Sepasang Mata Ching-Ching Liana; Gadis Keturunan Tionghoa Sang Penyelamat



Catatan Malam DHIPA GALUH PURBA




Ini bukan kisah fiksi. Sangat nyata terjadi dalam hidup saya yang hamper hancur tak berguna. Saya pernah menjadi pemabuk, pembuat onar, dan hampir putus sekolah di kelas 2 SMP. Untunglah saya bertemu Ching-ching Liana, seorang gadis keturunan Tionghoa yang memiliki ketajaman sepasang mata, mata soca dan mata jiwa.


Tahun 1992, saya minggat dari Panjalu, Ciamis, karena tidak mau melanjutkan sekolah. Saat itu saya baru duduk di kelas 2 SMPN Panjalu. Artinya usia saya saat itu Artinya usia saya saat itu baru 14 tahun. Saya  berniat minggat ke Bandung karena terdorong keinginan untuk membeli sepeda motor. Dalam pikiran saya saat itu, saya harus bekerja di kota kalau ingin punya sepeda motor. Sisi positifnya pada saat itu, saya tidak pernah menyalahkan orangtua yang tidak bisa membelikan motor. Saya sudah menerima keadaan itu. Dan untuk merubah keadaan, saya harus bergerak.

Namun, minggat pun tidak semudah itu, karena terbentur persoalan perbekalan uang untuk ongkos dan makan. Tapi, persoalan itu terpecahkan ketika teringat  dua orang sahabat yang sudah bekerja di Pasar Panjalu, Teti dan Yuni. Mereka adalah sahabat terbaik di kampung halaman, yang sering bersama dalam suka dan duka. Setiap pulang mengaji, sekitar jam 20.00 WIB, saya yang mengantarnya pulang, melewati kebun dan makam yang gelap gulita, tentu membuat merinding bulu kuduk. Tetapi demi sahabat, saya tidak pernah bosan mengantar mereka setiap pulang mengaji atau mengantar mereka kemanapun disaat saya dibutuhkan.

Yuni berkali-kali menyarankan agar saya tidak jadi minggat ke Bandung. Yuni menginginkan saya tetap sekolah sampai tuntas, dan ia bersedia membantu apapun jika saya membutuhkan. Tapi, saat itu saya bersikeras untuk tetap minggat. Saya mau ke Bandung, mau bekerja di kota, dan sudah malas untuk melanjutkan sekolah. Akhirnya Yuni tidak mampu lagi menghalangi niat saya. Dia memberi saya uang untuk ongkos ke Bandung dan bekal yang cukup untuk beberapa hari.

Dengan bekal dari Yuni, saya berangkat ke Bandung, naik mobil elf BP (Bandung-Panjalu). Selama dalam perjalanan, saya berpikir keras menentukan tujuan. Tentu saja tidak menemui kakak atau bapak, karena mereka pasti balik memarahi saya dan menyuruh pulang ke Panjalu. Kalau sudah begitu, tentu sia-sia minggat dari rumah.

Sampailah ke Bandung, dan saya menuju Jatayu (Jl. Kom.Ud Supadio) sambil tetap kebingungan mencari tempat tinggal. Ketika saya sedang makan di sebuah warung kecil, ada seorang anak sebaya saya yang mengajak ngobrol. Sebut saja namanya Udi. Dia tidak sekolah. Sehari-harinya bekerja menjadi buruh pengaspalan jalan. Saya tertarik, dan menawarkan diri untuk ikut bekerja. Udi menyanggupinya, dan mengajak saya ke Gang Hanura untuk diperkenalkan kepada bosnya, seorang pemborong pengaspalan jalan. Entahlah, saya lupa nama bosnya, karena saya tidak berusaha mengingatnya.

Alhamdulillah, untuk sementara waktu, saya bisa tinggal di rumah Udi, dan ikut bekerja mengaspal jalan. Dari mulai menggali, mengangkut tanah dengan dolak, membakar aspal, dan sekaligus mengaspalnya. Saat itu, lokasi pengaspalannya terletak di Komplek Melong,  Cijerah. Setiap hari, dari Jatayu naik angkot Ciroyom-Cijerah menuju lokasi pekerjaan. Bekerja membanting tulang, dengan upah Rp 3.000,-/hari. Namun saya tidak menyesal, karena itulah jalan yang saya pilih. Dalam hati saya hanya terpikirkan bagaimana caranya saya mengumpulkan uang yang banyak, membeli baju, celana, sepatu, sepeda motor, dsb.

Udi adalah teman setia. Dia selalu menjadi kawan saya dalam suka dan duka. Suatu kali di Cijerah, pernah ada anak sebaya saya yang melintasi jalan yang baru saja diaspal (belum kering). Dia mengendarai sepeda motor, dan dengan seenaknya merusak pekerjaan saya. Kontan saya marah, dan mengucapkan sumpah serapah plus mengabsen penghuni kebun binatang. Dia tidak berani berhenti, hanya menoleh sebentar dan meninggalkan kami. Namun tidak lama kemudian, dia datang lagi membonceng dua orang kawannnya, dan langsung menghampiri saya.

Saya sudah bisa menduga, mereka pasti bermaksud mengeroyok saya. Oleh karena itu, saya bersiap-siap untuk melawan. Namun, tiba-tiba Udi mendahului menyerang mereka sambil membawa balincong. Mereka ketakutan, berlari menuju motornya, dan langsung kabur. Udi mengejarnya sambil berteriak menantang mereka.  Namun mereka menghilang di belokan jalan. Sejak saat itu, saya tidak pernah bertemu lagi dengan mereka.

Di tempat tinggal saya, Gang Hanura Jatayu, saya pun pernah terjerumus dalam pergaulan yang negatif. Hampir setiap malam meminum minuman keras sampai teler. Biasanya saya minum arak atau KTI. Dalam waktu singkat, saya dikenal sebagai seorang pemabuk. Lagi-lagi, Udi yang selalu mengurusi saya disaat sedang mabuk berat. Seperti pada suatu malam, Udi menemukan saya tertidur di WC dalam keadaan pingsan, setelah muntah-muntah. Udi membersihkan muntah di pakaian saya, dan memapah saya menuju rumahnya. Dan banyak lagi kebaikan Udi yang tidak akan pernah terlupakan. Selain Udi, saya pun pernah ditolong oleh Erwan (putranya kakak sepupu), ketika saya mau dikeroyok di rel kereta api Ciroyom, dekat mulut gang Hanura. Saat itu, saya dalam keadaan mabuk parah.

Bekerja keras, meminum minuman keras, dan membikin masalah, demikian keseharian saya di Gang Hanura. Selintas, saya sudah dapat dipastikan menjadi produk manusia gagal. Ada beberapa sahabat lain di Gang Hanura, yang namanya masih diingat, yaitu Akew, Dadan, dsb. Sedangkan kerabat saya yang sering direpotkan, di antaranya Asep Maja dan istrinya, Kang Cece sekeluarga, dsb.

**

Di suatu hari yang begitu terik, panas mentari terasa membakar kulit. Saya sedang menggali tanah untuk pengerjaan pengaspalan di Jalan Andir. Tubuh saya sudah dibanjiri keringat. Dalam situasi seperti itu, tiba-tiba seorang gadis keturunan Tionghoa menghampiri saya. Kira-kira usianya 20 tahunan. Wajahnya cantik, putih tentu saja, dan tinggi. Potongan tubuhnya ideal dan memiliki daya pesona yang kuat.

“Kamu pasti haus ya?” begitu tanyanya dengan sikap yang bersahabat.

“Emm... iya, Teh...” jawab saya, sejujurnya memang haus. Saya memanggil “Teteh”, karena sudah jelas usianya di atas saya.

“Mari ke rumah saya. Ada minuman dingin di sana....” ajaknya dengan serius.

Sebelum saya mengiyakan, terlebih dulu melirik Udi yang sama-sama sedang sibuk bekerja. Udi seperti mengerti dengan lirikan saya. Udi mengangguk, sebagai isyarat agar saya mau menuruti ajakan gadis Tionghoa itu. Bahkan sebelum saya pergi, Udi berbisik agar membawakan air dingin untuknya. Kebetulan saat itu tidak ada mandor. Wah... kalau ada mandor, istirahat sebentar pun bisa didamprat. Mandor itu sangat menjengkelkan dan perilakunya hampir tidak manusiawi. Itu yang saya rasakan.

Saya sampai ke halaman rumahnya. Dia menyuruh saya masuk, dan segera membawakan beberapa botol air dingin dari kulkas. Saya langsung meneguknya, kalau tidak salah sampai habis dua botol.

“Berapa upah kamu bekerja di sana?” tanyanya.

“Tiga ribu sehari...” jawab saya.

“Anak segede kamu belum pantas bekerja seberat itu,”

“Kalau tidak kerja, saya tidak akan makan, Teh...”

“Iya, tapi mestinya cari kerjaan yang sesuai lah,”

“Kalau ada yang lebih baik, pasti saya mau pindah kerja, Teh,”

“Kamu mau kerja di tempat saya?”

“Kerja apaan, Teh?”

“Membikin kue,”

“Mau, Teh!” tanpa berpikir lagi, saya langsung memutuskan. Sebab, saya sudah jenuh dan sangat lelah bekerja sebagai tukang aspal jalan. Bekerja yang penuh dengan tekanan hamper setiap saat.

Singkat cerita, saya pun akhirnya bekerja membantu membuatkan kue di rumah Teteh Cantik itu. Namanya Ching-Ching Liana, usianya delapan tahun lebih tua dari saya. Jadi, jika saat itu usia saya 14 tahun, berarti Ching-ching sudah 22 tahun. Dia sangat baik. Ketika mengajari saya membuat kue, tampak sabar dan menyenangkan. Setiap pulang kerja, saya dikasih ongkos dan kue. Udi pun tampak senang melihat kemajuan saya. Apalagi hampir setiap hari, saya membawa kue yang cukup banyak. Sekali-kali, saya pun suka membagi kue kepada tetangga.

Ada perubahan yang sangat berarti dalam hidup saya. Sejak bekerja di rumah Ching-Ching, saya berhenti meminum minuman keras. Sebab, kalau saya sedang bekerja, Ching-Ching sering menasehati saya.

Pada suatu hari, sambil bekerja, Ching-Ching kembali mengajak berbincang-bincang.

“Kamu sekolah sampai mana?”

“SD, Teh,”

“Ah, kamu gak mungkin lulusan SD. Saya tidak percaya...”

“Mmmm... memang SD, Teh...” jawab saya.

“Kamu putus sekolah ya?”

“Tidak, eh iya, Teh...” saya ragu menjawab pertanyaan itu. Tadinya saya tidak akan bercerita masalah sekolah.

“Sudah berapa lama kamu putus sekolah?”

“Mmmm... berapa lama ya?”

“Hayo... jujur saja!” kata Ching-Ching sambil menatap tajam. Saya langsung tertunduk, tidak berani melihat wajahnya.

“Dua bulan, Teh,” akhirnya saya mulai berterus terang.

“Hah... dua bulan? Kamu sekolah di mana?”

“Di Ciamis, Teh,”

Sejenak Ching-Ching tertegun sambil menatap saya. Dia seperti tengah berpikir keras. Tapi... entah berpikir apa. Yang pasti, sore hari, ketika saya mau pulang, Ching-Ching mengajak bicara dengan serius. Saya lupa lagi detail pembicaraannya. Yang pasti, Ching-Ching “mem-PHK” saya, dan menyuruh saya untuk melanjutkan sekolah. Ching-Ching memberi uang yang cukup besar bagi saya, rasanya lebih besar dari upah sebulan bekerja sebagai tukang aspal.

Ching-Ching menasehati saya, dan menekankan betapa pentingnya sekolah untuk bekal masa depan. Dia juga berjanji akan membantu saya semampunya, kalau seandainya di kampung mendapat kesulitan keuangan.

Semua perkataan Ching-Ching merasuk ke dalam sanubari, dan menghancurkan kerasnya hati saya yang begitu membatu. Saya sadar, seraya bertekad untuk mengikuti saran dan nasihat Ching-Ching.

“Terimakasih, Teh Ching-Ching. Saya tidak ragu untuk menganggap Teteh sebagai kakak saya...” gumam dalam hati

Esoknya, saya berpamitan kepada Udi, Akew, dan semua kawan-kawan di Gang Hanura, Jatayu. Saya memutuskan untuk pulang kampung dan melanjutkan sekolah. Bekal uang dari Ching-Ching sangat berguna dan begitu berarti bagi saya.

Saya melanjutkan sekolah. Alhamdulillah, wali kelas saya, Pak Amas, menyambut kembalinya saya dan bahkan beliau membimbing serta mengarahkan dengan penuh kesabaran. Pada akhir Semester III, nilai raport saya bertaburan tinta merah, dan menempati ranking 36 dari jumlah 37 murid. Sebuah angka yang sangat pantas bagi saya, si tukang bolos. Namun Alhamdullah, pada Semester IV, saya berusaha memperbaiki kekurangan saya, sekaligus berusaha untuk tekun belajar. Hasilnya, saya menempati ranking ke-16, dan tentunya bisa naik ke kelas III. Pada semester V, saya semakin bersemangat untuk memperbaiki kebodohan saya, dan berakhir dengan menempati ranking ke-15. Dan semester akhir, saya bisa menempati ranking ke-8, sekaligus menuntaskan masa studi di SMPN Panjalu pada tahun 1993.

Selama sekolah, saya tidak lupa mengirim kabar kepada Ching-Ching. Namun, saya tidak pernah meminta uang meski saya dalam kesulitan. Saya ingin membuktikan bahwa saya menghormatinya bukan karena uang, tetapi ikhlas dan terdorong oleh hati yang terdalam.

Setelah lulus SMP, saya melanjutkan sekolah di Bandung, tepatnya di SMA Pasundan 7, Jl. Kebon Jati No. 31. Saya sering bertemu Ching-Ching. Dia tampak gembira menyaksikan saya sekolah. Tanpa diminta, Ching-Ching sering membantu saya jika saya tertimpa kesulitan. Ching-Ching pun tidak segan-segan datang ke kampus SMA Pasundan 7 untuk mengambil STTB saya ketika saya sudah berhasil menuntaskan studi di sana. Dia ingin memastikan kalau saya benar-benar sudah lulus.

Saya pun semakin mengenali sosoknya yang patut dijadikan suri tauladan. Ching-Ching ternyata seorang seniman yang mendalami dunia musik. Saya pernah diundang ke Eldorado untuk menyaksikan pementasannya. Dia pemain piano yang hebat. Pada pergelaran di Eldorado, Ching-Ching mengiringi vocalis Dewi Gita dan grup Warna.

Ching-Ching, seorang gadis kelahiran Gunung Geulis, Tanjungsari, Sumedang, 26 Februari 1969. Sejak usia delapan tahun, dia sudah belajar bermain piano. Tidak heran ketika menginjak remaja, Ching-Ching pernah mengadakan show musik berkeliling Asia. Dia pernah menjadi dosen di HITS Universitas Pelita Harapan. Selain itu, yang saya tahu, Ching-Ching juga seorang pengiring musik di Gereja Gizi, Jl. Cihampelas, Bandung.

Saya dan Ching-Ching tidak pernah mempersoalkan perbedaan etnis apalagi agama. Kami saling memahami, menghargai, dan menghormati kepercayaan yang telah tertanam di dalam jiwa masing-masing. Perbedaan agama, tidak menghalangi saya dan Ching-Ching untuk menjalin indahnya persaudaraan. Setiap bertemu kawan-kawannya, dia selalu memperkenalkan saya sebagai adiknya. Dan saya pun pernah marah besar ketika ada seseorang yang melecehkannya.
Ching-ching Liana (Foto: Istimewa)

Teh Ching-Ching, sudah lama kita tidak berjumpa. Namun, dimana pun Teh Ching-Ching berada, semoga keselamatan selalu menyertai Teh Ching-Ching. Tuhan akan selalu berada di sisi orang-orang yang baik, seperti Ching-ching Liana. Sepasang matanya tajam menatap: mata soca dan mata jiwa.

Catatan ini pun sebagai ungkapan permohonan maaf saya yang sedalam-dalamnya kepada seluruh warga Gang Hanura, Jatayu, Bandung, yang dulu sempat terganggu oleh kenakalan saya. Pun saya mengucapkan banyak terimakasih kepada semua yang pernah berbuat kebaikan selama saya tinggal di Gang Hanura. Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan dengan kebaikan yang tiada terhingga, aamiin.***

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post