. Secara umum, cerita dalam buku ini menggambarkan kehidupan di
pedesaan yang memukau. Di sana tercermin bagaimana akhlak dan kekerabatan yang
begitu kuat. Penghormatan terhadap perempuan, keakraban anak muda dengan orang
tua, diceritakan secara menarik. Narasi dan dialog dalam buku ini disusun
dengan bahasa yang segar, lancar, jauh dari penuturan yang membosankan.
Pengaran juga menguasai
teknik bercerita yang baik.
Setelah ditimbang-timbang secara cermat
dan matang, maka diputuskan bahwa penerima
Hadiah Sastera “Rancagé” 2020
untuk karya sastera Maduraadalah
Kerrong ka Omba
Kumpulan cerita pendek karya Mat Toyu
diterbitkan
oleh Penerbit Sulur, Yogyakarta
Kepada Mat Toyu akan
diserahkan hadiah Rancagé tahun 2020 berupa
piagam dan uang.
Hadiah “Samsoedi” 2020
untuk penulis bacaan anak-anak
dalam bahasa Sunda
Buku cerita untuk anak-anak dalam bahasa Sunda terbitan tahun
2019 yang tercatat oleh panitia terdiri atas delapan judul. Dua judul di antara
kedelapan buku itu adalah Jang Adul Sabatur-batur karya H. Usép Romli
H.M.(Kiblat Buku Utama) dan Si Luis karya Tatang Sumarsono (Geger
Sunten), sementara enam judul selebihnya merupakan karya Budi Riyanto Karung
dan semuanya merupakan terbitan Geger Sunten, yakni Balap Embé, Miceun Tipi,
Juara Balap Karung, Moal Mabok Laut, Pung Hay Suk, dan Thomas
Savery. Keenam buku karya Budi merupakan rangkaian cerita yang oleh
pengarangnya diberi subjudul Obrolan Adé Érik jeung Lanceukna.
Ketiga pengarang tersebut bukan nama asing di lingkungan sastera
Sunda. H. Usép Romli H.M. (lahir di Limbangan, 16 April 1949) menulis sajak,
cerita pendek, dan karya jurnalistik. Ia pernah bekerja sebagai guru, kemudian
sebagai wartawan. Tatang Sumarsono (lahir di Tasikmalaya, 25 Januari 1956)
menulis sajak, cerita pendek, novel, biografi, dan karya jurnalistik. Ia pun
pernah bekerja sebagai wartawan. Adapun Budi Riyanto Karung (lahir di Bandung,
4 Juni 1954) selain dikenal sebagai pengarang yang menulis sajak dan cerita
pendek, juga dikenal terutama sebagai kartunis dan ilustrator. Ia belajar
menggambar secara otodidak, dan dalam perkembangannya bekerja sebagai kartunis
dan ilustrator, dan pernah pula bekerja sebagai guru SMP dan korektor majalah Manglé.
Nama “Karung” merupakan
akronim dari Kerabat Kartunis Bandung, klub kartunis
tempat ia berkecimpung sejak 1985.
Menentukan pilihan di antara buku-buku tersebut tidak mudah.
Jenis karangan yang dihasilkan oleh ketiga penulis tersebut sama. Semuanya
merupakan seri cerita, yakni rangkaian cerita yang tokoh dan latarnya sama tapi
tidak dipertautkan oleh kesamaan tema atau jalan cerita. Tiap-tiap cerita yang
terhimpun pada tiap-tiap buku pada dasarnya merupakan satu cerita yang selesai,
rampung, tidak bersambung. Semuanya juga berisi alegori bagi pendidikan moral,
barangkali ditulis dengan motivasi untuk menjadikan buku-buku itu sebagai
pemerkaya pengajaran di sekolah.
Terlepas dari ciri umum demikian, tentu saja, tiap-tiap
pengarang memperlihatkan ciri khasnya sendiri. Buku Jang Adul Sabatur-batur mengangkat
kehidupan anak-anak murid sekolah dasar di lingkungan perdesaan dengan rumah
yang dikelilingi kebun, kali, pepohonan, dan ternak. Cerita-ceritanya, yang
terdiri atas 24 judul,berkisar di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat
bermain. Hal-ihwal menarik dari kehidupan Indonesia kontemporer, semisal projek
pembangunan kereta api cepat antara Bandung dan Jakarta, atau prestasi klub
sepak bola kebanggaan Jawa Barat Persib
dalam kompetisi Piala Presiden, dijadikan bahan cerita, masuk ke sela-sela
dialog di antara tokoh-tokoh cerita. Haji Usép, pengarang yang sehari-harinya
juga bergiat di lapangan keagamaan, juga memperlihatkan cirinya yang barangkali
paling khas, yakni menyelipkan tuntunan-tuntunan kesalehan dalam kehidupan
sehari-hari. Doa sebelum tidur atau doa minta hujan, misalnya, diperkenalkan
kepada anak-anak di samping lirik lagu Nusantara atau lirik lagu anak-anak
Sunda.
Tatang Sumarsono memperkenalkan karakter baru dalam fabel
Sunda. Selama ini tokoh-tokoh cerita dalam dongéng biasanya menonjolkan
sosok kuya (kura-kura) dan monyét (kera). Tokoh utama dalam Si
Luis, kumpulan cerita yang terdiri atas33 judul, adalah seekor bajing (tupai)
beserta teman-temannya, termasuk kuya dan monyét. Karyanya
dimaksudkan sebagai dongéng, istilah Sunda yang mengacu kepada rumpun
cerita rekaan tersendiri, yakni cerita yang menampilkan tokoh-tokoh dari dunia
binatang. Dongéng Si Luis mengambil latar hutan yang digambarkan
terletak di kaki gunung, bertanah subur, dan ditumbuhi pokok-pokok kayu yang
besar dan tinggi. Cerita binatang dalam buku ini melibatkan manusa
(manusia), khususnya untuk memainkan peran antagonis. Isinya mengandung alegori
bagi pengajaran perilaku, misalnya agar anak-anak jangan berbuat sologoto (=
sembarangan; berbuat sesuatu tanpa pertimbangan yang matang). Buku ini
dilampiri dengan kamus kecil dwibahasa, Sunda-Indonesia, barangkali diupayakan
dengan anggapan bahwa jika buku ini dipakai dalam pembelajaran bahasa dan sastera
di sekolah, lampiran tersebut dapat membantu anak-anak yang di lingkungan rumah
atau lingkungan sehari-harinya sudah cenderung menjauh dari bahasa Sunda.
(Sayang sekali, kata sologoto tidak termasuk ke dalam lampiran kamus).
Cerita-cerita Si Luis tadinya diumumkan secara sinambung dalam suratkabar
mingguan berbahasa Sunda Galura.
Dari halaman Galurapula Budi
Riyanto Karung menyumbangkan Seri Cerita Obrolan Adé Érik jeung Lanceukna.
Seri cerita ini terdiri atas 6 jilid, dan masing-masing jilid terdiri atas 20
judul cerita. Jumlah cerita seluruhnya mencapai 120 judul. Keenam buku tersebut
tidak dikasih nomor. Namun, jika diperhatikan baik-baik, pola penghimpunan dan
penyusunan cerita-cerita itu bersifat alfabetis berdasarkan huruf pertama
tiap-tiap judul cerita pada tiap-tiap buku. Dengan demikian, jika harus
diurutkan, seri cerita ini terdiri atas: 1. Balap Embé (A-C); 2. Miceun
Tipi (D-I); 3. Juara Balap Karung (I-M); 4. Moal Mabok Laut (M-P);
5. Pung Hay Suk (P-T); 6. Thomas Savery (T). Cerita-cerita yang
dihimpun dalam keenam buku tersebut tadinya dimuat dalam Galura dari
Juni 2016 hingga Juni 2019. Cerita-cerita dalam rangkaian buku ini dikemas
dalam bentuk obrolan antara Érik dan kakaknya yang ia panggil dengan sapaan
“Aa”.Obrolannya lugu, kekanak-kanakan, dengan belokan logika yang menimbulkan
gelak tawa. Tema obrolan beragam, mulai dari cara menyembelih ayam hingga
nama-nama penemu listrik dan bohlam. Dari gayanya bercerita, tidak terasa
adanya pretensi untuk menggurui anak-anak. Pengarang tampaknya lebih tertarik
untuk menggambarkan anak-anak itu sendiri dalam tindak tutur sehari-hari.
Betapapun, dengan caranya sendiri, buku-buku tersebut juga memperlihatkan
contoh yang bagus mengenai pemakaian undak-usuk bahasa Sunda sebagaimana
yang tercermin dari perbedaan kosa kata yang dipakai antara adik dan kakak. Di
hadapan kakaknya, Érik selalu mamakai kata-kata lemes (halus), sedangkan
kakaknya selalu memakai kata-kata loma (akrab), pertanda bahwa sang adik
menghormati sang kakak. Kalau bersoal-jawab, sering kali sang kakak menyebut
Érik dengan “Kérik”, pertanda ia sedang jengkel terhadap adiknya. Rasa humor
yang kuat, yang kiranya menjadi salah satu kekuatan kumpulan cerita ini, tentu
saja dimungkinkan oleh kiprah Budi sebagai kartunis, yakni profesi yang mampu
melihat hal-ihwal yang lucu dari kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan pertimbangan sebagaimana yang tertuang dalam uraian di atas,
pemenang Hadiah Samsudi 2020 adalah
Obrolan Adé Érik
jeung Lanceukna (6 jilid)
Karya Budi Riyanto Karung
Diterbitkan oleh Penerbit Geger Sunten
Kepada Budi Riyanto Karung akan diserahkan hadiah “Samsoedi” tahun 2020 berupa piagam dan uang.
Acara penyerahan Hadiah
Sastera Rancagé dan Hadiah “Samsoedi” tahun 2020 diselenggarakan pada tanggal 31 Januari 2020, di
Jatiwangi Art Factory (JAF), Jl. Makmur No.71, Jatisura, Kec. Jatiwangi,
Kabupaten Majalengka, Jawa Barat.
Jatiwangi,
31 Januari 2020
Ketua
Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancagé
Dewan Juri Hadiah Sastera “Rancagé” 2020
1. Hawé Setiawan (Sastera Sunda)
2. Teddi Muhtadin (Sastera Sunda)
3. Sri Widati Pradopo (Sastera Jawa)
4. Dhanu Prio Prabowo (Sastera Jawa)
5. I Nyoman Darma Putra (Sastera Bali)
6. Kahfi Nazarudin (Sastera Lampung)
7. Rita Sihité (Sastera Batak)
8. D. Zawawi Imron (Sastera Madura)
Komentar