Merantai Masyarakat Damai - Marhaban yaa Ramadhan


foto pada acara Nyiar Lumar di Astana Gede, Kawali, Ciamis



Oleh DHIPA GALUH PURBA

DESA yang biasanya sepi-sepi saja, berantai-rantai menjadi semarak pada saat memasuki bulan Puasa (Ramadhan). Orang Sunda menyambut bulan Puasa dengan bergembira. Pria-wanita, tua-muda mengantri di pintu kamar mandi untuk kuramas atau diangir (menyucikan diri/ mandi besar). Gairah munggah tidak punah. Ngadulag tetap menjadi santapan telinga di bulan yang syarat makna.

            Bagi masyarakat Sunda, menurut “Bagawan Sirnadirasa” RH. Hasan Mustapa dalam buku Adat Istiadat Sunda (Alumni, 1985), bulan puasa merupakan bulan yang sangat diistimewakan dibanding bulan-bulan lainnya, dan dirayakan secara besar-besaran. Bahkan anak kecil pun bergembira, karena konon di bulan puasa hantu-hantu terbelenggu diikat rantai. Namun jangan pernah membayangkan sesosok makhluk menakutkan dibelenggu rantai atau seorang koruptor yang kakinya diikat rantai kangkang. Hantu adalah nama lain dari setan (syaithon). Dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah r.a., Rosululloh Saw bersabda: “Bila Ramadhan telah datang, maka dibukakan pintu rahmat, dikunci neraka, dan dirantai semua setan.” Sungguh bulan yang penuh kedamaian.

            Tentu saja setan tidak akan berdaya jika masyarakat sepakat untuk mengikat persaudaraan yang erat bak rantai baja. Si kaya memegang erat tangan si miskin; saling mencintai; saling mengasihi; saling berlomba menanamkan benih-benih kebaikan. Bulan puasa menjadi waktu yang paling tepat untuk menyatukan cincin-cincin amal dalam membentuk rantai kokoh untuk membelenggu setan.

            Ada rantaian tradisi masyarakat Sunda yang secara khusus dilaksanakan dalam menyambut bulan Puasa. Di desa dan kota tradisi munggah (menyambut hari pertama puasa) masih terpelihara. Biasanya pada malam munggah, anggota keluarga yang merantau pun menyempatkan diri untuk pulang dan berkumpul bersama sanak keluarga. Munggah bukan sekedar sahur bersama. Di sana ada silaturahmi, berdo’a bersama, saling mengingatkan untuk membersihkan diri, dan ada pula yang mengamalkan sidekah munggah (sedekah pada sehari menjelang bulan Puasa). Kata munggah memang sangat akrab dengan Islam, seperti juga dapat ditemui pada ibadah munggah haji.

            Di Kabupaten Bandung Barat dan Cianjur, ada tradisi papajar. Mungkin maksudnya adalah menyambut pajar pada awal bulan Puasa. Dalam papajar, selain menyucikan diri dan bersalaman saling memaafkan, ada pula acara botram dan nadran. Botram adalah makan bersama di suatu tempat selain di rumah. Sedangkan nadran, menurut Kamus Basa Sunda karya R.A. Danadibrata (Kiblat, 2006) berasal dari kata tadran, yang artinya berziarah ke kuburan. Namun sastrawan Dedy Windyagiri berpendapat bahwa nadran bukan berasal dari kata “tadran”, melainkan dari "Nadra", maksudnya Dewi Nadra, sosok dewi yang menguasai ruh manusia di alam kubur menurut mitologi Hindu (Mangle No. 1852). Kiranya perbedaan itu tidak perlu mengakibatkan putusnya rantai persaudaraan, karena yang paling penting adalah itikad dan maknanya. Sebagai bahan perbandingan, di Jawa Tengah ada tradisi nyadran, yang artinya pun berziarah ke kuburan.

            Seorang sahabat, Dadan Sutisna, pernah menceritakan tradisi masyarakat di kampung halamannya pada saat bulan Puasa. Tepatnya di Tanjungsari, Kabupaten Sumedang, ada tradisi bernama mawakeun dan ngirim piring. Mawakeun adalah mengunjungi kerabat dan tetangga sambil mengirim makanan yang dikemas dalam rantang. Tradisi ini berlangsung tanpa mengenal status ekonomi, saling mengunjungi dan saling berkirim makanan.  Bahkan bagi seorang anak gadis yang tidak mawakeun kepada pacarnya, tidak mustahil hubungan cintanya akan diputuskan. Tradisi ngirim piring pun adalah saling berkunjung dan saling berkirim makanan. Tapi biasanya hanya dilakukan dengan tetangga dekat. Piringnya tidak diberikan. Piring hanya media untuk membawa makanan. Dan biasanya makanan yang dikirim tersebut merupakan buatan si pengirim. Meski makanannya dibawa dengan mangkuk, tetap saja namanya ngirim piring.

Selain tradisi yang dipaparkan di atas, masih banyak lagi kegiatan syarat makna  yang dilakukan masyarakat Sunda di beberapa daerah dalam mengisi bulan Puasa. Yang pasti, berbagai kegiatan yang berlangsung siang hari, biasanya dalam rangka ngabeubeurang dan ngabuburit. Jelas menunjukan adanya aktivitas yang positif. Ngabeubeurang adalah melakukan suatu kegiatan menjelang siang hari. Sedangkan ngabuburit adalah melakukan kegiatan menjelang sore hari. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan agar ibadah puasa semakin bermakna, tidak sekedar menahan hanaang dan lapar semata.

Dari beberapa contoh tradisi masyarakat Sunda di bulan Puasa, lebih tegas lagi menunjukan adanya rantai yang merangkai hubungan damai di antara sesama manusia. Menjaga hubungan baik dengan keluarga dan tetangga, saling memberi, dan saling mendo’akan adalah perbuatan yang selaras dengan Islam. Rosululloh Saw. bersabda “Zibril senantiasa berwasiat kepadaku supaya selalu menjalin hubungan baik dengan tetangga.”

Dengan adanya tradisi nadran juga, menunjukan karakteristik masyarakat Sunda yang tetap menghormati orang yang telah lebih dulu meninggal dunia. Terlebih jika ia seorang yang berakhlak mulia. Masyarakat akan tetap mengenangnya dan bahkan tetap merasakan kehadirannya. Meminjam ungkapan Kang Hawe Setiawan dalam tulisannya yang dimuat “PR” beberapa tahun lalu, bahwa ingatanlah yang telah menipiskan jarak antara orang hidup dan orang mati. Orang yang telah mati seakan tetap hidup selama kita masih mengingatnya. Sebaliknya, orang yang masih hidup seakan telah mati apabila terhadapnya kita tidak mau perduli.

Rantai perdamaian atau rantai keharmonisan, tidak akan pernah terputus meski dipisahkan dengan kematian. Rantai itu hanya akan putus jika tradisi-tradisi tersebut telah punah digilas budaya yang tidak berdamai.***



Dimuat di KOMPAS JABAR, Selasa, 1 September 2009

0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post