Oleh
DHIPA GALUH PURBA
Foto: Agus Bebeng Hadyana |
HUJAN rintik di
malam Sabtu, sekitar jam 20.00 WIB, di Jalan Terusan Buahbatu, Bandung. Air
hujan seakan sedang bersahabat dengan api, karena ratusan batang obor yang dipegang
erat oleh rombongan jama’ah Masjid Al-Ikhlas tetap menyala (19/01). Mereka berjalan
dengan tenang sambil mengumandangkan pujian atas kebesaran Alloh SWT.
Helaran (iring-iringan/ pawai) obor tersebut
merupakan salah satu cara umat Islam dalam menyambut tahun baru 1 Muharam 1428
Hijriyah. Selain di Buahbatu, helaran obor pun berlangsung di sejumlah
tempat lainnya. Tentu bukan sekedar helaran yang hampa makna, karena
terdapat banyak sisi yang bisa diselami.
Dengan digelarnya helaran
obor berarti telah mengadakan silaturahmi, sekaligus syi’ar Islam. Berjalan beriringan,
merapatkan barisan, mempererat tali persaudaraan. Memang saat ini di kota
Bandung tidak lagi memerlukan obor sebagai alat penerangan. Namun kita juga
tidak boleh melupakan bahwa sebelum ada listrik, obor merupakan salah satu media
andalan untuk menaklukan kegelapan. Terang selalu berlawanan dengan gelap. Sedangkan
berjalan dalam kegelapan pinasti akan menelusuri jalan yang tidak
terarah dan tersesat. Oleh karena itu, manusia memerlukan “obor” dalam menempuh
kehidupan, agar langkah tidak menjadi salah.
Nyala api juga sering diumpamakan sebagai
semangat yang bergelora. Sepanjang hidup, manusia dituntut untuk selalu
bersemangat dalam menghadapi apapun yang terjadi. Bersemangat bisa berarti optimis,
atau tidak menjadi orang yang pesimis. Biasanya, orang optimis adalah orang
yang merasa yakin arah jalan yang akan dilaluinya. Orang yang bersemangat hanyalah
orang yang memiliki tujuan atau cita-cita dalam hidupnya. Sepanjang hidupnya akan
ia gunakan untuk meraih cita-cita tersebut. Cita-cita duniawi boleh berbeda
namanya. Namun inti dari cita-cita manusia yang telah mendapat petunjuk, tiada
lain adalah mengharap rido-Nya, demi mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Bagi
orang Sunda, obor adalah simbol persaudaran. Ada sebuah peribahasa Sunda yang
berbunyi “Pareumeun obor” (Terpadam nyala obor), yang artinya kehilangan
petunjuk mengenai hubungan dengan nenek-moyang atau kerabatnya sendiri. Ketika ada
orang tua yang mengingatkan agar ulah pareumeun obor (jangan sampai terpadam
nyala obor), tentu saja maksudnya adalah agar menjaga tali persaudaran,
sekaligus mencari kembali yang hampir atau bahkan telah terlupakan. Obor
dipilih sebagai simbol persaudaraan, karena terbuat dari bambu. Di tanah Sunda,
pohon bambu tumbuh sadapuran (serumpun).
Salah
satu penyebab pareumeun obor adalah atah anjang (tidak suka atau
jarang bersilaturahmi). Tidak ada peribahasa atau babasan asak anjang, meski
lawan atah adalah asak. Hal ini menegaskan akan pentinya silaturahmi.
Sebab, kalau saja ada asak anjang, berarti ada pula satengah mateng
anjang. Sedangkan silaturahmi tidak mungkin dengan setengah hati.
Di
pedesaan, silih anjangan antara kerabat atau tetangga masih menjadi tradisi
yang terpelihara. Berbeda dengan di kota besar, atmosfir kehidupan yang penuh
dengan kesibukan, mengakibatkan sebagian masyarakatnya semakin melupakan betapa
pentingnya makna silaturahmi. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing,
sehingga hampir tidak tersedia waktu untuk bersilaturahmi. Bahkan tidak sedikit
pula di antaranya yang sama sekali tidak mengenali tetangga sebelah rumahnya.
Atah warah juga bisa menjadi penyebab pareumeun
obor. Seorang yang atah warah (tidak terdidik atau kurang
mendapatkan didikan) tentunya tidak akan menganggap penting akan makna silaturahmi.
Berarti tidak menganggap penting pula pada indahnya persaudaraan. Lebih
jauhnya, tidak akan tertarik untuk mengenali nenek-moyangnya, apalagi mengenali
agama atau budayanya.dekat pada akhir cerita dunia. Itulah sebabnya, menyongsong tahun baru mestinya bukan dengan cara berjingkrak sambil berteriak, kebut-kebutan di jalan raya, apalagi main-main dengan narkoba. Tahun baru merupakan momentum untuk muhasabah dan mengukir do’a kepada Sang Maha Penguasa, yang sangat berkuasa untuk menghentikan tahun.
Dari helaran obor, ada simbol tuntunan, semangat, dan pesan persaudaraan. Selain
itu, tampak juga suatu perbandingan radikal antara obor dan listrik yang
berfungsi sebagai alat penerangan. Obor sebagai tahun-tahun lama, dan listrik
sebagai tahun baru. Bukankah ini juga sebagai peringatan dari suatu peringatan?
Saat tahun baru tiba, sebenarnya tahun semakin lama. Usia dunia kian
tua. Semakin baru, dunia semakin tua, dan semakin dekat pada akhir cerita
dunia. Itulah sebabnya, menyongsong
tahun baru mestinya bukan dengan cara berjingkrak sambil berteriak, kebut-kebutan
di jalan raya, apalagi main-main dengan narkoba. Tahun baru merupakan momentum
untuk muhasabah dan mengukir do’a kepada Sang Maha Penguasa, yang sangat
berkuasa untuk menghentikan tahun.***
Bandung, 18 Desember 2009
Komentar