Catatan konsep Artistik dan Penyutradaraan “Kisah Perjuangan Suku Naga”



Oleh: Yusef Muldiyana


“Kisah Perjuangan Suku Naga” Menggambarkan situasi politik di suatu Negara yang bernama “Negara Astinampuram” di tengah-tengah arus globalisasi. Negeri Astinam dipimpin oleh seorang Sri Ratu yang dalam menjalankan roda pemerintahannya banyak sekali dipengaruhi dan diatur  dioleh  para petinggi  parlemen di  disekelilingnya terutama para mentri yang tergila-gila kemajuan dan pembangunan.

Untuk mensukseskan rencana-rencananya mereka mendatangkan ahli-ahli dari luar negeri yang dengan bujukan-bujukan mautnya berhasil menggiring Negeri Astinampuram menjadi negeri industri. Sehingga Negeri Astinam yang semula sangatlah  kaya dengan sumber alam serta subur dengan hasil buminya, yang masyarakatnya hidup dengan cara bertani , bercocok  tanam dan mempunyai keluhuran nilai-nilai warisan budaya kini perlahan-lahan berubah menjadi negeri industri.

Para penguasa, pengusaha, politisi, semakin silau oleh gemerlapnya dunia barat yang menjadi virus bagi masyarakat Astinam sehingga dengan dalih kemajuan dan pembangunan serta dengan jiwa yang tak mau kalah dengan negara-negara maju, mereka ingin seperti Amerika, Rusia, Eropa, Jepang bahkan China.
     
Di suatu pedalaman; masih di dalam bagian Kerajaan Astinampuram, hiduplah suatu masyarakat adat yang masih mempertahankan tradisi dan keluhuran nilai-nilai budaya. Mereka adalah Kaum Suku Naga yang dipimpin oleh Abisavam sebagai kepala suku. Di tengah gejolak modernisme yang kian maju dan meningkat.

Kaum Suku Naga berjuang mempertahankan tanah kelahiran yang kaya oleh sumber alam. Mereka yang menjalankan hidupnya dengan bertani, tak rela tanahnya terjual oleh tangan-tangan asing. Tanah yang mereka olah hanyalah untuk pribumi dan tak menghendaki campurtangan para penguasa.

Di tanah pemukiman Kaum Suku Naga ada sebuah bukit yang mengandung tambang emas, bukit itu bernama Bukit Saloka. Sri Ratu Astinam dan para pejabat kerajaan mempunyai rencana suntuk segera menggarap bukit itu sebagai lahan untuk menambah kekayaan kas Negara, walau pertambangan bukit itu akan diolah orang asing Maka penguasa bagai anjing berebut tulang saling lomba untuk mendapatkan keuntungan dari hasil pertambangan tersebut.

Abivara anak Abisavam yang sudah lama belajar di kota, pulang dengan tujuan ingin memajukan desanya. Ia membawa seorang temannya, pemuda asing bernama Carlos yang berprofesi sebagai jurnalis. Maksud kedatangan Carlos adalah untuk melakukanp  penelitian di pemukiman suku naga sebagai bahan tulisannya.

Kedatangan Carlos bagi para pengusaha merupakan suatu halangan besar bagi kelancaran usahanya. Mereka memerintahkan aparat  untuk mengusir Carlos dari desa itu. Abisavam dan kaum suku naga tetap mempertahankan tanahnya untuk bebas dari jamahan orang luar, para penguasa tetap mencari lahan-lahan subur untuk dijadikan proyek pengembangan usahanya.




Urat-Oret Sutradara: PANGGUNG BUKAN MILIK PENGUASA, PANGGUNG MILIK PENGUASA.
Judul di atas merupakan merupakan ide dasar dari konsep dan skenografi penyutradaraan Kisah Perjuangan Suku Naga yang akan saya paparkan berikut ini. Karena Panggung Milik Suku Naga, sudah barang tentu para pemeran suku naga akan lebih mendominasi panggung dari awal sampai akhir pertunjukan.

Biarkan Para Suku Naga menyaksikan adegan-adegan Koor Mesin dari Negara industry, menyaksikan adegan para duta besar dari manca Negara, menyaksikan adegan Sri Ratu beserta para pejabat parlemen. Para aktor yang berperan sebagai pejabat tak sekalipun menyaksikan para kaum suku naga karena penguasa Astinam seolah tak perduli pada perjuangan dan keberadaan mereka.




Gagasan dan bentuk
Dengan menggunakan arena tapal kuda , Lakon Kisah Perjuangan Suku Naga akan mengambil ruh teater rakyat dengan pola pengadegan jejer wayang. Dengan konsep demikian tentunya pagelaran tidak lantas akan menjadi seperti teater tradisi pada umumnya. Pertunjukan tetap menjadi sebuah “teater modern”.

Kenapa mengambil pola pengadegan wayang ? Tentu saja merujuk pada apa yang terlihat di dalam naskah yang diawali dengan munculnya tokoh dalang dan membaca banyaknya peran-peran yang mempunyai nama seperti tokoh-tokoh dalam lakon mahabrata/dan yang terpenting Lakon ini mengisahkan kejadian di Negeri Astinampuram, yang tak lain adalah pelesetan dari kata Astinapura negaranya para kurawa.

 Seperti kita tau bahwa kurawa yang menguasai negeri Astina adalah orang-orang yang mempunyai karakter licik dan jahat.  Dengan demikian penduduk Astinam akan banyak dihuni oleh para “kurawam”.

Saya membaca Naskah Perjuangan Suku Naga Ini tahun 1979,  naskahnya yang saya pinjam dari Kak Erry Anwar. Pada tahun 1983 saya berniat memntaskan naskah tersebut namun terganjal oleh banyaknya pertimbangan, karena pada masa orde baru sangat sulit untuk mementaskan naskah Rendra dan akan bebas dari cekalan aparat.

Bengkel Teater sendiri pada tahun 1975  ketika pentas di TIM bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) mendapat pelarangan pentas dari Sudomo. Ali Sadikin yang menjabat selaku Gubernur DKI Jaya pada waktu itu justru mengijinkan Bengkel Teater untuk tampil Di TIM membawakan Lakon Kisah Perjuangan Sukunaga. Akhirnya Rendra dengan lakon Kisah Perjuangan Suku Naga bisa pentas selama 2 hari  TIM, tapi Wahyu Sihombing selaku ketua DKJ pada masa itu ditahan selama 2 hari pementasan itu.

Dua tahun sebelumnya Rendra ditangkap oleh aparat pada sedang memerankan tokoh Creon dalam Naskah Antigone karya Shophocles yang diterjemahkan oleh Rendra pula. Setelah usai pentas di Jakarta, lakon Kisah Perjuangan Suku Naga ini dipentaskan juga di Gedung Merdeka Bandung dan Surabaya, tiga tahun kemudian; tahun 1978 barulah pentas di Jigja. Pada tahun 1983 itu saya tidak jadi menyutradarai Kisah Perjuangan Suku Naga dan saya memilih mementaskan Humpimpah karya Mas Putu Wijaya bersama Teater Ge-eR (Sekarang Teater Bel)



DALANG:
Bagi orang yang pertama membaca naskah Kisah Perjuangan Suku Naga apalagi orang tersebut tidak pernah nonton bagaimana pertunjukan ini dimaenkan oleh WS.Rendra akan menyangka bahawa Tokoh Dalang adalah laki-laki.

Tapi ditengah-tengah lakon dalam adegan Jejer Astinam , ternyata Dalang tersebut berperan juga sebagai emban; perempuan. Sebetulnya bisa saja dalangnya laki-laki dan pada adegan itu si dalang lelaki tersebut berperan sebagai perempuan, namun sangat riskan kalau tak kuat aktornya bisa jadi rusak.

Atau bisa juga dialognya yang dirobah; itu tergantung pada pilihan. Dengan berbagai pertimbangan, bukan karena WS.Rendrapun mementaskan ini dengan dengan dalang; saya tetap pada pilihan bahwa dalang adalah perempuan. Malah sempat kepikiran bahwa dalangnya adalah seorang tokoh waria alias bencong atau laki-laki yang berperan sebagai perempuan.


DUA DALANG :
Saya sempat mempunyai gagasan bahwa lakon Kisah Perjuangan Suku Naga ini akan saya tampilkan dengan dua dalang sekaligus, dengan gerak-gerak rampak,  terkadang berbicara bersama-sama terkadang bergantian.

Dalam Wayang kulit dan Wayang golek sering terjadi adanya Dalang yang lebih dari satu (Rampak Dalang) dalam Kisah Perjuangan Suku Naga pun kenapa tidak jika melakukan hal itu; jika dalang adalah sang pengatur bisa juga mereka itu presiden dan wakilnya.

Tapi penampilan 2 dalang tentunya harus menempuh latihan kebersamaan yang panjang sampai mencapai irama yang diharapkan, karena salah-salah bisa jadi malah berantakan; “bala”. Dengan waktu yang mepet lebih aman dimainkan dengan 1 dalang saja.

Koor Mesin Dari Negeri Industri: Adegan koor mesin yang menggambarkan kemajuan perindustrian dari Negara-negara maju akan menjadi adegan yang keras seperti besi karena mesin identik dengan besi, namun juga akan dihadir dengan sangat kental nuansa-nuansa  dolanan yang menggambarkan betapa kemajuan teknologi industry sudah menjadi semacam permaianan, dimana orang-orang tergila pada kemajuan begitu menikmati peradaban industri bahkan penuh nafsu bagai birahi.

Koor Duta Besar Negara-Negara Raksasa:
Kata raksasa di atas sudah tentu bukan raksasa yang sering terdengar di dongeng-dongeng, melainkan sebutan dari Negara besar yang sudah demikian maju teknologi dan industrinya, tapi dalam lakon ini kata raksasa mengilhami saya saya dan co sutradara saya Gusjur Mahesa untuk menampilkan para duta besar adalah “para buta  dari negeri hor manihor” para raksasa dari negeri antah berantah yang dengan kelicikan penuh strategi dan siasat-siasatnya untuk membujuk para penguasa Astinam agar menyetujui berbagaimacam usulnya, terutama usul-usul dalam perekonomian dan perdagangan.

Para Pejuang Suku Naga:
Jika peran-peran seperti para duta besar dan penguasa-penguasa Astinam ditampilkan dengan penuh olok-olok atau badut, maka pada rakyat suku naga yang lebih memilih pendekatan etnik sunda, dibuat sangat serius karena ini masalah serius. Para peduta besar diperankan dengan dialek-dialek asing sesuai dengan asal-asal usul tempat mereka dating, untuk para penguasa lebih banyak dialeg jawa dan sebagian kecil dari etnik lain seperti Sumatera, Sulawesi dan sebagainya.



Pentas Di Panggung Arena Saung Angklung.
Layar putih di panggung terbentang di belakang panggung arena tapal kuda. Di sekeliling arena pertunjukan sudah tersimpat angklung-angklung denagn posisi yang telah dikemas secara artistik. 3 atau 5 menit sebelum mc membuka pertunjukan (jika pake mc) para pemeran suku naga masuk berbaris seperti orang baduy lalu berbaris berbanjar menghadap penonton dan dengan santun memberikan hormat kepada penonton sebelum pada akhirnya mereka duduk sila membelakangi penonton menghadap arena.

Lalu pertunjukkan dimulai (setelah MC berkata: “selamat menyaksikan!) Terdengar music pembuka  Terlihat shilouete para pemusik di balik layar putih. Terlihat juga gunungan wayang, lalu munculah dalang bergerak mengikuti music dan berbicara pada posisinya di tengah arena. Dalang mempersilahkan adegan pertama untuk mulai: muncillah Koor Mesin melakukan adegannya. Di tengah adegan Koor Mesin muncul tokoh Mr.Joe dan The Big Bos (Penampilan The Big Bos yang dalam naskah muncul satu kali yaitu adegan akhir, pada pentas ini dibagi dua bagian, yakni pada saat ini dan akhir) Setelah Big Bos dan Mr,Joe keluar, Koor Mesin kembali melakukan aktifitasnya.

Ketika Dalang mengumumkan bahwa sekarang tiba pada adegan Koor Duta Besar, para koor mesin segera berhamburan dan duduk ke tempat di mana para suku naga duduk kemudian membuka atribut koor mesin menjadi kostum suku naga.

Maka para suku naga menyaksikan adegan demi adegan dari mulai adegan duta besar, parlemen, ratu dan seterusnya, bahkan sesekali bisa bertindak sebagai alok atau juru senggak, mereka juga banyak berinteraksi dengan dalang. Dalang mewakili pengarang, pengarang mewakili penonton, penonton di pihak suku naga; jika mereka tidak berpihak artinya mereka pihak kurawa. Para kaum suku naga pada adegan-adegan tertentu ikut meaminkan angklungnya bekerja sama dengan pemusik bahkan bergerak ditengah arena sambil memainkan angklung yang sudah disediakan satu truk oleh Saung Angklung.

Pada bagian akhir rencana akan menampilkan Kiai Maman untuk melakukan tausyiah dari apa yang telah disajikan oleh Kisah Perjuangan Suku Naga dan membicarakan dampak-dampak negatif pada masa ini dari apa yang telah dilakukan oleh penguasa masa lalu. Bisa pada masalah lingkungan, social juga agama.

PILIHAN MEMAKAI PANGGUNG ARENA
Semula pementasan akan memilih panggung proscenium tertutup semacam Taman Budaya, namun banyak pihak yang mengusulkan agar pertunjukan Kisa Perjuangan Suku Naga ini dipentaskan di panggung Out Door supaya dekat dengan alam.

Berbagai pilihan tempat mulai dijajaki dari mulai Lapang Bumi Sangkuriang sampai tempat adu domba Babakan Siliwangi, namun ada pikiran mengenai cuaca apalagi di musim hujan mengingat para pemain Suku Naga banyak memainkan actor-aktor berusia di atas 50 tahun. Berberapa pihak tetap menguslkan agar tetap tampil di In Door mengingat kebutuhan akustik. Akhirnya kita pilih Teater Arena Saung Angklung Udjo yang berbentuk setengah out door setengah in door.

PENGEDITAN NASKAH:
Semula kami berniat untuk tidak ada satu dialog dan satu adegan pun yang akan kami edit, apalagi pementasan Kisah Perjuangan Suku Naga ini ditujukan dalam rangka mengenang almarhum WS.Rendra.

Setelah berbagai pertimbangan di luar banyaknya pihak termasuk sebagian besar pemain yang mengusulkan agar adanya editing pada naskah tersebut tanpa mengurangi rasa hormat kami pada Almarhum WS.Rendra, dan tanpan merusak irama pertunjukan serta berusaha untuk tetap dapat meyampaikan pikiran-pikiran WS.Rendra dari naskah tersebut yang ingin diungkapkan pada khalayak.

Akhirnya dengan penuh kehati-hatian kami kembali menggeledah naskah dan melakukan proses editing, terutama editing pada kata-kata yang terjadi pengulangan juga kalimat-kalimat yang dirasa sudah mulai kehilangan relevansi pada jaman ini. Memang dalam proses pengeditan pastinya tidak akan seluruhnya pikiran Rendra kami ungkapkan.

Jika Rendra mempunyai sepuluh pikiran yang ingin disampaikan dalam lakon ini, kami paling tidak berusaha akan menyampaikan minimal enam  pikiran namun semuanya dapat dicerna oleh public pendengar, dari pada kita memberikan semuanya yang ditawarkan oleh dialog-dilaog tapi tidak semuanya tercerna oleh semua penonton.

Berbeda dengan Bengkel Teater yang actor-aktornya dibina bertahun-tahun dalam satu wadah, aktor-aktor dalam pementasan sekarang adalah aktor-aktor dari berbagai komunitas  yang mempunyai kesibukan masing-masing dengan waktu latihan berbeda-beda dan dari kota yang berbeda-beda.

Akhirnya proses pun akan berbeda dengan sanggar yang bisa mengkarantina pemain dari awal persiapan sampai pertunjukkan. Maka dalam proses perjuangan Suku Naga kali ini, dengan waktu yang singkat tak ada alasan untuk tidak mengedit naskah, tapi tetap dengan kiat profesiaonal, mempunyai bentuk penawaran, mempunyai irama kuat, karena naskah ini lebih cenderung naskah yang membutuhkan irama dinamika berbeda dengan naskah-naskah lain yang lebih banyak  memakai pendekatan psikologis dan karakter tokoh. Pada naskah ini, pikiran dan gagasan merupakan sumber utama perwujudan karya.***


Bandung Oktober 2009

 =============

PERTUNJUKAN TEATER “Kisah Perjuangan Suku Naga” Karya: WS. Rendra (1975), berlangsung pada Rabu - Minggu, 11 sampai dengan 15 Nov. 2009 - Pkl. 19.00 WIB, di Saung Angklung Udjo - Jl. Padasuka 118, Bandung.

Sutradara: Yusef Muldiyana

Asisten Sutradara : Gusjur Mahesa

Penata Musik: Dody Satya Ekagustdiman

Penata Artistik: Herry Dim dan Luki Lukman

Penata Gerak:   Ine Arini, Ayo, dan Oos Koswara

Penata cahaya: Joko Kurnaé

Dramaturg: Yoyo C. Durachman

Aktor:

Rinrin Chandraresmi
Gusjur Mahesa
Ayi Kurnia
Dedi Warsana
Irwan jamal
Dhipa Galuh Purba
Sugiyati Anirun
Adinda Luthvianti
Ria Elisa Mifelsa
Wrachma RA
Adjie Sangiaji
Irwan Guntari WK
Anita Bintang
M. Zainal Arif
Giri Mustika
Indah Dewi S
Ilham
Dian Remeh
Jibod
Gatot WD
Catra Atta
Kerensa Dewantoro
Reyvita Salsabila
Ratna S Ningsih
Sugih Fadilah
Ariyanti
Iyya Maliya
Boni Avibus
Surti Rahayu S
Mymy Feby
Indrawan Babil
Bastian Alam
Alis Kariani
Putri
Hanief
Harya Prabu
Triya
Yoni Adiprana.

Pemusik: Karnaen, Rosul, Onggeng, Ogi, Ory, Pungki, Andika, Denden SM, Nino R, Ucik, Rangga, Yudi B, Bram Budiarso, Restu, Dida, Icha, Ilham, Anzil, Rais S, Yudi G, Adiyono, Randy, Ervan, Uji, Fachmi, Arifin MZ, Wahyu 

Jaro/ Produser: Aat Soeratin, Herry Dim, Ipong Witono

Penanggungjawab: Juniarso Ridwan

Konsultan: Taufik Rahzen, Taufik Hidayat Udjo, Bengkel Teater Rendra

Crew/ Produksi: Satria, Tatan, Mohammad Aditia, Tonny Lewo, Bah Udin, EndyGim, Ratu Selvi, Priston Sagala, Lisa H. Pandansari, Sarwoko, Herliana Sinaga, Ayie Bukhari, Furqan AMC, Ade Jauhari, Martha Topeng, Triya, Wahyu, Agung, Cahyono Soedjadi, Adit, Eva, Syifa, Semesta Aubrey, dan SAU Crew.

Manager Program: Tompel Witono

Koordinator Seni Rupa: Hanafi, Bambang Subarnas

Dokumentasi: Agus Bebeng Hadyana, Ace, Wawan, Omes

Humas dan Pers: Soni Farid Maulana, Ahda Imran, Matdon, Rosyid E. Abby

Marketing: Eni Erliani


==================



















0/Post a Comment/Comments

Previous Post Next Post